Siangkoan Lohan dan puteranya mengerutkan alis dan memeriksa para penjaga yang malang melintang itu dengan pandang mata mereka.
"Di mana Ciu Hok Kwi...?" Siangkoan Lohan berseru.
"Mana Kwee Ci Hwa?" Siangkoan Liong juga berseru heran.
Ayah dan anak ini masih merasa heran mengapa tiga orang tawanan ini dapat lolos dan tidak adanya Ciu Hok Kwi dan Kwee Ci Hwa membuat mereka merasa curiga. Namun, tiga orang pendekar itu yang maklum bahwa tidak perlu lagi banyak bicara dengan para pimpinan pemberontak yang lihai ini, sudah cepat menggerakkan pedangnya masing-masing untuk membuka jalan berdarah dan meloloskan diri dari tempat berbahaya itu.
Akan tetapi mereka bertiga segera dikeroyok. Bahkan Ouwyang Sianseng sendiri, juga Siangkoan Lohan turun tangan. Siangkoan Lohan ketua Tiat-liong-pang yang menjadi pemimpin pemberontakan itu juga sudah mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yaitu huncwe emas. Ouwyang Sianseng juga sudah menggerakkan kipasnya, juga Siangkoan Liong sudah menggunakan pedangnya untuk ikut mengepung.
"Tangkap mereka kembali, jangan dibunuh!" terdengar Ouwyang Sianseng berseru.
Kakek ini sedang berusaha untuk memberontak untuk membalas dendamnya terhadap kerajaan. Dia membutuhkan bantuan orang-orang muda ini, maka dia merasa sayang kalau mereka dibunuh begitu saja. Alangkah akan menguntungkan kalau tiga orang ini dapat dibujuk untuk membantu gerakan mereka.
Sementara itu, dalam kamar Ciu Hok Kwi masih terjadi perkelahian mati-matian antara Ci Hwa dan Ciu Hok Kwi. Meski Ci Hwa mengamuk dengan nekat, namun ia bukanlah lawan Tiat-liong Kiam-eng Ciu Hok Kwi. Setelah lewat tiga puluh jurus, kayu potongan bangku di tangan Hok Kwi berhasil melukai pergelangan tangan gadis itu.
Ci Hwa berteriak kesakitan. Pedangnya terlepas, di lain saat pedang itu telah dirampas oleh Ciu Hok Kwi dan kini, dengan pedang di tangannya, Ciu Hok Kwi dengan beringas memandang gadis itu. Dia sudah marah sekali karena maklum bahwa dia telah ditipu oleh Ci Hwa, mempergunakan keindahan wajah dan tubuhnya, memikatnya sehingga kini tawanan yang lain telah keluar dari kamar-kamar mereka. Dia akan membunuh Ci Hwa, menyiksanya, untuk melampiaskan kemarahannya.
"Wuuuttt...!"
Pedangnya menyambar dan karena dia memang ahli pedang, gerakan pedangnya itu cepat sekali.
Ci Hwa meloncat ke belakang, tetapi tetap saja paha kirinya terserempet ujung pedang. Celananya robek dan kulit paha berikut sedikit dagingnya robek pula. Darah menetes keluar. Ci Hwa menyambar sebuah bangku lain dari sudut kamar dan ia dengan nekat menyerang lawan itu dengan bangku. Akan tetapi, kembali sinar pedang berkelebat dan pangkal lengannya robek terluka!
Ci Hwa menyerang terus mati-matian tanpa mempedulikan dirinya dan dalam belasan jurus saja, dia sudah menderita belasan luka yang tidak parah namun cukup merobek pakaian dan kulit tubuhnya, membuat darah berlepotan membasahi seluruh tubuhnya. Mengerikan sekali keadaan gadis itu, dan Hok Kwi menyeringai puas.
"Akan kubunuh engkau, perempuan setan!" desisnya berkali-kali setiap kali pedangnya mengenai sasaran.
Dia sengaja hanya melukai dengan ujung pedang karena tidak ingin segera membunuh gadis itu. Setelah gerakan Ci Hwa semakin lemah karena terlalu banyak mengeluarkan darah, Hok Kwi baru melakukan serangan yang sesungguhnya.
"Cappp...!" Pedangnya menancap ke lambung Ci Hwa, agak lebih dalam dan gadis itu pun terhuyung, lalu roboh.
"Mampuslah kau...!" Ciu Hok Kwi menggerakkan pedangnya untuk dibacokkan ke arah leher, namun mendadak sebuah tangan menyambar dan mengetuk pergelangan tangan kanannya.
"Dukkk! Ahhhhh...!"
Ciu Hok Kwi terkejut sekali, seketika tangannya lumpuh dan pedangnya terlepas. Ketika dia mengangkat muka, ternyata di situ telah berdiri seorang pemuda yang berpakaian serba putih, bersama seorang gadis yang cantik jelita dan bersikap gagah sekali. Makin terkejutlah dia ketika mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah Tan Sin Hong!
"Paman Ciu Hok Kwi! Apa... apa yang kau lakukan ini dan mengapa engkau berada di sini?" tanya Sin Hong yang juga terkejut dan heran sekali melihat bahwa orang yang hampir membunuh Kwee Ci Hwa itu bukan lain adalah Ciu Hok Kwi atau Ciu Piauwsu, bekas pembantu mendiang ayahnya!
Hok Kwi nampak kebingungan, lalu menjawab gagap, "Aku... aku...," dan tubuhnya lalu meloncat keluar kamar dan melarikan diri!
"Biar kukejar dia!" kata Suma Lian, gadis yang datang bersama Sin Hong.
"Jangan," kata Sin Hong. "Gadis ini terluka parah, kita harus menyelamatkan dia dan keluar dulu dari sini."
Mereka berdua lalu keluar dari dalam kamar. Sin Hong memondong tubuh Ci Hwa yang berlumuran darah dan gadis itu dalam keadaan pingsan. Karena pada waktu itu para tokoh sesat sedang sibuk mengeroyok Hong Beng, Kun Tek, dan Li Sian, maka dua orang muda perkasa ini dapat melarikan diri keluar dari perkampungan Tiat-liong-pang dengan aman.
Sementara itu, dengan amat ketakutan Ciu Hok Kwi meninggalkan kamarnya dan tiba di tempat di mana tiga orang pendekar muda itu dikeroyok. Perkelahian ini tidak seimbang. Tiga orang muda itu memang lihai bukan main, akan tetapi, mereka dikeroyok dan di antara para pengeroyok mereka terdapat orang-orang yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari pada mereka, seperti Siangkoan Lohan, Siangkoan Liong dan terutama sekali Ouwyang Sianseng.
Apa lagi tiga orang pendekar ini telah kehilangan senjata mereka, hanya menggunakan pedang biasa saja, hasil rampasan dari para penjaga tadi. Tentu saja pedang-pedang biasa itu tidak ada artinya ketika bertemu dengan senjata-senjata pusaka di tangan para pengeroyok mereka.
Ketika mereka terdesak, kembali dengan gagang kipasnya, Ouwyang Sianseng berhasil menotok roboh mereka satu demi satu. Tiga orang muda itu lalu dibelenggu dan kembali dilempar ke dalam sebuah tahanan yang besar, sekali ini disatukan dan dirantai pada dinding kamar sehingga mereka bertiga tidak akan mampu berkutik lagi!
Ciu Hok Kwi mengajak teman-temannya lari ke kamarnya untuk menghadapi Tan Sin Hong dan wanita cantik itu, akan tetapi ketika mereka tiba di sana, Sin Hong dan Suma Lian telah lenyap, bahkan Ci Hwa yang tadi telah roboh juga tidak nampak di situ.
"Hok Kwi, apa yang telah terjadi?" Siangkoan Lohan menegur muridnya, suaranya tegas dan kereng. "Bagaimana mereka bisa keluar?"
Wajah Hok Kwi berubah pucat. Dia tidak dapat mengelak lagi, akan tetapi dia seorang yang cerdik dan dalam waktu beberapa detik itu dia telah dapat mengatur siasat untuk menyelamatkan diri. Tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya.
"Harap Suhu sudi memaafkan, teecu mengaku telah melakukan kesalahan, telah lalai."
Siangkoan Lohan amat menyayang muridnya ini, karena muridnya ini selain merupakan murid paling lihai, juga cerdik sekali dan selama ini membuat jasa besar untuk kemajuan gerakan pemberontakannya. Melihat muridnya berlutut minta maaf dan mengaku salah, kesabarannya telah datang kembali.
"Sudahlah, ceritakan saja apa yang telah terjadi! Engkau yang memimpin anak buahmu melakukan penjagaan terhadap para tawanan itu, bagaimana mereka dapat keluar dan membuat ribut, bahkan telah membunuh banyak penjaga?"
"Maaf, Suhu. Memang teecu sudah bersalah dan teledor, akan tetapi kalau tidak ada si keparat Tan Sin Hong, putera Tan Piauwsu dari Ban-goan itu, tentu tidak akan terjadi pelepasan para tawanan. Harap Suhu ketahui bahwa gadis itu, yang bernama Kwee Ci Hwa, adalah puteri Kwee Piauwsu di Ban-goan dan sudah mengenali teecu. Teecu... teecu tergoda dan membawanya ke kamar teecu, karena teecu merasa yakin bahwa para tawanan takkan mungkin dapat lolos dengan adanya penjagaan ketat. Akan tetapi, tiba-tiba saja terjadi kegaduhan dan tiga orang tawanan itu lolos, ternyata dilepaskan oleh Tan Sin Hong itu bersama seorang temannya. Karena marah, Kwee Ci Hwa lalu teecu lalu bunuh. Tan Sin Hong dan temannya itu datang, dan terpaksa teecu melarikan diri karena tidak mampu menandingi mereka. Dan ternyata dia sudah pergi bersama temannya itu, dan agaknya membawa pergi mayat Kwee Ci Hwa."
Cerita ini dapat diterima oleh Siangkoan Lohan. "Sudahlah, sekarang jagalah baik-baik, awas kalau sampai mereka terlepas lagi. Kecerobohanmu tadi membuat kita kehilangan belasan anak buah!"
"Maaf, Suhu. Teecu akan menjaga dengan taruhan nyawa," kata Ciu Hok Kwi.
Sementara itu, Sin Hong dan Suma Lian berhasil keluar dari sarang Tiat-liong-pang dan memasuki sebuah hutan di lereng bukit. Matahari pagi telah mulai mengirim cahayanya mengusir kegelapan malam ketika mereka berhenti di atas padang rumput dalam hutan itu. Dengan hati-hati Sin Hong merebahkan tubuh Ci Hwa ke atas rumput.
Tadi, dalam perjalanan, dia telah menghentikan beberapa jalan darah untuk menahan keluarnya terlalu banyak darah. Akan tetapi, keadaan Ci Hwa sudah sangat payah dan lemah, disebabkan oleh luka di lambungnya yang dalam, dan juga karena terlampau banyak keluar darah.
Ci Hwa membuka matanya dan mulutnya tersenyum ketika ia mengenal wajah Sin Hong yang berlutut di dekatnya. "Hong-ko... syukurlah... aku dapat bertemu denganmu..."
"Ci Hwa, tenanglah, aku akan berusaha mengobatimu..."
Ci Hwa menggelengkan kepala. Di dalam hatinya ia berkata bahwa ia tidak ingin hidup lagi, setelah penghinaan yang dideritanya dari Siangkoan Liong, juga dari Ciu Hok Kwi.
"Hong-ko, dengarlah baik-baik. Ciu Hok Kwi itu..., dialah yang mengatur semua... yang membunuh ayahmu, membunuh Tang Piauwsu... dan dia pulalah orang bertopeng yang membunuh orang she Lay itu..."
Sin Hong terkejut bukan main. Dia memandang wajah Ci Hwa dengan sinar mata tidak percaya dan mengira bahwa karena keadaannya yang payah, gadis itu telah berbicara tidak karuan.
"Tapi, Hwa-moi, dia... dia itu pembantu mendiang ayahku..."
Ci Hwa menggeleng kepalanya. "Dia murid pertama Siangkoan Lohan..., mereka ingin memberontak, mereka menguasai Piauwkiok ayahmu... agar dapat mengatur hubungan dengan luar Tembok Besar... dengan orang-orang Mongol. Semua itu siasat belaka untuk menguasai Piauwkiok milik ayahmu... dia telah mengaku semua ini kepadaku..."
"Keparat...!" Sin Hong terbelalak, baru dia tahu mengapa ayahnya dibunuh, kiranya ada hubungannya dengan pemberontakan.
Pantas saja orang she Lay itu menyebut Tiat-liong-pang. Kiranya Tiat-liong-pang yang mengatur, dan Ciu Hok Kwi adalah murid kepala ketuanya. Sikap Ciu Hok Kwi yang marah-marah dan menyerbu rumah Kwee Piauwsu, lalu dia dikalahkan Kwee Piauwsu, semua itu hanya siasat belaka!
"Hong-ko... engkau telah tahu sekarang siapa musuh besarmu. Aku... aku..."
Tiba-tiba gadis itu berusaha untuk bangkit duduk, namun tidak kuat dan ia tentu akan rebah kembali kalau saja Sin Hong tidak cepat membantunya. Mata gadis itu terbelalak, mukanya membayangkan kemarahan dan kebencian, dan telunjuk kanannya menuding ke depan, seolah-olah ada orang yang dibencinya berada di situ.
"Siangkoan Liong! Keparat busuk kau...! Engkau sudah menodaiku... engkau... kubunuh engkau... ahhhhh...!" Tubuhnya terkulai dan nyawa gadis yang bernasib malang itu pun melayang pergi meninggalkan tubuhnya.
Sin Hong merebahkan gadis itu, menutupkan mulut dan matanya, kemudian meletakkan kedua tangan di depan dada. Suma Lian yang melihat semua ini, mengerutkan alisnya. Ia melihat betapa Sin Hong duduk tepekur, seperti tenggelam ke dalam lamunan yang menyedihkan.
"Hong-ko, siapakah adik yang malang ini?" Suma Lian memecahkan kesunyian dengan pertanyaannya.
Sin Hong yang sedang melamun sedih itu terkejut dan seolah-olah terseret kembali ke dalam kenyataan. Ia menoleh, memandang wajah Suma Lian kemudian menarik napas panjang. Hubungannya dengan Suma Lian, semenjak mereka berdua meninggalkan Yo Han kepada Suma Ciang Bun dan menuju ke sarang Tiat-liong-pang itu, menjadi lebih akrab dan mereka saling menyebut kakak dan adik.
"Namanya Kwee Ci Hwa," katanya menjelaskan. "Dia adalah puteri dari Kwee Piauwsu di Ban-goan, kota kelahiranku. Tadinya aku sudah terbujuk oleh Ciu Piauwsu tadi untuk mencurigai Kwee Piauwsu sebagai dalang pembunuhan ayahku. Agaknya Ci Hwa lalu menjadi penasaran dan melakukan penyelidikan sendiri sampai ke sini ketika ia dan aku memperoleh jejak bahwa Tiat-liong-pang ada hubungannya dengan pembunuh ayahku dan beberapa orang lain. Ternyata setelah sampai di sini dia justru mengalami hal-hal yang lebih menghancurkan kehidupannya, walau pun dia sudah berjasa untukku, telah mengetahui rahasia pembunuhan ayahku."
"Hemmm, agaknya ia telah diperkosa oleh Siangkoan Liong. Bukankah Siangkoan Liong adalah putera Siangkoan Lohan, pemimpin pemberontak seperti keterangan yang kita dapatkan di sepanjang perjalanan itu? Sungguh jahat. Kita harus segera masuk ke sana dan menghajar mereka!"
"Harap sabar dan tenang, Lian-moi. Kurasa tidak semudah itu. Di sana kini berkumpul banyak sekali orang pandai, apa lagi karena mereka sedang menyusun kekuatan untuk memberontak. Dari keterangan yang kita peroleh, baru anak buah mereka saja sudah tiga ratusan orang, belum lagi anak buah Sin-kiam Mo-li yang merupakan pembantu utama mereka. Ang-I Mo-pang yang menjadi anak buah Sin-kiam Mo-li itu tentu lima puluh orang lebih jumlahnya. Dan masih banyak tokoh sesat yang berada di sarang mereka. Apa artinya tenaga kita berdua?"
Suma Lian bisa membenarkan pendapat Sin Hong. "Lalu, bagaimana baiknya sekarang, apa yang harus kita lakukan?"
"Kita rawat dulu jenazah Ci Hwa, kita kubur saja di bukit ini dengan baik-baik. Kemudian kita melakukan penyelidikan kembali. Kabarnya banyak orang gagah yang tertawan oleh mereka. Kalau saja kita dapat menyelundup dan mampu menolong mereka, alangkah baiknya."
Suma Lian hanya menyetujui dan mereka berdua lalu mengurus pemakaman jenazah Ci Hwa dengan sederhana akan tetapi cukup khidmat. Sin Hong meletakkan sebuah batu besar di depan makam itu dan menuliskan nama Kwee Ci Hwa di atas batu.
Kemudian, setelah memberi penghormatan terakhir, dua orang muda perkasa itu mulai melakukan penyelidikan kembali ke sarang Tiat-liong-pang, dengan hati-hati sekali.....
KAMU SEDANG MEMBACA
KISAH SI BANGAU PUTIH (seri ke 13 Bu Kek Siansu)
Ação(seri ke 13 Bu Kek Siansu) Jilid 1- 39 Tamat Episode ini meski masih kental diwarnai oleh kiprah keluarga Pulau Es namun sebenarnya yang menjadi sentral dalam ceritanya adalah keluarga Istana Gurun Pasir. Cerita dalam episode ini memperjelas terkiki...