Jilid 8/39

1.4K 18 0
                                    

Siangkoan Lohan memiliki tenaga yang dahsyat, yaitu tenaga Liong-jiauw-kang (Cakar Naga), sedangkan ilmu silatnya yang dinamakan Tiat-wi Liong-kun (Silat Naga Berekor Besi) amat tangguh pula. Di samping itu, ketua Tiat-liong-pang ini masih memiliki ilmu andalan yang disebut Ban-kin-twi (Tendangan Selaksa Kati). Juga dia adalah seorang ahli ilmu gulat dari bangsa Mongol, maka, kedua tangan yang membentuk cakar naga itu, selain dapat digunakan untuk memukul, menampar dan cengkeraman, juga dapat diubah menjadi jari-jari tangan seorang jago gulat yang tangkapannya membahayakan lawan!

Menghadapi cengkeraman ke arah kepala dan perutnya sekaligus, Ouwyang Sianseng tidak nampak gugup. Kakinya melangkah ke belakang dan dua tangannya, dengan jari tengah dan jari telunjuk tegak, menyambut kedua tangan lawan dengan totokan ke arah telapak tangan!

Melihat ini Siangkoan Lohan terkejut. Kalau orang itu berani menotok telapak tangannya yang penuh dengan tenaga Liong-jiauw-kang, berarti bahwa orang itu tentu mempunyai sinkang yang amat kuat. Dia tidak berani mencoba mengadu tenaganya, karena kalau hal itu terjadi, telapak tangannya menyambut totokan jari tangan lawan, tentu seorang di antara mereka akan dapat terluka parah.

Maka dia pun cepat menarik kembali kedua tangannya dan tiba-tiba saja kedua kakinya melakukan tendangan, mula-mula yang kanan lalu disusul yang kiri, kemudian kanan lagi. Tendangan bertubi-tubi itu selain amat cepat, juga tenaganya bahkan lebih dahsyat dari pada cengkeraman tadi sehingga debu dan tanah mengebul tinggi seolah kedua batang kaki itu menjadi kitiran yang mendatangkan angin besar menerbangkan debu dan daun kering.

Melihat betapa tendangan itu semakin lama semakin kuat, Ouwyang Sianseng yang mengelak ke kanan kiri dan ke belakang itu mengeluarkan suara pujian.

"Ilmu tendangan yang berbahaya!" katanya.

Kini selain mengelak, kedua tangannya yang dimiringkan juga beberapa kali menyambut tendangan dengan tangkisan. Terdengar suara berdebuk-debuk ketika tangan bertemu kaki, dan keduanya terdorong mundur.

Kembali Siangkoan Lohan terkejut. Tangan itu mampu menahan tendangannya! Bukan main, kakek ini benar-benar memiliki sinkang yang amat hebat. Dia pun lalu menyerang dengan desakan, mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari Ilmu Silat Tiat-wi Liong-kun. Tubuh ketua ini lalu bergerak cepat bagaikan seekor naga sakti, dengan kedua tangan membentuk cakar dan dua kakinya menyabet-nyabet seperti seekor naga yang sedang mengamuk.

Namun, Ouwyang Sianseng mengimbangi kecepatannya dengan gerakan-gerakan aneh dan lincah sekali. Kadang-kadang kakek ini berloncatan, atau seperti merak terbang, kedua tangannya digerakkan seperti sayap, kedua kakinya itu berloncatan dan sambil meloncat, kakinya itu menendang, atau jari tangannya membentuk kerucut atau paruh burung untuk menotok dari atas. Gerakannya mirip seekor merak dan memang ilmu silat yang dimainkan adalah ilmu silat merak yang aneh dan indah, juga lihai sekali. Memang ilmu silat yang aneh dan tidak pernah dikenal oleh Siangkoan Lohan, dan ilmu silat dari selatan ini disebut Kong-ciak Sin-kun (Ilmu Silat Merak).

Karena sampai puluhan jurus dia tak mampu mendesak lawan, bahkan kadang-kadang gerakannya menjadi kacau oleh keanehan gerakan lawan. Siangkoan Lohan menjadi makin penasaran. Dia menggereng keras dan tiba-tiba cengkeraman tangan kanannya berhasil menangkap pergelangan tangan kiri lawan.

Selagi dia hendak menggunakan ilmu gulat untuk membanting, tiba-tiba saja kakek itu mendekat, memutar tubuhnya dan siku lengan dari tangan yang tertangkap itu sudah menyerang ke arah dada Siangkoan Lohan. Cepat dan hebat serangan ini, sehingga terpaksa pegangannya dilepaskan dan pada saat itu, kedua tangan lawan dengan jari tangannya yang lihai telah menghujankan totokan kearah jalan darah di bagian tubuh depan sebanyak tujuh kali!

Tentu saja dia terkejut dan menjadi repot untuk mengelak dan menangkis, dan terpaksa harus loncat ke belakang karena dia merasa terdesak. Rasa penasaran membuat ketua Tiat-liong-pang ini mengerahkan sinkang, kemudian mengirim serangan dari jarak jauh dengan mendorong kedua tangan dengan telapak tangan terbuka ke arah lawan.

Melihat ini, Ouwyang Sianseng tersenyum. Ia pun menyambut dengan dorongan kedua telapak tangannya. Segera dua tenaga dahsyat yang tidak nampak bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Siangkoan Lohan terdorong ke belakang sampai terhuyung.

Tahulah Siangkoan Lohan bahwa lawannya itu benar-benar lebih tangguh darinya. Jika lawan itu menghendaki, ia tentu telah roboh dan kalah! Hal ini di samping menimbulkan keheranan dan kekaguman, juga membuat dia merasa girang bukan main dan mulailah dia percaya akan omongan orang ini bahwa puteranya berbakat untuk menjadi kaisar! Dia pun menghentikan gerakannya dan menjura dengan sikap hormat.

"Nam-san Sianjin, sungguh baru sekarang saya harus mengakui keunggulan seseorang yang ternyata lebih pandai dari pada saya. Saya persilakan Sianjin untuk menjadi tamu kami agar perkenalan kita menjadi lebih akrab dan saya ingin minta petunjuk tentang putera kami kepada Sianjin."

Kakek itu mengangguk-angguk. "Baiklah, Pangcu. Terima kasih atas kepercayaanmu."

Sementara itu, Siangkoan Liong yang mendengar pengakuan ayahnya bahwa kakek itu lebih lihai dari pada ayahnya, menjadi bengong. Kemudian anak yang cerdik ini lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Ouwyang Sianseng atau Namsan Sianjin.

"Locianpwe berjanji akan mengambil teecu (murid) sebagai murid, oleh karena itu mulai sekarang, Locianpwe (Orang Tua Gagah) adalah Suhu (Guru) bagi teecu." Dan dia pun memberi hormat sebanyak delapan kali sambil menyebut 'suhu'.

Kakek itu tersenyum gembira, kemudian membangunkan anak itu, meraba-raba pundak, lengan dan kakinya sambil mengangguk-angguk.

"Sudah kuduga, bertulang baik sekali. Pantas menjadi muridku, pantas menjadi seorang calon kaisar!"

Mendengar ini, hati Siangkoan Lohan menjadi girang bukan main. Ia pun lalu mengajak tamunya masuk ke dalam, dan mengadakan pesta untuk menyambut dan menghormati tamunya. Dalam kesempatan ini, Siangkoan Lohan lebih banyak mengenal tamunya dan kakek itu pun dengan singkat menceritakan siapa dia sebenarnya.

Nam-san Sianjin adalah seorang bekas pembesar tinggi di negara Birma! Dia seorang bangsa Han yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sejak muda dia suka merantau untuk memperdalam ilmunya. Perantauannya membawanya ke Birma dan di sana dia, berkat kelihaiannya, memperoleh kepercayaan dari raja, diberi kedudukan dan karena jasa-jasanya, dia bahkan kemudian diangkat menjadi penasehat raja.

Dialah yang berjasa besar dalam menghadapi penyerbuan bala tentara Mancu yang berkali-kali menyerbu ke selatan, namun tidak pernah dapat menguasai Birma berkat pertahanan Birma yang kokoh kuat, di bawah pimpinan Nam-san Sianjin! Dia amat setia kepada Birma, apa lagi karena oleh raja, dia telah dihadiahi seorang puteri istana untuk menjadi isterinya. Juga dia menentang keras pasukan Mancu karena dia tahu bahwa bangsa Mancu adalah bangsa yang menjajah Cina, dari mana dia berasal.

Akan tetapi, terjadi mala petaka menimpa keluarganya ketika berkobar perang melawan bala tentara Mancu. Dalam suatu penyerbuan, ada pasukan yang berhasil menerjang kota dan menyerbu gedungnya, dan isteri bersama tiga orang anaknya tewas dibantai mereka!

Wajah yang tadinya halus lembut dan gembira itu berubah menjadi pucat dan matanya memancarkan sinar berapi ketika dia bercerita sampai di bagian itu. Dia mengepal tinju. "Mereka sudah membasmi anak isteriku. Keparat Mancu! Aku kemudian mengamuk, membunuh sebanyak mungkin orang-orang yang sudah menyerbu rumah kami itu, dan akhirnya aku terpaksa lari dari Birma..."

Siangkoan Lohan mendengarkan dengan penuh perhatian. Dia pun ikut merasa prihatin. "Tapi... mengapa engkau harus lari dari sana, Sianjin?" tanyanya hati-hati melihat orang itu seperti marah-marah.

"Aku dikatakan gila! Yang mengatakan adalah salah seorang menteri. Kubunuh dia dan setelah melakukan pembunuhan terhadap seorang menteri, aku menjadi buronan dan terpaksa melarikan diri dari Birma. Pula, aku sudah tidak mempunyai sanak keluarga di sana, untuk apa lebih lama tinggal di sana? Aku lalu membawa simpanan hartaku dan melarikan diri, dan kini tinggal di bukit selatan menjadi pertapa. Orang-orang di sekitar daerah itu menyebut aku Nam-san Sianjin."

Siangkoan Lohan merasa kagum sekali mendengar riwayat hidup kakek yang memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi itu. Tentu saja Nam-san Sianjin tidak menceritakan apa yang menjadi cita-citanya.

Dia mendendam kepada Kerajaan Mancu yang dianggap telah membasmi keluarganya dan merusak kebahagiaan hidupnya. Oleh karena itu, dia bersumpah untuk membalas dendam, untuk menghancurkan Kerajaan Mancu. Inilah yang menjadi cita-cita terakhir dari hidupnya.

Inilah sebabnya, saat melihat Siangkoan Lohan dan puteranya, ia merasa tertarik sekali. Melalui perkumpulan Tiat-liong-pang yang dia tahu amat berpengaruh dan kuat ini dia akan dapat mengumpulkan kekuatan untuk menentang Kerajaan Mancu. Dan dia dapat menggerakkan hati Siangkoan Lohan dengan memuji-muji puteranya yang dikatakan berbakat besar untuk menjadi calon kaisar. Tentu saja dia sudah menyelidiki keadaan keluarga Siangkoan Lohan ini dan tahu bahwa mendiang ibu anak itu adalah seorang bangsawan tinggi dan masih anggota keluarga Kerajaan Mancu.

Dan dia pun berhasil menggerakkan hati Siangkoan Lohan, seperti ternyata kemudian betapa Siangkoan Lohan yang kini mempunyai ambisi agar puteranya menjadi kaisar, mulai mengadakan persekutuan untuk memberontak dan menjatuhkan Kerajaan Mancu supaya puteranya mendapat kesempatan menjadi kaisar seperti yang diramalkan oleh Nam-san Sianjin!

Selama beberapa tahun, kadang-kadang Nam-san Sianjin datang berkunjung. Dalam percakapan mereka, kakek ini menanam dan menyebar bibit-bibit pemberontakan dalam hati Siangkoan Lohan demi masa depan puteranya sehingga ketua Tiat-liong-pang yang tadinya terkenal sebagai seorang yang amat setia kepada Kerajaan Ceng, kini berubah dan ingin mengadakan persekutuan untuk memberontak!

Sementara itu, Siangkoan Liong digemblengnya dengan sangat keras sehingga setelah dia berusia delapan belas tahun, pemuda itu telah berhasil mewarisi dan menguasai ilmu-ilmu silat dari ayahnya. Juga, menurut nasehat Nam-san Sianjin, Siangkoan Lohan lalu mengundang guru-guru sastra untuk mengajar puteranya, karena menurut nasehat Nam-san Sianjin, seorang calon kaisar haruslah menguasai ilmu tentang sastra dengan baik.

Pada waktu Siangkoan Liong berusia delapan belas tahun, pada suatu pagi muncullah Ouwyang Sianseng atau Nam-san Sianjin. Dia pun mengatakan bahwa kini tiba saatnya bagi Siangkoan Liong untuk digemblengnya.

"Dia akan kuajak ke tempat tinggalku di Nam-san. Aku mengundang Siangkoan Pangcu untuk datang berkunjung pula agar hatinya menjadi tenteram karena dia tahu bahwa puteranya berada di suatu tempat yang dikenalnya."

Giranglah hati Siangkoan Lohan. Biar pun sekarang dia sudah menjadi kenalan baik Si Manusia Dewa, namun belum pernah dia mengetahui di mana tempat tinggal pertapa itu sehingga tentu saja hatinya akan selalu diliputi kesangsian dan kekhawatiran melepas puteranya untuk mengikuti gurunya ke tempat tinggalnya. Dan kini ia diajak berkunjung, maka tentu saja dia merasa girang dan pada hari itu, berangkatlah dia dan puteranya mengikuti kakek sakti itu.

Pegunungan di daerah selatan tidak setinggi pegunungan di bagian utara, akan tetapi hutan-hutannya lebih lebat dan pohon-pohonnya lebih beraneka ragam. Di atas sebuah puncak di antara bukit-bukit itu terdapat sebuah hutan lebat dan di tempat inilah tinggal Nam-san Sianjin.

Selama ini, Siangkoan Lohan sudah menyuruh beberapa orang anggotanya menyelidiki keadaan kakek pertapa yang menjadi guru puteranya. Dia mendengar hasil penyelidikan orang-orangnya bahwa kakek itu sering mengulurkan tangan menolong para penghuni dusun di sekitar pegunungan itu. Bukan hanya menolong dengan pengobatan, akan tetapi juga sering kali menolong mereka yang kekurangan dan kelaparan dengan bahan makanan, pakaian atau bahkan uang secara royal sekali.

Tidaklah mengherankan kalau kakek itu dinamakan Manusia Dewa oleh para penghuni dusun. Bukan hanya karena dermawan sekali dan pandai mengobati, akan tetapi juga karena kakek itu datang dan pergi seperti menghilang saja. Tak pernah ada yang dapat berhubungan langsung dengan kakek pertapa itu, tetapi melalui para pelayan kakek itu yang kabarnya juga memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi, semua murid dan anggota Tiat-liong-pang gagal ketika berusaha mencari tempat tinggal Nam-san Sianjin!

Setelah mereka tiba di tengah hutan di puncak bukit itu, Siangkoan Lohan sendiri lalu terheran-heran. Tidak nampak ada sebuah pun rumah di puncak itu, akan tetapi guru puteranya itu mengatakan bahwa dia tinggal di puncak bukit yang penuh hutan itu! Dan mengertilah dia mengapa anak buahnya gagal semua menemukan tempat tinggal Si Manusia Dewa, karena tempat tinggalnya amat rahasia dan tidak nampak!

"Kita sudah sampai," kata Nam-san Sianjin seperti dapat membaca kesangsian dalam hati Siangkoan Lohan.

Tiba-tiba saja nampak berlompatan tiga orang lelaki berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun, kesemuanya berpakaian indah seperti pelayan-pelayan pembesar dan mereka segera memberi hormat kepada Nam-san Sianjin sambil berlutut!

"Siapkan hidangan untuk menyambut para tamu kita," kata Nam-san Sianjin kepada tiga orang pelayannya itu. "Siangkoan Pangcu menjadi tamu kita hari ini dan Siangkoan Kongcu (Tuan Muda Siangkoan) ini mulai hari ini tinggal di sini sebagai muridku, jadi sediakan kamar untuknya."

"Baik,Taijin (Orang Besar)," kata mereka dan mereka lalu menyelinap di antara semak belukar di tepi jurang dan lenyap! Terkejutlah Siangkoan Lohan melihat cara mereka menghilang itu.

"Pangcu, jangan heran. Semak-semak dan jurang itulah pintu gerbang menuju tempat tinggalku. Mari, silakan," kata Nam-san Sianjin dan dia pun mendahului ayah dan anak itu, menyelinap di antara semak belukar, diikuti oleh Siangkoan Lohan dan puteranya.

Ketika mereka menyusup di antara semak belukar, ternyata di balik semak-semak itu terdapat anak tangga yang menuruni jurang! Pantas tidak ada di antara anak buahnya yang dapat menemukan tempat tinggal kakek ini! Siapa yang menduga bahwa di balik semak belukar, di dalam jurang, merupakan tempat tinggal kakek itu?

Anak tangga itu tidak terus menuju ke dasar jurang, melainkan berhenti hanya sampai di pertengahan dinding jurang dan kiranya di situ terdapat sebuah goa yang tersembunyi dan tidak dapat kelihatan dari atas. Akan tetapi mulut goa yang berada di dinding jurang ini menghadap ke timur sehingga memperoleh penerangan sinar matahari yang cukup.

"Di sinilah tempat tinggalku, pangcu. Silakan masuk," berkata Nam-San Sianjin sambil melangkah masuk ke dalam goa.

Siangkoan Lohan mengerutkan alisnya dan ikut masuk bersama puteranya. Diam-diam dia merasa kecewa. Puteranya harus tinggal di tempat seperti ini?

Akan tetapi, setelah memasuki goa itu, ia terbelalak dan menjadi bengong! Goa itu lebar dan nampak biasa saja ketika dia mulai memasukinya, akan tetapi setelah masuk ke sebelah dalam, dia jadi terpesona. Di dalam goa itu ternyata amat luas, seperti rumah gedung besar, dan keadaan di dalamnya tidak kalah dengan gedung tempat tinggalnya sendiri, bahkan jauh lebih mewah. Keadaan goa ini sungguh tiada ubahnya keadaan di dalam gedung istana!

Terdapat banyak kamar, dan setiap ruangan dihias gambar-gambar dan tulisan-tulisan indah. Setiap perabot rumah amat indah dan halus buatannya, dan keadaan di dalam goa itu luar biasa sekali. Sedemikian luasnya, dengan sebagian atasnya berlubang dan terbuka sehingga nampak sinar matahari. Bahkan di tengah-tengah ruangan itu terdapat pula sebuah taman kecil penuh bunga!

Tak nampak pelayan wanita di situ. Agaknya kakek Ouwyang hanya hidup bersama tiga orang pelayan laki-laki yang tadi menyambut. Mereka itulah yang membersihkan tempat tinggal mewah itu, memasak, dan melayani Nam-san Sianjin serta melakukan pekerjaan lainnya.

Setelah membiarkan tamunya mengagumi isi goa itu, Nam-san Sianjin mempersilakan mereka memasuki sebuah ruangan yang paling luas, yang berada di sebelah dalam.

"Ruangan itu kujadikan sebagai ruangan tamu, juga ruang duduk dan sekaligus ruangan untuk berlatih silat. Dan kadang-kadang, seperti sekarang ini, bisa juga menjadi ruangan makan, walau pun baru sekarang aku menjamu seorang tamu."

Siangkoan Lohan merasa terhormat sekali dan segera bermunculan tiga orang pelayan tadi yang datang membawa hidangan yang lalu mereka atur di atas meja. Akan tetapi perhatian Siangkoan Lohan tertarik kepada hiasan aneh yang terdapat di dekat dinding, di sebelah rak senjata.

Di situ terdapat sebuah rak panjang dengan tombak-tombak yang berdiri berjajar. Akan tetapi, di atas tombak itu tertancap masing-masing sebuah kepala manusia, ada belasan buah banyaknya! Yang mengerikan sekali, kepala manusia itu seperti dalam keadaan hidup. Matanya terbuka dan hanya mukanya yang nampak pucat, namun segalanya masih utuh seperti hidup.

"Itu... itu... apa maksudnya?" tanya Siangkoan Lohan sambil menuding dan Siangkoan Liong juga terkejut melihat kepala yang berjajar itu.

"Aahhh, itu?" berkata tuan rumah sambil menarik napas panjang dan alisnya berkerut, seolah-olah dia teringat akan hal yang tidak menyenangkan. "Itulah kepala beberapa orang yang memimpin penyerbuan. Mereka yang menyebabkan matinya semua anak isteriku. Aku berhasil mencari dan membunuh mereka, kepalanya kuawetkan dengan ramuan obat dan kupasang di sini agar mendinginkan hatiku setiap kali teringat kepada anak isteriku."

Siangkoan Lohan diam-diam bergidik. Orang yang amat lihai ini ternyata dapat berlaku amat sadis dalam pembalasan dendamnya. Dia tidak tahu sama sekali bahwa memang dendam telah membuat Ouwyang Sianseng menjadi seperti gila, dan karena dianggap gila itulah maka dia dipecat dari kedudukannya dalam istana raja Birma! Dia dianggap berbahaya dan bahkan kemudian dia membunuh seorang menteri dan menjadi buronan pemerintah Birma.

Sebaliknya dari ayahnya, Siangkoan Liong merasa kagum sekali kepada gurunya, yang dianggapnya telah menebus kematian yang membuat penasaran dari keluarganya dan telah membuktikan kesetiaannya kepada keluarganya.

Setelah dijamu dengan masakan yang cukup lezat dan lengkap sehingga terlihat aneh masakan seperti itu bisa dihidangkan di tempat itu, Siangkoan Lohan lalu meninggalkan puteranya di situ dan kembali ke perkampungan Tiat-liong-pang. Dia harus berjanji tak akan memberi tahukan pada siapa pun juga tentang tempat tinggal Ouwyang Sianseng atau Nam-san Sianjin ini. Dan kemudian ternyata bahwa kakek ini pun tidak pernah berhubungan dengan orang lain kecuali Siangkoan Lohan dan puteranya.

Siangkoan Liong lalu menerima gemblengan di tempat rahasia itu oleh kakek bekas penasehat Raja Birma sehingga dalam waktu dua tahun ia telah memperoleh kemajuan yang amat pesat. Setelah lewat dua tahun dan kembali ke rumah orang tuanya, dia melihat betapa ayahnya kini telah mengadakan persekutuan dengan tokoh-tokoh lihai.

Karena girang melihat puteranya telah tamat belajar dan mempunyai kepandaian yang tinggi, bahkan mungkin lebih tinggi dari tingkatnya sendiri, Siangkoan Lohan kemudian mengadakan pesta, sekalian untuk merayakan hari ulang tahunnya yang keenam puluh tahun. Dia lalu mengundang tokoh-tokoh, baik dari golongan hitam mau pun putih dan seperti kita ketahui, di dalam pesta itu terjadilah keributan.

Siangkoan Liong maklum bahwa ayahnya sedang bersekutu dengan kekuatan-kekuatan yang ingin menggulingkan pemerintah Mancu. Meski dia sendiri, dalam keangkuhannya merasa diri jauh lebih tinggi, tak suka bergaul dengan orang-orang kang-ouw itu, namun dia tidak menghalangi usaha ayahnya karena dia maklum bahwa usaha pemberontakan itu cocok dengan apa yang dicita-citakan oleh gurunya, yaitu menggulingkan pemerintah Ceng dan dialah yang kelak dicalonkan menjadi kaisar kalau usaha itu berhasil.....

KISAH SI BANGAU PUTIH (seri ke 13 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang