Jilid 12/39

1.4K 14 1
                                    

"Ibu, tentu saja aku sanggup untuk menentangnya. Memang benar dahulu aku pernah menganggap ia ibu angkat dan guru, akan tetapi semua itu terjadi karena ia menipuku, berpura-pura menjadi penolongku. Tidak, aku sudah tahu betapa jahatnya iblis betina itu, bahkan justeru karena ia yang telah membawa orang-orang jahat menyerbu istana kakek dan nenek, maka aku ingin sekali mencari dan menentangnya!"

"Tapi jangan engkau lengah dan memandang ringan lawan, Hong Li. Engkau tentu tahu betapa lihainya Sin-kiam Mo-li. Selain amat lihai ilmu silatnya, juga ia menguasai sihir. Meski kami telah menggemblengmu dengan kekuatan sinkang untuk menolak pengaruh sihir, namun dalam hal ilmu silat, kiranya engkau masih kalah pengalaman. Apa lagi jika dia dibantu oleh para tokoh Pek-lian-kauw yang rata-rata pandai sihir dan orang-orang Pat-kwa-pai yang juga amat tangguh. Engkau harus hati-hati, dan sebaiknya bergabung dengan para pendekar lainnya. Bagaimana kalau engkau mengunjungi dulu pamanmu Suma Ceng Liong di dusun Hong-cun dekat Cin-an? Siapa tahu puterinya Suma Lian, sekarang sudah pulang dan tentu sudah sebaya denganmu dan tentu mempunyai ilmu kepandaian tinggi karena selain kedua orang tuanya amat sakti, juga ia digembleng oleh paman Gak Bun Beng."

"Akan tetapi aku tidak pernah bertemu dengannya, bahkan jarang berkunjung ke rumah paman Suma Ceng Liong. Aku merasa malu kalau harus minta bantuan mereka Ayah."

"Maksud ayahmu bukan minta bantuan, akan tetapi hanya untuk singgah di sana dan menyampaikan salam kami dan kabar selamat. Juga memberi tahu mengenai kematian kakek dan nenekmu di Istana Gurun Pasir. Dan dari percakapan itu, mungkin engkau akan dapat memperoleh petunjuk mereka," kata ibunya.

"Kalau begitu lain lagi persoalannya, Ibu. Baiklah, aku akan singgah di Hong-cun untuk mengunjungi keluarga paman Suma Ceng Liong."

Tentu saja di balik anjuran itu tersembunyi harapan dalam hati Kao Cin Liong dan Suma Hui agar puteri mereka itu bertemu dengan keluarga dan siapa tahu dari keluarga itu akan muncul seorang calon jodoh bagi puteri mereka yang sudah cukup dewasa itu.

Sudah lajim bagi orang-orang tua yang hatinya selalu dipenuhi harapan-harapan bagi anak-anak mereka. Di waktu berada dalam kandungan, orang tua sudah mengharapkan supaya anaknya lahir laki-laki atau perempuan, biasanya orang pada jaman dahulu lebih condong menghendaki agar kandungan itu lahir laki-laki. Kemudian kalau sudah lahir, mereka mengharapkan anak itu tumbuh menjadi seorang muda yang sehat dan pandai.

Kalau sudah tiba waktunya menikah, mereka juga berharap anak itu segera mendapat jodoh yang baik, kemudian harapan itu mulur terus. Mengharapkan agar mendapat cucu yang baik, agar keluarga anaknya itu menjadi keluarga bahagia, serba berkecukupan dan selalu dalam keadaan sehat. Semua ini akan menyenangkan hati orang tua, dan kalau terjadi sebaliknya, tentu saja mengecewakan dan mendatangkan duka!

Memang harapanlah yang mendatangkan kekecewaan! Mengharapkan suatu keadaan yang lain dari pada keadaan yang ada saat ini, suatu keadaan yang dibayangkan akan lebih baik dan lebih menyenangkan. Kalau harapan itu terlaksana, datanglah kepuasan, akan tetapi sebentar saja karena kepuasan ini akan pudar lagi, tertutup harapan baru yang mulur dan mengejar harapan itu yang lebih jauh lagi. Kalau harapan pertama tidak tercapai, timbullah kekecewaan!

Dan ini terjadi sejak manusia mulai mengerti sampai tiba ajalnya! Betapa menyedihkan hidup seperti itu, selalu dipermainkan harapan-harapan sendiri. Bukan berarti kita harus menjadi orang-orang yang putus asa, putus harapan dan mandeg, muram dan frustasi. Sama sekali tidak!

Akan tetapi, lakukan saja segala sesuatu dengan sepenuh hati, dengan perasaan cinta kasih terhadap apa yang kita lakukan dan terima saja hasilnya, apa pun juga, dengan wajar tanpa mengharapkan apa-apa. Hasil itu adalah kenyataan yang ada, yang nyata dalam hidup, dan itulah keindahan.

Terimalah anak yang lahir sebagai hasil dari pada perbuatan kita sendiri dengan pasrah, tanpa pilihan dan menikmati apa yang ada, baik laki-laki mau pun perempuan. Dengan demikian, maka tidak akan timbul kekecewaan apa-apa. Kemudian, dalam pendidikan berilah cinta kasih, karena pendidikan yang terbaik adalah kasih sayang, cinta kasih yang berarti ingin melihat SI ANAK itu bebas dan berbahagia hidupnya. Bukan sekedar menjejali otaknya dengan ilmu-ilmu agar kelak menjadi ORANG, yang tentu maksudnya menjadi orang yang berharta dan berkedudukan!

Kalau demikian harapannya, maka orang tua akan kecewa kelak, karena bukan harta dan kedudukan yang membahagiakan seseorang! Berilah anak kebebasan sebab dalam kebebasan itu terletak sinar kebahagiaan. Hal ini bukan pula berarti bebas semau gua. Orang tua hanyalah mengamati, mengawasi, mengingatkan tanpa terlalu mencampuri, mengarahkan tanpa terlalu mengikat.

Anak kita adalah manusia tersendiri, dengan alam pikiran, selera dan perasaan sendiri. Dia adalah mahluk yang hidup, bukan tanah liat yang boleh kita bentuk sekehendak hati kita sendiri. Bahkan, dia dilahirkan bukan atas kehendaknya sendiri, dan lebih condong menjadi korban atau akibat dari pada perbuatan kita!

Jadi, meski dia kita namakan anak kita, namun itu hanyalah pengakuan saja. Anak kita akan tetapi bukan milik kita! Sekali batin kita memiliki, maka anak itu akan kita anggap sama dengan semua benda lain yang mengikat batin kita, yang menjadi milik kita. Ingin kita jadikan begini begitu menurut keinginan kita, kita jaga dan pelihara dengan pamrih agar menyenangkan kita. Jika begitu, apa bedanya dengan memelihara seekor binatang peliharaan?

Kita pilihkan agamanya, sekolahnya, bahkan jodohnya, dan kita gariskan bagaimana dia harus hidup! Dan semua itu dengan dasar bahwa kita melakukannya demi kebahagiaan dia! Kalau dikaji benar, bukankah dasarnya sesungguhnya adalah demi kebahagiaan kita, demi kesenangan kita karena tercapai sudah harapan dan keinginan kita?

Kewajiban kita untuk membimbing anak yang masih belum dewasa, yang masih belum dapat memilih sendiri, dengan cinta kasih, dengan waspada akan minat dan seleranya. Akan tetapi kalau dia sudah dewasa, sudah sepatutnya kalau kita membebaskan dia dan hanya mengamati dari jauh, dari belakang yang bukan berarti acuh. Kalau toh ada pamrih, maka pamrih itu hanya satu, yaitu kita ingin melihat DIA berbahagia, tanpa memperhitungkan selera dan perasaan hati sendiri yang kemungkinan sekali bertolak belakang dengan selera dan perasaan hatinya. Bukankah cinta itu hanya memberi dan bukan meminta? Bukankah cinta itu berarti meniadakan diri yang berarti meniadakan nafsu pribadi?


Setelah mendapat banyak petuah dari ayah ibunya, dan membawa bekal secukupnya, baik pakaian mau pun uang, berangkatlah Kao Hong Li meninggalkan rumah orang tuanya, diantar oleh ayah ibunya sampai di pintu pekarangan depan.

Setelah gadis itu tidak nampak lagi, dengan lesu Suma Hui dan suaminya masuk lagi ke dalam rumah. Melihat betapa isterinya nampak lesu dan bersedih ditinggalkan oleh puterinya, Kao Cin Liong membimbingnya dan diajaknya duduk di ruangan dalam.

"Mudah-mudah ia akan memperoleh pengalaman dan terutama sekali dapat bertemu jodoh dalam perjalanannya," kata Kao Cin Liong.

"Setelah melihat Tan Sin Hong, aku merasa bahwa dia pun merupakan seorang calon mantu yang baik di samping Gu Hong Beng," kata Suma Hui melamun.

Kao Cin Liong tersenyum. "Biarkanlah dia memilih sendiri. Kalau memang Tuhan sudah menghendaki, tentu ia akan bertemu dengan jodohnya. Lahir, jodoh dan mati agaknya sudah ada garisnya."

Memang, lahir, jodoh dan mati dalam cerita ini sudah digariskan oleh pengarang.....

KISAH SI BANGAU PUTIH (seri ke 13 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang