Jilid 29/39

1K 16 0
                                    

"Sumoi, sungguh tidak kusangka akan bertemu denganmu di sini. Bagaimana engkau bisa berada di sini dan... dan... saudara ini siapakah?" Dia memandang kepada Sin Hong yang tersenyum.

Kiranya inilah yang bernama Gu Hong Beng, pikir Sin Hong. Tunangan dari Suma Lian! Seorang pria yang tampan dan gagah, pakaiannya biru sederhana dan bicaranya halus. Juga memiliki ilmu kepandaian tinggi, pantas jika menjadi suami Suma Lian. Akan tetapi dia teringat akan pengakuan Gu Hong Beng tadi. Utusan Siangkoan Pangcu, membawa tugas rahasia yang amat penting! Oleh karena itu, timbul kecurigaannya dan sebelum Suma Lian menjawab, dia sudah mendahului.

"Lian-moi, hati-hati, bagaimana pun juga dia adalah utusan dari Siangkoan Lohan, yang sedang membawa tugas rahasia yang penting!"

Ucapan Sin Hong ini mengejutkan hati Suma Lian dan ia memandang kepada pria yang dicalonkan sebagai suaminya itu dengan pandang mata penuh selidik dan kecurigaan. "Apa? Suheng, benarkah bahwa engkau kini sudah menjadi kaki tangan pemberontak yang bergabung dengan para tokoh sesat itu?"

Hong Beng menghela napas panjang, lalu memperhatikan sekeliling tempat itu. "Mari kita bicara," bisiknya, "akan tetapi harus berhati-hati agar tidak terdengar orang lain."

"Mari ikut denganku," berkata Sin Hong yang lalu mengajak Hong Beng dan Suma Lian memasuki hutan di mana dia dan gadis itu tadi sudah membuat api unggun. Tempat ini memang terlindung pohon-pohon, dan berada di tempat yang agak tinggi sehingga bisa melihat kalau ada orang datang ke tempat itu.

"Nah, di sini kita bisa bicara dengan aman," katanya.

Hong Beng lalu memandang Suma Lian dan kembali sinar kagum terbayang di matanya melihat gadis ini. Betapa cantik jelitanya Suma Lian sekarang dan jantungnya berdebar tegang, bukan hanya tegang karena girang membayangkan gadis ini telah ditunangkan dengan dia, akan tetapi juga tegang melihat betapa gadis ini sekarang berdua dengan seorang pemuda yang lihai! Biar pun pemuda itu tidak dapat dikatakan berwajah tampan sekali, namun dia tidak buruk, dan wajahnya cerah, ramah dan menarik.

"Sumoi, apa yang kulakukan ini memang benar, yaitu bahwa aku tengah menjadi utusan Siangkoan Lohan membawa tugas rahasia yang penting sekali. Tetapi, hal ini kulakukan dengan terpaksa karena aku sedang bersandiwara untuk menyelamatkan nyawa dua orang sandera. Engkau mengenal baik seorang di antara mereka, karena ia bukan lain adalah nona Pouw Li Sian..."

"Aihh...!" Tentu saja Suma Lian amat kaget mendengar nama saudara seperguruannya itu. "Apa yang telah terjadi? Bagaimana Sian-sumoi sekarang dapat menjadi sandera di Tiat-liong-pang?"

Hong Beng kemudian menceritakan semua yang sudah terjadi, betapa tadinya mereka berempat, dia, Cu Kun Tek, Pouw Li Sian, dan juga Kwee Ci Hwa menjadi tawanan dan terancam nyawa mereka. Diceritakannya pula betapa Ci Hwa berhasil membebaskan mereka, entah dengan cara bagaimana, akan tetapi gadis itu lalu lenyap.

"Setelah membebaskan kami, ia pergi entah ke mana..."

"Ia telah tewas!" kata Sin Hong cepat, sengaja untuk memberi kesan kepada Suma Lian bahwa dia berduka atas kematian gadis yang dicintanya. Lalu diceritakannya kepada Gu Hong Beng tentang peristiwa itu, ketika dia dan Suma Lian membantu Ci Hwa melarikan diri akan tetapi gadis itu tewas karena luka-lukanya.

Mendengar ini, Gu Hong Beng menarik napas panjang. "Ahh, sungguh kasihan sekali gadis bernasib malang itu..."

Dia lalu melanjutkan ceritanya, betapa mereka bertiga tertangkap lagi karena dikeroyok dan dimasukkan tahanan. "Ouwyang Sianseng yang menjadi pelopor pemberontakan itu bersama Siangkoan Lohan, lalu menyuruh kami bertiga mengambil keputusan, memilih satu di antara dua. Membantu pemberontakan mereka atau dibunuh! Kami tidak takut mati, akan tetapi juga enggan mati konyol. Oleh karena itu, aku bersandiwara, pura-pura menakluk dan aku diuji dengan tugas ini, tugas khusus menyampaikan surat penting kepada Panglima Coa yang bersekutu dengan pemberontak. Aku sedang mencari jalan bagaimana sebaiknya untuk dapat menyelamatkan kedua orang kawan yang dijadikan sandera, dan tiba-tiba saudara ini menyusul dan menyerangku."

"Gu-suheng, saudara ini adalah Tan Sin Hong. Kami berdua juga sedang melakukan penyelidikan untuk menentang gerakan yang dipimpin oleh Tiat-liong-pang dan yang bersekutu dengan para tokoh sesat itu. Kami tidak tahu bahwa engkau dan bahkan juga Sian-sumoi ditawan di sana."

Mendadak Sin Hong berkata, "Lian-moi, harap kau suka membantu saudara Gu Hong Beng menyampaikan surat dan mencari akal, sedangkan aku sendiri akan menyelundup ke sarang Tiat-liong-pang untuk mencoba kalau-kalau aku akan dapat membebaskan saudara Cu Kun Tek dan nona Pouw Li Sian itu!" Tanpa menanti jawaban, Sin Hong berkelebat dan lenyap dari tempat itu.

"Hong-ko...!" Suma Lian memanggil, tetapi pemuda itu telah lenyap ditelan kegelapan malam. Diam-diam Gu Hong Beng kagum bukan main.

"Dia amat lihai...," katanya.

"Tentu saja, Suheng. Dia adalah murid terakhir dari para locianpwe di Istana Gurun Pasir."

"Ahhh...!" Hong Beng terkejut dan kagum sekali, "Pantas saja dia tadi dapat mengenal Swat-im Sinkang begitu aku mempergunakan ilmu itu."

"Kasihan, dia berduka karena kehilangan kekasihnya, yaitu gadis yang kami tolong dari dalam sarang Tiat-liong-pang itu."

"Kwee Ci Hwa...?"

"Benar. Sudahlah, Suheng. Bagaimana sekarang? Apakah aku dapat membantumu?"

Hong Beng menjawab ragu. "Aku sendiri masih bingung, Sumoi. Kalau tugas ini tidak kulaksanakan, nyawa Kun Tek dan nona Li Sian terancam bahaya maut. Mereka tentu akan dibunuh kalau aku tidak kembali ke sana membawa balasan dari Panglima Coa. Akan tetapi kalau aku melanjutkan tugas ini, berarti aku membantu pemberontakan itu. Isi surat itu amat penting."

Sambil berjalan menuju ke perbentengan, Hong Beng lalu memberi penjelasan kepada Suma Lian agar gadis itu dapat membantunya mencari akal yang baik.

"Sebaiknya kau lanjutkan itu. Biar aku menanti di luar benteng, siap membantumu jika engkau terancam bahaya kegagalan. Kalau di dalam surat hanya disebutkan engkau seorang sebagai utusan, tentu akan menimbulkan kecurigaan kalau aku ikut masuk ke dalam benteng."

Hong Beng membenarkan pendapat itu. Akan tetapi, selagi mereka berjalan sambil bercakap-cakap, tiba-tiba saja bermunculan tiga belas orang berpakaian serba merah, dipimpin oleh seseorang yang berpakaian hijau! Mereka ini segera membuat gerakan mengepung Hong Beng dan Suma Lian, dan orang berpakaian hijau yang bertubuh kurus sekali itu, dengan suaranya yang parau menudingkan pedangnya ke arah Hong Beng.

"Hemm, sudah kami duga, tentu engkau akan berkhianat! Baiknya Mo-li menyuruh aku melakukan penghadangan di sini! Ternyata benar saja, engkau menemui kawanmu ini dan hendak berkhianat kepada Tiat-liong-pang!"

Hong Beng tidak mengenal orang itu, akan tetapi Suma Lian segera mengenalnya.

"Hei bukankah engkau Tok-ciang Hui-moko Liok Cit, tikus busuk itu?" bentaknya sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka si kurus berpakaian hijau.

Orang itu memang Liok Cit, tangan kanan Sin-kiam Mo-li yang sedang bertugas di situ memimpin tiga belas orang anggota Ang-I Mo-pang atas perintah Sin-kiam Mo-li yang cerdik dan yang meragukan kejujuran Hong Beng. Kini dia pun mengenal Suma Lian, dan wajahnya berubah agak pucat.

Celaka, pikirnya. Gadis liar yang amat lihai itu kiranya teman Gu Hong Beng ini! Makin yakinlah dia bahwa Hong Beng memang bersekutu dengan pihak musuh.

"Tangkap mereka berdua, hidup atau mati!" Perintahnya dengan suara lantang.

Perintah ini berarti bahwa orang-orang Ang-I Mo-pang itu boleh membunuh pemuda dan gadis itu. Maka ketiga belas orang itu langsung mencabut pedang masing-masing dan membuat lingkaran, membentuk barisan aneh yang berlari-lari mengelilingi Hong Beng dan Suma Lian.

Gadis ini sama sekali tidak merasa khawatir, bahkan marah sekali. Dicabutnya suling emas dari balik bajunya, dan ia berkata kepada Hong Beng dengan sikap tenang sekali. "Suheng, kau hadapi barisan siluman ini dan aku akan menghajar si cacing kurus itu. Biarkan aku menggempur barisan untuk berhadapan dengan tikus itu!"

Mendengar betapa gadis yang lihai itu menyebut Hong Beng sebagai suheng, makin khawatirlah hati Liok Cit.

"Hayo gempur mereka!" bentaknya dari luar barisan.

Tiga belas orang anggota Ang-I Mo-pang ini memang ahli dalam pembentukan barisan yang aneh-aneh. Walau pun tingkat kepandaian mereka itu kalau maju seorang demi seorang tidak akan ada artinya bagi para pendekar seperti Hong Beng dan Suma Lian, akan tetapi kalau sudah membentuk barisan, mereka menjadi kekuatan yang dahsyat, yang bisa bekerja sama dengan baik sekali sehingga seolah-olah dikendalikan oleh satu pikiran, dengan tiga belas pasang kaki dan tangan, dengan tiga belas batang pedang!

Barisan itu mulai menyerang sambil tetap berlari mengelilingi gadis dan pemuda itu, bertubi-tubi dan saling melindungi, susul menyusul, ke arah tubuh Hong Beng dan Suma Lian. Namun Hong Beng yang ketika berangkat melaksanakan tugas telah memperoleh kembali pedangnya, yaitu sepasang pedang, kini sudah siap dengan sepasang senjata itu, memutarnya dengan ilmu pedang Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang hebat. Sedangkan Suma Lian telah menerjang ke depan, memutar suling emasnya dengan Ilmu Suling Naga Siluman yang mengeluarkan suara melengking-lengking dan membentuk gulungan sinar kuning emas yang menyilaukan mata.

Hong Beng yang maklum bahwa gadis itu lihai sekali, bahkan dia tahu bahwa gadis itu memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi darinya, kini memutar sepasang pedang untuk membendung serangan tiga belas anggota barisan Ang-I Mo-pang itu, memberi kesempatan kepada Suma Lian untuk menerjang keluar.

Kesempatan ini memang dipergunakan oleh gadis itu. Dia memutar sulingnya semakin dahsyat sambil menerjang ke arah kiri. Anggota barisan yang berlari di sebelah kiri cepat-cepat menangkis dengan pedangnya ketika ada sinar emas mencuat ke arahnya, dibantu pula oleh teman di kanan kirinya yang menahan serangan Suma Lian dengan tusukan pedang mereka ke arah gadis itu.

Namun Suma Lian memutar sulingnya, menangkis pedang-pedang itu sambil tangan kirinya mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang mendorong ke arah mereka. Hawa dingin menyambar dahsyat ke arah tiga orang anggota barisan itu, dan mereka mengeluarkan teriakan kaget sambil terhuyung ke belakang, namun tempat mereka segera diisi oleh tiga orang teman lainnya sehingga jalan keluar bagi Suma Lian tertutup lagi.

Melihat ini, Gu Hong Beng menerjang pula ke bagian itu. Sepasang pedangnya lantas menyambar-nyambar, akan tetapi segera sepasang pedang itu disambut pula oleh tidak kurang dari enam batang pedang lawan.

Tiba-tiba Suma Lian mengeluarkan bentakan melengking dan tubuhnya lalu berkelebat meloncat tinggi melampaui atas kepala para pengepungnya! Ketika barisan itu hendak menghalanginya, ia kembali mendorong tangan kirinya yang kini mengandung tenaga sakti Hui-yang Sinkang yang panas dan mereka yang berusaha menghalanginya itu pun terdorong mundur dan berteriak kaget karena merasa betapa hawa panas menyambar ke arah mereka. Barisan itu menjadi kacau dan Suma Lian sudah tiba di luar barisan. Tanpa membuang waktu lagi, Suma Lian langsung menyerang Liok Cit dengan suling emasnya.

"Tikus pengecut, sekarang kuantar kau ke neraka!" bentak Suma Lian.

Liok Cit yang menjadi ketakutan cepat menyambut dengan pedangnya. Ia mengerahkan segenap tenaga dan kepandaiannya untuk membendung serangan suling emas yang sinarnya menyilaukan mata itu.

Sementara itu, Hong Beng juga mengamuk dengan pedangnya. Barisan itu telah kacau karena enam orang di antara mereka sudah dibikin terhuyung oleh pukulan Swat-im Sinkang dan Hui-yang Sinkang dari Suma Lian tadi. Kini Hong Beng memainkan ilmu pedangnya dengan dahsyat, mengerahkan tenaganya sehingga tubuh dan pedangnya bagaikan bola api yang menggelinding ke sana ke mari, dan barisan itu pun menjadi semakin kacau dan tidak dapat mempertahankan lagi keutuhan atau kerapian gerakan mereka.

Sementara itu, perkelahian antara Suma Lian melawan Liok Cit terjadi berat sebelah. Liok Cit yang berjuluk Tok-ciang Hui-moko (Iblis Terbang Tangan Beracun) itu ternyata bukan tandingan Suma Lian. Ia pun tidak berani mencoba-coba untuk mempergunakan sihirnya, karena hal ini hanya berarti menggugah harimau tidur.

Gadis itu memiliki kekuatan sihir yang jauh lebih kuat darinya, maka akan percuma saja jika dia menggunakan sihir. Satu-satunya jalan bagi Liok Cit hanyalah mempertahankan diri dan sedapat mungkin mencari kesempatan untuk dapat melarikan diri.

Akan tetapi, agaknya Suma Lian tidak mau melepaskan lagi musuhnya ini. Ia teringat akan perbuatan Liok Cit yang lalu, mencoba untuk menyihirnya, dan menculik Yo Han sehingga mengakibatkan tewasnya ayah dan ibu anak itu, bahkan dirinya sendiri hampir celaka kalau saja tidak ada Sin Hong yang menolongnya. Maka, Suma Lian mendesak dengan suling emasnya dan tidak memberi jalan keluar sama sekali.

Liok Cit melawan mati-matian sambil terus mundur. Akhirnya, tanpa dapat dihindarkan lagi, ujung suling gadis itu menyentuh pelipis kirinya. Tubuh Liok Cit terjungkal dan dia tewas seketika tanpa mengeluarkan suara lagi!

Setelah merobohkan Liok Cit, Suma Lian lalu membalikkan tubuhnya dan terjun ke dalam pertempuran membantu Hong Beng yang dikeroyok oleh barisan Ang-I Mo-pang. Barisan itu memang sudah kacau balau, bahkan telah kehilangan tiga orang anggota barisan yang tadi roboh terkena pedang di tangan Hong Beng. Maka, begitu Suma Lian masuk, sisa pasukan menjadi semakin kacau dan gentar.

Namun, sepasang pendekar itu agaknya tak mau melepaskan mereka. Hal ini memang sudah semestinya, karena kalau ada seorang saja di antara mereka lolos dan melapor kepada pimpinan Tiat-liong-pang, tentu rahasia Hong Beng segera diketahui dan akan celakalah Li Sian dan Kun Tek yang menjadi sandera.

Maka, mereka mengamuk dan sisa barisan yang berusaha menyelamatkan diri itu sia-sia belaka. Akhirnya mereka roboh seorang demi seorang dan setelah perkelahian itu berhenti, ketiga belas orang anggota Ang-I Mo-pang dan Liok Cit sudah tewas semua, tubuh mereka malang melintang di antara darah yang membasahi tanah.

"Bagus, bagus! Orang-orang muda mempergunakan ilmu kepandaian untuk melakukan pembunuhan terhadap banyak orang, sungguh menyedihkan!"

Hong Beng dan Suma Lian cepat membalikkan tubuh mereka, siap siaga menghadapi lawan baru. Juga mereka terkejut karena kehadiran orang yang mengeluarkan suara itu sama sekali tidak mereka ketahui, hal ini saja menunjukkan betapa lihainya orang itu. Dan ketika mereka membalik, mereka melihat dua orang kakek dan nenek sudah berdiri di situ sikap mereka tenang dan berwibawa.

Kakek itu sudah tua, usianya antara tujuh puluh tahun berpakaian sastrawan sederhana, sikapnya lembut namun berwibawa, wajahnya masih memperlihatkan ketampanan dan kegagahan. Ada pun nenek itu belasan tahun lebih muda, usianya sekitar lima puluh empat tahun. Wajahnya masih nampak cantik dan sepasang matanya bergerak lincah dan penuh semangat.

"Kongkong dan Bobo (Kakek dan Nenek)...!" Suma Lian berseru ketika ia mengenal kedua orang itu.

Mereka berdua itu memang kakek Kam Hong dan nenek Bu Ci Sian yang baru saja meninggalkan benteng pasukan pemerintah setelah mereka menolong Panglima Liu, utusan dari kota raja. Kalau Suma Lian langsung mengenal mereka, kedua orang tua itu tertegun sejenak, akan tetapi mereka pun teringat bahwa gadis cantik dan gagah yang memegang sebatang suling emas itu bukan lain adalah Suma Lian, cucu mereka sendiri!

"Hemmm, kiranya engkau, Lian?" Nenek Bu Ci Sian meloncat dekat dan memegang pundak cucunya. "Sudah begini dewasa, sampai tidak dapat mengenalmu tadi!"

"Dan kini menjadi seorang yang begitu ganas, membunuhi orang seperti membunuh semut saja!" kata pula Kam Hong dengan alis berkerut karena hatinya merasa tidak puas melihat betapa cucunya tadi membunuh semua lawannya.

Suma Lian lari menghampiri kakeknya, memegang tangan kakeknya kemudian berkata dengan lagak manja, "Aih, Kakek ini! Bertahun-tahun tidak saling jumpa, begitu bertemu langsung memarahi aku, bukannya memberi hadiah! Ketahuilah, Kongkong, terpaksa sekali kami harus membunuh semua orang ini. Kalau seorang saja kami biarkan lolos, maka nyawa sumoi-ku dan nyawa seorang pendekar lain yang menjadi sandera tentu akan melayang!"

"Ehhh? Apa maksudmu? Dan siapakah orang muda ini?"

"Kakek dan Nenek, dia ini adalah suheng-ku sendiri, namanya Gu Hong Beng. Ia murid dari paman Suma Ciang Bun."

Kakek dan nenek itu mengangguk-angguk dan memandang kepada Hong Beng dengan kagum. Seorang pemuda yang perkasa, pikir mereka.

"Bagus, kalau begitu bukan orang lain," kata Bu Ci Sian.

Gu Hong Beng lalu melangkah maju dan memberi hormat kepada mereka. "Harap Ji-wi Locianpwe memaafkan kalau saya bersikap kurang hormat," katanya.

"Lian-ji, sebenarnya apakah yang telah terjadi dan apa artinya kata-katamu tadi bahwa kalau kalian tidak membunuh semua orang ini maka nyawa sumoi-mu dan seorang pendekar lain akan melayang?"

Suma Lian, dibantu oleh Hong Beng, kemudian menceritakan semua yang telah terjadi. Tentang Hong Beng yang menjadi utusan Siangkoan Lohan untuk menyerahkan surat kepada Coa Tai-ciangkun, tentang Li Sian dan Kun Tek yang masih menjadi sandera dan betapa mereka tadi diserang oleh orang-orang Ang-I Mo-pang yang menjadi sekutu Tiat-liong-pang. Hong Beng menceritakan pula akan isi surat rahasia yang telah sempat dibacanya.

Mendengar cerita mereka, Kam Hong mengerutkan alisnya, "Wah, kalau begitu gawat sekali. Surat itu harus diperlihatkan kepada Liu Tai-ciangkun secepatnya!"

"Maaf Locianpwe, yang harus menerima adalah panglima she Coa, bukannya she Liu," bantah Hong Beng.

Kakek itu tersenyum, "Engkau belum tahu apa yang terjadi di dalam benteng itu, orang muda. Beruntunglah bahwa engkau bertemu dengan kami, jika tidak, begitu memasuki benteng tentu engkau akan ditangkap dan dianggap mata-mata yang sesungguhnya dari kaum pemberontak." Kakek itu lalu menceritakan apa yang telah terjadi, betapa Coa Tai-ciangkun dan antek-anteknya telah ditangkap dan kekuasaan di benteng itu telah dipegang oleh pemerintah.

Hong Beng terkejut mendengar keterangan itu. "Wah, jika sudah begini, lalu bagaimana baiknya, Locianpwe?"

"Kami mengenal Liu-ciangkun dengan baik, mari kalian kami ajak masuk ke benteng menemuinya dan berunding. Peristiwa yang terjadi di dalam benteng itu dirahasiakan sehingga orang luar tiada yang tahu, maka pihak pemberontak juga tidak tahu bahwa sekutu mereka yang berada di dalam benteng telah ditangkap semua."

Mereka berempat lalu kembali ke banteng. Karena para penjaga mengenal baik kakek dan nenek yang pernah berjasa besar dalam menggulung komplotan yang berkhianat, maka keempat orang ini dapat memasuki benteng tanpa banyak susah, bahkan segera mereka malam itu juga disambut sendiri oleh Panglima Liu yang dibangunkan dari tidur dan diberi laporan.

"...Ah, Jiwi Locianpwe datang kembali tentu membawa berita penting," kata panglima itu dengan ramah. Dia mengamati Hong Beng dan Suma Lian penuh perhatian. "Siapakah Ji-wi yang gagah perkasa ini?"

Kam Hong segera menjawab. "Mereka ini adalah dua orang cucu kami, Tai-ciangkun, dan memang betul bahwa kedatangan kami membawa berita yang amat penting. Orang muda bernama Gu Hong Beng ini, bersama dua orang kawannya yang juga pendekar-pendekar yang menentang gerakan Tiat-liong-pang dan para tokoh sesat, telah tertawan oleh Siangkoan Lohan. Dua orang dijadikan sandera dan dia ini dipaksa untuk menjadi utusan, mengirim surat untuk Coa-ciangkun. Dia bersedia melakukannya hanya untuk menyelamatkan dua orang kawannya dan kebetulan sekali dia bertemu dengan kami, maka kami bawa ke sini."

Hong Beng lalu menceritakan kembali semua yang terjadi di Tiat-liong-pang, kemudian dia menyerahkan pula surat yang ditulis oleh Siangkoan Lohan untuk diberikan kepada Coa-ciangkun itu kepada Panglima Liu. Panglima itu membacanya dan dia pun lantas mengerutkan alisnya, lalu memanggil semua perwira pembantunya.

Malam itu juga mereka mengadakan rapat, dihadiri pula oleh Kam Hong, Bu Ci Sian, Gu Hong Beng dan Suma Lian. Dalam rapat itu lalu diambil keputusan bahwa Gu Hong Beng akan membawa pasukan yang dianggap 'sekutu' pemberontak untuk bergabung. Kesempatan ini akan digunakan oleh pasukan untuk mengepung Tiat-liong-pang tanpa menimbulkan kecurigaan sehingga akan memudahkan serangan mereka kalau saatnya tiba. Sedangkan kakek Kam Hong, nenek Bu Ci Sian dan cucu mereka, Suma Lian, akan menyelinap ke dalam sarang gerombolan pemberontak dan membantu gerakan pasukan itu dari dalam.

"Jangan khawatirkan nasib adik Li Sian," kata Suma Lian kepada Hong Beng. "Aku akan berusaha sedapat mungkin untuk menyelamatkan ia dan kawannya lebih dulu!"

Gu Hong Beng menyetujui. Memang itu satu-satunya jalan terbaik. Dia akan kembali dan membawa pasukan, tentu pihak pemberontak takkan mencurigainya dan pasukan itu akan dapat mengepung pemberontak dengan leluasa dan tanpa dicurigai. Dia sendiri kalau sudah tiba di dalam akan segera berusaha membebaskan dua orang kawannya itu, bergabung dengan Suma Lian.

Hatinya lega jika mengingat bahwa Suma Lian ditemani oleh kakek dan neneknya, dua orang yang dia tahu amat sakti, maka hatinya tak perlu mengkhawatirkan 'tunangannya' yang kali ini benar-benar menjatuhkan hatinya itu! Dia tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada tunangannya sendiri, setelah bertemu dengan Suma Lian yang sekarang telah menjadi seorang gadis dewasa yang amat cantik menarik.

Setelah berunding masak-masak, Suma Lian bersama kakek dan neneknya lalu pergi meninggalkan benteng karena mereka akan bergerak terpisah, bahkan kalau mungkin mendahului menyelundup ke dalam sarang pemberontak dan membantu pasukan dari sebelah dalam.....

KISAH SI BANGAU PUTIH (seri ke 13 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang