Jilid 7/39

1.3K 14 0
                                    

Ketika mereka yang keluar dari tempat pesta itu tiba di ruang luar, ternyata masih ada lagi belasan orang yang ikut pula meninggalkan tempat itu! Melihat ini, Siangkoan Lohan mengerutkan alisnya.

"Siancai..., kalau mereka semua dibiarkan pergi, tentu gerakan kita akan gagal sebelum dimulai!" berkata Thian Kek Sengjin, tokoh besar Pek-lian-kauw itu kepada Siangkoan Lohan.

Ketua Tiat-liong-pang itu mengangguk-angguk sambil mengerutkan alisnya, kemudian memberi tanda dengan tangan. Lima orang murid kepala cepat datang menghadap.

"Bawalah teman-teman dan saudara-saudara secukupnya, mereka tadi harus dibasmi. Kalian tahu apa yang harus dilakukan," katanya dan lima orang murid itu mengangguk, lalu menyelinap pergi.

"Aihh, ini adalah tugas kita bersama," kata Sin-kiam Mo-li. "Aku akan membantu anak buahmu, Lohan."

"Aku akan membantumu pula, Sian-li," berkata Toat-beng Kiam-ong sambil bangkit dan mengikuti wanita cantik itu.

Thian Kong Cinjin, wakil ketua Pat-kwa-kauw, bersama dengan Thian Kek Sengjin tokoh Pek-lian-kauw, juga cepat-cepat bangkit berdiri dan meninggalkan tempat itu, bersama beberapa orang tokoh lain yang sudah tahu apa yang harus mereka lakukan.

Sesudah mengalahkan Ciok Kim Bouw, Siangkoan Liong bersikap acuh tak acuh saja melihat kesibukan teman-teman ayahnya. Dia hanya mendekati ayahnya dan berkata lirih, "Ini akibat kekurang telitian Ayah sendiri yang mengundang orang-orang itu."

Setelah berkata demikian, dengan suara mengandung penyesalan, dia pun pergi masuk ke dalam gedung, membiarkan ayahnya duduk kembali sambil mengerutkan alisnya.....

*****

Dengan hati penuh rasa penasaran dan kemarahan, Ciok Kim Bouw ketua Cin-sa-pang meninggalkan perkampungan Tiat-liong-pang di lereng bukit itu, menuruni bukit dengan langkah lebar. Hatinya penuh dengan perasaan marah dan malu, juga penasaran sekali. Jelaslah bahwa Tiat-long-pang mengambil jalan sesat, bukan hanya bergaul dengan penjahat, datuk sesat, bahkan juga dengan tokoh-tokoh pemberontak.

Akan tetapi, Tiat-liong-pang kuat sekali, dan melihat betapa puteranya saja sedemikian lihainya, sulit diukur bagaimana tingginya ilmu kepandaian Siangkoan Lohan. Ia bergidik kalau teringat akan kehebatan ilmu silat lawannya yang masih muda remaja tadi.

Dia merasa menyesal bukan main. Semua waktunya selama puluhan tahun digunakan untuk belajar silat, dan ternyata sekarang menghadapi seorang pemuda remaja saja dia kalah! Padahal dia menggunakan golok yang diandalkan, sedangkan pemuda itu hanya bertangan kosong.

Tiba-tiba dia menggaruk siku lengan kanannya yang mendadak terasa gatal-gatal. Saat dia menggaruknya, dia meringis karena begitu digaruk terasa panas bukan main. Dia berhenti melangkah dan menggulung lengan baju untuk melihat lengannya. Terkejutlah dia melihat betapa di lengan bawah, di bawah siku, terdapat tanda berwarna merah kebiruan sebesar jari tangan.

Itulah kiranya yang terasa gatal dan panas! Makin terkejutlah dia ketika teringat bahwa saat dia dikalahkan oleh pemuda tadi, bagian lengan itulah yang tertotok dan membuat lengannya lumpuh dan goloknya terlepas. Agaknya totokan itulah yang mendatangkan bekas yang gatal dan panas ini.

Selagi dia hendak melanjutkan perjalanan dekat dengan kaki bukit itu, tiba-tiba ada dua sosok bayangan orang berkelebat, kemudian terdengar suara seorang wanita tertawa mengejek. Dia mengangkat mukanya dan nampak Sin-kiam Mo-li bersama Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek telah berada di depannya, berdiri sambil tersenyum dan tertawa mengejek!

Ciok Kim Bouw tentu saja dapat menduga pula bahwa munculnya wanita ini pasti tidak mengandung niat baik, maka dia pun sudah mencabut golok besarnya dan menghardik. "Iblis betina, mau apa engkau menghadangku?"

"Hi-hi-hik, Cin-sa-pangcu! Selama ini aku tidak pernah tahu bahwa Cin-sa-pang sudah memiliki seorang ketua baru seperti engkau. Sekarang, setelah kau berani menghinaku di tempat umum, engkau masih bertanya lagi mau apa aku menghadangmu? Tentu saja untuk membunuhmu!"

"Bagus! Memang saat inilah yang kutunggu-tunggu, yaitu membunuhmu atau mati di tanganmu. Dan engkau, Toat-beng Kiam-ong, apakah jagoan seperti engkau hendak membantunya mengeroyok aku? Majulah, jangan kira aku takut menghadapi kalian!" tantangnya, mendahului lawan karena dia maklum bahwa tentu orang ini berpihak kepada Sin-kiam Mo-li.

Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, engkau sungguh tak tahu diri. Melawan seorang pemuda remaja bertangan kosong saja engkau keok (kalah), perlu apa membantu Sian-li. Biar engkau memecah diri menjadi rangkap sepuluh, akan mampus satu demi satu di tangan Sian-li!"

"Iblis betina, bersiaplah untuk mampus!" bentak Ciok Kim Bouw lantang sambil langsung menyerang dengan goloknya.

Dia merasa betapa lengan di bagian dekat siku terasa nyeri, akan tetapi dia tidak peduli dan terus menyerang sekuat tenaga dan dengan kemarahan meluap-luap. Dia sudah nekat karena maklum bahwa sekali ini, akibat perkelahian itu hanya dua, yaitu kalah dan mati, atau menang dan hidup. Meski dia tahu bahwa untuk menang amatlah sukarnya, apa lagi di situ berdiri si Raja Pedang yang pasti akan membantu iblis betina itu, namun sedikitnya dia tidak merasa gentar dan menyerang dengan ganas dan dahsyat.

Sambil tersenyum mengejek, Sin-kiam Mo-li menggerakkan pedangnya menangkis dan membalas dengan serangan kebutannya yang bulu-bulunya mengandung racun jahat. Ciok Kim Bouw mengelak dan melakukan perlawanan mati-matian. Dia bahkan dengan nekatnya melancarkan gerakan-gerakan untuk mengadu nyawa.

Akan tetapi, lengannya kini terasa semakin nyeri dan ngilu sehingga jari-jari tangannya kurang kuat mencengkeram gagang goloknya. Terpaksa ia memindahkan gagang golok itu ke tangan kiri dan kini melakukan perlawanan mati-matian dengan golok di tangan kiri.

Dia memang sudah melatih diri menggunakan golok dengan tangan kiri karena dia pun ahli bermain sepasang golok. Akan tetapi bagaimana pun juga, tentu saja gerakannya tidaklah selincah kalau menggunakan golok itu di tangan kanannya. Maka, tentu saja dia semakin terdesak.

Belum juga lewat dua puluh jurus, sebuah tendangan kaki kiri Sin-kiam Mo-li mengenai pahanya. Ia pun terpelanting, dan untuk mencegah lawan menyusulkan serangan, ketua Cin-sa-pang itu terus bergulingan di atas tanah sambil melindungi tubuh dengan putaran goloknya.

Sambil tertawa-tawa mengejek Sin-kiam Mo-li melakukan pengejaran sambil melecut-lecutkan cambuknya, mengikuti ke mana tubuh lawan itu bergulingan. Sama sekali dia tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk melompat bangun kembali.

Dikejar seperti itu, Ciok Kim Bouw menjadi sibuk sekali. Bukan saja ia harus meiindungi tubuhnya, akan tetapi juga keadaannya berbahaya sekali karena kalau dia meloncat bangun, tentu dia akan terkena serangan pedang atau kebutan yang amat berbahaya itu. Kebutan yang dapat dipergunakan sebagai cambuk, juga menotok atau menusuk bagaikan pedang karena dengan kekuatan sinkang bulu-bulu kebutan itu dapat menjadi kaku seperti baja, sungguh amat berbahaya. Apa lagi tiap lembar bulunya mengandung racun berbahaya!

"Ha-ha-ha, Pangcu dari Cin-sa-pang, sekarang engkau seperti seekor tikus yang lari ke sana-sini dikejar kucing! Sian-li kenapa kau harus main-main dengan dia? Bunuh saja dengan cepat dan kita kembali ke sana!" Laki-laki yang sudah tidak sabar karena ingin segera berduaan dengan kekasihnya itu mendesak.

Mendengar ini, Sin-kiam Mo-li mengeluarkan suara mengejek dan ia pun menggerakkan pedangnya untuk melakukan serangan kilat yang amat hebat pada tubuh yang sedang bergulingan itu. Sukar agaknya bagi Ciok Kim Bouw untuk mampu menyelamatkan diri dari serangan itu.

Akan tetapi mendadak Sin-kiam Mo-li mengeluarkan jeritan halus, lalu cepat menarik pedangnya kembali. Cepat dia membalik ke kanan dan dia melihat seorang pemuda sudah berdiri tak jauh dari situ. Tahulah ia bahwa yang menyambitkan kerikil kecil dan mengenai pundak kanannya sehingga lengan kanannya menjadi kesemutan itu adalah pemuda ini! Dan ia pun terkejut ketika mengenal pemuda itu.

Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek merasa sangat heran melihat kekasihnya tidak jadi menyerang, dan ia pun ikut memandang. Dilihatnya seorang pemuda yang mengenakan pakaian serba putih berdiri di bawah pohon, tak jauh dari situ. Juga Ciok Kim Bouw yang baru saja terlepas dari bahaya maut, sudah bergulingan menjauh kemudian melompat berdiri, ikut pula memandang.

Pemuda itu berpakaian serba putih, sederhana sekali. Sinar matanya lembut dan pada mulutnya terhias senyum ramah, sama sekali tidak menunjukkan kelebihan dan nampak seperti seorang pemuda petani biasa saja. Namun, Sin-kiam Mo-li kelihatan amat kaget dan kemudian marah ketika ia melangkah maju.

"Bocah setan, kiranya engkau? Bukankah kau... kau ini... yang dari gurun pasir itu?" tanyanya ragu.

Walau pun ia masih teringat benar akan wajah yang sudah pernah dibelai, dirangkul dan diciuminya itu, ia masih belum mau percaya. Pemuda yang pernah dirayunya sampai ia hampir gila karena dirangsang birahi dan pemuda itu selalu dingin saja dan tidak pernah tergairah, adalah seorang pemuda yang lemah dan sama sekali tidak mengenal ilmu silat. Waktunya baru berjalan setahun lebih sedikit, bagaimana mungkin kini pemuda itu mampu menyambitkan kerikil yang membuat lengannya hampir lumpuh?

Pemuda itu memang Tan Sin Hong! Seperti telah kita ketahui, Sin Hong meninggalkan kota Ban-goan untuk pergi ke kota raja. Ia hendak mencari hartawan she Lay, pengirim barang-barang berharga yang mengakibatkan hancurnya keluarga ayah ibunya. Ingin dia menemukan hartawan itu, untuk menyelidiki kematian ayahnya yang penuh rahasia, karena siapa tahu hartawan itu menyimpan rahasia dan dari dia maka rahasia kematian ayahnya akan dapat dibongkarnya.

Dan pada hari itu, dia tiba di kaki bukit di mana terdapat sarang Tiat-liong-pang, tanpa disengaja, melihat Ciok Kim Bouw yang terancam maut di tangan seorang wanita yang membuat darahnya berdenyut kencang dan jantungnya berdebar. Dia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Sin-kiam Mo-li, seorang di antara datuk sesat yang telah menyerbu Istana Gurun Pasir yang mengakibatkan kematian tiga orang gurunya.

Sin-kiam Mo-li yang pernah menggelutinya dan berusaha memperkosanya, kini tiba-tiba saja berada di kaki bukit itu, sedang berusaha keras membunuh seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam yang dengan susah payah membela diri. Walau pun dia tidak mengenal siapa pria bermuka hitam itu dan apa urusannya berkelahi dengan Sin-kiam Mo-li, tanpa ragu-ragu lagi Sin Hong menyelamatkan pria itu dari ancaman maut dengan menyambitkan sebuah kerikil kecil yang mengenai pundak kanan wanita iblis itu.

Sekarang dia menghadapi Sin-kiam Mo-li dengan senyum, dan diam-diam dia bersyukur melihat kenyataan bahwa pertemuan dengan wanita iblis yang sudah menyebabkan kematian ketiga orang gurunya itu sama sekali tidak membangkitkan kemarahan atau kebencian dalam hatinya. Ini merupakan suatu kemajuan dalam dirinya, pikir Sin Hong. Dia lalu mengangguk untuk menjawab pertanyaan Sin-kiam Mo-li tadi, membuyarkan keraguan wanita iblis itu.

"Benar, Sin-kiam Mo-li, aku adalah pemuda gurun pasir itu, dan engkau ternyata masih saja mengumbar kejahatan dan menyebarkan perbuatan kejam di mana pun engkau berada. Kini engkau bahkan hendak membunuh orang yang sudah jelas-jelas tidak lagi mampu melawanmu," Sin Hong menoleh ke arah Ciok Kim Bouw yang berdiri agak jauh sambil memijit-mijit lengan kanannya, sedangkan golok tadi sudah disarungkan kembali.

Ciok Kim Bouw maklum bahwa baru saja dia terbebas dari maut karena kemunculan pemuda berpakaian putih itu. Entah dengan cara bagaimana pemuda itu bisa membuat Sin-kiam Mo-li menghentikan serangannya yang membuat dia kewalahan tadi. Kini dia memandang penuh perhatian, siap untuk membantu pemuda itu. Bagaimana pun juga, kini muncul seorang yang agaknya dapat diharapkan akan membantunya menghadapi musuh-musuhnya yang terlalu lihai baginya itu.

Akan tetapi, terdapat keraguan pula di dalam hati ketua Cin-sa-pang ini. Pemuda yang berpakaian serba putih itu kelihatan demikian lemah lembut, dan sejak tadi pun belum mengeluarkan tanda bahwa dia pandai ilmu silat. Hanya sikapnya saja yang demikian tenang, bahkan menghadapi Sin-kiam Mo-li yang sudah dikenalnya, nampak demikian tenang dan berani pula mencela.

"Awass...!" Tiba-tiba Ciok Kim Bouw berteriak memperingatkan Sin Hong karena ketika pemuda itu sedang menoleh kepadanya, pada saat itu dia melihat Sin-kiam Mo-li telah menggerakkan pedangnya menusuk ke arah lambung pemuda berpakaian putih itu!

Akan tetapi, biar pun dia sedang menoleh ke arah Ciok Kim Bouw, tentu saja Sin Hong sudah tahu akan serangan gelap itu. Pada waktu itu, tingkat ilmu kepandaiannya telah mencapai titik yang tinggi sekali berkat penggabungan tenaga sinkang yang diterimanya dari tiga orang gurunya dan berkat gemblengan ilmu-ilmu yang sudah mendarah daging di tubuhnya.

Dia tahu akan tusukan yang datang menuju lambungnya dan tanpa menoleh, ketika tusukan tiba, tubuhnya sudah bergeser dan mengelak tanpa banyak kesulitan sehingga tusukan pedang Sin-kiam Mo-li mengenai tempat kosong!

Sin-kiam Mo-li yang merasa penasaran dan bangkit kebenciannya kepada pemuda yang membuatnya tergila-gila namun yang berani menolak cintanya itu, sudah melanjutkan serangannya secara bertubi-tubi dengan kebutan dan pedangnya. Demikian cepat dan bersambungan datangnya serangan-serangan ini.

Akan tetapi semua itu dapat dihindarkan dengan amat mudahnya oleh Sin Hong, hanya dengan menggerakkan kedua tangannya ke depan seperti menolak. Setiap kali telapak tangannya mendorong, ada kekuatan dahsyat yang meniup pergi bulu-bulu kebutan, bahkan telapak tangan itu berani menampar pedang itu sehingga tertangkis.

Ciok Kim Bouw yang tadinya sudah siap untuk membantu dengan goloknya yang akan dimainkan dengan tangan kiri, tidak jadi bergerak dan kini dia berdiri melongo. Jika tadi ada seorang pemuda yang halus dan lembut gerak-geriknya menghadapinya dengan tangan kosong dan dia dikalahkan, kini ada lagi seorang pemuda lain yang juga dengan tangan kosong bahkan berani melawan kebutan dan pedang di tangan Sin-kiam Mo-li! Jika tidak melihat sendiri, tentu dia tidak akan percaya bahwa ada orang, apa lagi masih begitu muda, berani menghadapi Sin-kiam Mo-li hanya dengan kedua tangan kosong saja.

Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek juga merasa heran dan amat kagum melihat betapa pemuda berpakaian serba putih itu berani melawan Sin-kiam Mo-li dengan tangan kosong. Akan tetapi dia percaya sepenuhnya bahwa kekasihnya tentu akan menang dan dalam waktu singkat merobohkan pemuda itu. Dia pun tidak akan membunuh Ciok Kim Bouw, khawatir kalau kekasihnya merasa tersinggung dan marah. Biarlah Sin-kiam Mo-li yang melaksanakannya sendiri.

Tetapi, betapa kagetnya Kiam-ong ketika tiba-tiba Sin-kiam Mo-li mengeluarkan jeritan tertahan dan sebagian dari bulu kebutan itu rontok berhamburan ketika bertemu dengan jari-jari tangan Sin Hong yang mencengkeram! Melihat Sin-kiam Mo-li terhuyung ke belakang, tentu saja Giam San Ek cepat melompat maju dan lantas menyerang dengan pedangnya.

"Tranggg...!"

Pedang itu ditangkis oleh golok Ciok Kim Bouw. Si muka hitam ini menjadi gembira sekali dan timbul semangatnya melihat betapa pemuda berpakaian putih itu benar-benar mampu menahan Sin-kiam Mo-li, bahkan dalam belasan jurus saja sudah merontokkan bulu kebutannya. Maka, melihat majunya Toat-beng Kiam-ong, dia pun maju membantu Sin Hong.

"Mundurlah!" Sin Hong membentak sambil mendorongkan kedua tangan bergantian ke arah Giam San Ek.

Si Raja Pedang ini loncat meninggalkan Ciok Kim Bouw untuk menghadapi Sin Hong, namun dia bertemu dengan tenaga dorongan amat kuat, yang merupakan tenaga tidak nampak, seperti angin yang menahannya dan membuatnya terhuyung. Tentu saja dia terkejut bukan main dan pada saat itu Sin-kiam Mo-li berseru keras.

"Kiam-ong, mari kita pergi!" Wanita itu pun sudah meloncat dan melarikan diri!

Melihat ini, tentu saja Kiam-ong terkejut dan tanpa bertanya lagi dia pun membalik dan mengambil langkah seribu menyusul temannya. Melihat ini, Ciok Kim Bouw menjadi semakin kagum kepada Sin Hong. Dia cepat menghadapi pemuda itu dan mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil membungkuk memberl hormat.

"Pendekar muda gagah perkasa sudah menyelamatkan nyawaku yang tidak berharga. Aku adalah Ciok Kim Bouw, ketua dari Cin-sa-pang. Tidak tahu siapakah nama Taihiap (Pendekar Besar) yang mulia?"

Sambil memandang wajah laki-laki tinggi besar itu. Sin Hong berkata, "Maaf, Pangcu. Pertemuan antara kita hanya kebetulan saja dan saya tidak ingin dikenal, yang paling penting adalah supaya Paman mengetahui bahwa Paman telah menderita luka pukulan beracun yang amat berbahaya."

"Ahhh...!" Ciok Kim Bouw berseru kaget, lalu menyingkap lengan bajunya yang kanan, memperlihatkan tanda merah kehitaman sebesar jari di bawah sikunya. "Memang luka ini mendatangkan rasa gatal dan nyeri sekali..."

"Hemmm, itulah tanda bekas totokan jari beracun yang sangat keji, Pangcu," kata Sin Hong. "Biar saya mencoba untuk mengobatinya."

"Terima kasih, Taihiap, dan silakan," berkata ketua Cin-sa-pang itu sambil menyodorkan lengan kanannya.

Sin Hong memegang lengan itu, kemudian menggunakan jari tangannya menotok jalan darah di atas siku, lalu mengurut luka itu. Terasa nyeri bukan main oleh Ciok Kim Bouw, namun ketua ini menahan rasa nyeri. Sin Hong kemudian mencengkeram bagian yang berwarna merah kehitaman, menggunakan hawa sakti di tubuhnya melalui tapak tangan untuk 'membakar' hawa beracun itu. Rasa nyeri dan panas membuat wajah ketua itu berpeluh, akan tetapi rasa panas itu semakin lama makin berkurang dan rasa nyeri pun lenyap. Setelah Sin Hong melepaskan tangannya, warna merah itu sudah lenyap dan rasa nyerinya pun lenyap.

"Sudah baik kembali, Pangcu, dan saya harus melanjutkan perjalanan saya," berkata demikian, Sin Hong lalu meloncat dengan cepat.

Ciok Kim Bouw hendak memanggil, namun diurungkan niatnya karena pemuda itu telah berkelebat cepat dan sudah jauh sekali. Dia hanya berdiri mengikuti bayangan itu yang makin mengecil akhirnya lenyap, berulang kali menarik napas panjang, kemudian dia pun melarikan diri dari tempat berbahaya itu.

Sehari bertemu dengan dua orang muda yang demikian lihainya cukup bagi ketua ini membuka matanya bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh dari pada cukup untuk dipakai malang melintang di dunia kang-ouw. Dia merasa rendah diri dan semenjak itu, dia lebih sering tinggal di pusat perkumpulan Cin-sa-pang untuk giat melatih diri, serta memperdalam ilmu silatnya.....

KISAH SI BANGAU PUTIH (seri ke 13 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang