Jilid 5/39

1.4K 13 0
                                    

Sebulan kemudian setelah Tan-piauwsu mengawal kiriman berharga itu, datang utusan Tan-piauwsu yang mengabarkan bahwa dia telah tiba dengan selamat di kota Tuo-lun dan minta agar isteri dan puteranya menyusul ke Tuo-lun karena di kota itu sedang ada keramaian dan perayaan besar.

"Karena aku khawatir akan keselamatan ibumu dan engkau, maka aku sendirilah yang mengawal kalian. Akan tetapi ternyata diperjalanan kita diserang gerombolan berkedok itu. Selanjutnya engkau dan ibumu kusuruh menyelamatkan diri dari kejaran gerombolan dengan menunggang onta memasuki gurun pasir. Ahhh, peristiwa itu menghantui aku setiap malam selama ini, karena aku merasa seolah-olah aku menyuruh kalian berdua memasuki jurang kematian!"

"Nanti dulu, Paman. Siapakah orang yang mengirim berita dari ayah itu? Orang yang menyampaikan pesan ayah dari Tuo-lun?"

"Aku sudah mencari orang itu namun tidak berhasil. Ketika dia datang melapor itu, aku sudah merasa heran mengapa Tan-toako tidak mengutus seorang di antara para anak buahnya, melainkan seorang yang asing dan tak kukenal. Orang itu mengatakan bahwa dia adalah anggota rombongan piauwsu yang mengawal barang dari Tuo-lun ke selatan, dan Tan-toako yang sudah mengenalnya, menitipkan pesan itu untuk kita."

"Dan engkau masih ingat orangnya? Wajahnya? Namanya?"

Tang Lun menarih napas panjang dan menggelengkan kepala. "Itulah kesalahan dan kecerobohanku. Karena tak menduga buruk, aku lupa lagi akan namanya, dan wajahnya juga wajah orang biasa sehingga aku sudah tidak ingat lagi. Akan tetapi aku merasa yakin bahwa dia adalah seorang anggota gerombolan orang berkedok itu yang sengaja memancing kita melakukan perjalanan jauh itu."

Pada saat itu, dari luar muncullah seorang laki-laki yang usianya sekitar tiga puluh lima tahun. Orangnya bertubuh tinggi kurus dengan muka pucat kekuningan tetapi sepasang matanya berkilat dan dia nampak cerdik serta gagah. Sebatang pedang tergantung di punggungnya dan pakaiannya juga pakaian seorang piauwsu.

Melihat orang ini, Sin Hong segera mengenalnya. Orang ini adalah Ciu-piauwsu, nama lengkapnya Ciu Hok Kwi, salah seorang di antara piauwsu-piauwsu pembantu ayahnya. Sebaliknya, Ciu Hok Kwi tidak mengenal pemuda yang sedang bercakap-cakap dengan Tang-piauwsu itu. Disangkanya Sin Hong seorang tamu biasa yang hendak mengirim barang, maka dia pun acuh saja.

"Paman Ciu!" Sin Hong menegurnya.

Orang itu terkejut, kemudian memandang Sin Hong penuh perhatian. Pandang matanya mengandung keheranan karena dia tidak mengenal pemuda yang menyebutnya paman itu.

"Ciu-te, apakah engkau sudah lupa kepadanya? Dia ini adalah Tan Sin Hong," berkata Tang-piauwsu.

Sepasang mata yang bersinar itu terbelalak dan kini dia pun teringat. Kalau tadi dia seperti juga Tang-piauwsu, tidak ingat kepada Sin Hong, adalah karena mereka sudah mengira bahwa Sin Hong telah tewas.

"Sin Hong...!" Ciu-piauwsu berseru.

Dia cepat menghampiri, lalu memegang lengan pemuda itu. "Syukurlah, engkau masih selamat, masih hidup! Sungguh merupakan keajaiban! Dan bagaimana dengan ibumu?"

"Ibu telah meninggal dunia diserang badai di gurun pasir."

"Ahhh...! Kasihan...!"

"Ciu-te, kebetulan engkau pun datang. Sin Hong sudah pulang dan ia minta keterangan tentang semua peristiwa yang terjadi, dan tadi aku sudah menceritakan tentang sebab keberangkatan ayahnya, kemudian mengenai perjalanan dia dan ibunya yang kukawal. Kalau aku lupa dalam keteranganku, engkau dapat menambahkan."

Ciu Hok Kwi mengangguk dan duduk berhadapan dengan mereka. "Semua itu agaknya sudah direncanakan orang yang memusuhi keluargamu, Sin Hong," kata Ciu-piauwsu dengan suara penuh keyakinan.

"Aku pun sudah mengatakan demikian," sambung Tang-piauwsu.

"Nanti dulu, Paman berdua. Lebih dahulu aku ingin mendengar cerita Paman Tang Lun tentang pengalamannya pada waktu aku dan ibu berpisah darimu, Paman. Ceritakanlah selengkapnya, karena mungkin keterangan Paman ini penting bagiku."

Tang Lun lalu melanjutkan ceritanya. Saat ia mengawal nyonya Tan Hok dan Sin Hong, mereka dihadang oleh perampok berkedok dan dia melakukan perlawanan mati-matian bersama dua belas orang anak buahnya. Namun, pihak perampok ternyata selain lebih banyak jumlahnya, juga lihai sekali sehingga satu demi satu anak buahnya roboh dalam keadaan binasa.

"Melihat keadaan yang tidak menguntungkan dan berbahaya bagi kalian berdua, aku mengajak kalian melarikan diri. Karena para perampok berkedok itu terus melakukan pengejaran, ketika mendapatkan binatang onta, aku menyuruh kalian melarikan diri ke dalam gurun pasir, sedangkan aku kemudian menanti para pengejar untuk melakukan perlawanan mati-matian dan membiarkan kalian dapat menyelamatkan diri." Sampai di sini Tang-piauwsu diam dan meraba-raba telinga kirinya yang sudah tidak berdaun lagi.

Tang Lun melakukan perlawanan mati-matian, dikeroyok oleh banyak orang berkedok dan biar pun dia mengamuk dengan golok besarnya, akhirnya dia roboh pingsan karena luka-lukanya dan daun telinga kirinya putus.

"Ketika aku siuman, mereka sudah tidak ada. Ternyata mereka membiarkan aku hidup dan hanya membuntungi daun telinga kiriku! Ahhh, inilah yang membuatku menyesal bukan main, Sin Hong. Aku sudah menyuruh engkau dan ibumu lari ke gurun pasir karena khawatir kalau kita semua akan dibunuh. Ternyata mereka tidak membunuh aku, dan kalian... kalian sudah kusuruh memasuki gurun pasir dan ternyata ibumu tewas di gurun pasir!"

Kedua mata kakek tua itu menjadi basah. Tentu ia telah menderita tekanan batin hebat sehingga dalam umur empat puluh tahun lebih dia sudah kelihatan bagaikan seorang kakek-kakek!

"Paman Tang, harap kau lanjutkan ceritamu. Setelah engkau siuman, lalu bagaimana?" tanya Sin Hong, sejak tadi pandang matanya tak pernah meninggalkan wajah orang tua itu, memandang penuh selidik.

"Dalam keadaan luka-luka aku berusaha mencari kalian di gurun pasir, akan tetapi aku kehilangan jejak karena jejak onta itu dihapus oleh pasir yang tertiup angin. Karena aku menderita luka-luka, aku pun pulang ke Ban-goan dan sesudah luka-lukaku sembuh, bersama Ciu-te ini aku pergi melakukan penyelidikan ke Tuo-lun. Ternyata ayahmu tidak pernah sampai ke Tuo-lun. Ketika kami menyelidiki, kami mendengar dari para piauwsu di sana bahwa ayahmu bersama sepuluh orang anak buahnya..." Tang Lun tidak dapat melanjutkan ceritanya, khawatir jika Sin Hong akan terkejut mendengar nasib ayahnya.

"Paman Tang, aku sudah tahu bahwa ayah dan anak buahnya telah meninggal dunia, tewas dalam sebuah hutan di luar kota Tuo-lun."

"Aihhh... engkau sudah tahu pula?" kata Tang Lun, agak lega hatinya karena dia tidak usah menceritakan lagi peristiwa yang menyedihkan itu.

"Kami bersembahyang di depan makam ayahmu dan anak buahnya yang di jadikan satu dan menurut para piauwsu, jenazah mereka dikubur oleh seorang hwesio tua dibantu mereka. Kami tidak berani lancang memindahkan kuburan ayahmu ke sini, karena tidak ada lagi keluargamu di sini..."

"Selanjutnya bagaimana, Paman?" desak Sin Hong.

"Lay-wangwe menuntut barang-barangnya yang berharga seratus kati emas itu! Tentu saja kami di sini tidak mampu mengembalikan harta sedemikian banyaknya. Hartawan itu lalu menyita semua barang. Semua barang yang berada di rumah orang tuamu lalu dilelang dan dijual, akan tetapi tetap saja tidak mampu melunasi atau mengganti harga barang kiriman itu. Akhirnya tinggal rumah dan kantor ini, yang harus dijual pula. Untung ada Ciu-te ini yang mengusahakan pinjaman uang sebanyak dua ribu tail perak untuk membeli sendiri rumah dan kantor ini dan uangnya diserahkan kepada Lay-wangwe. Nah, kini Peng An Piauwkiok tidak memiliki apa-apa lagi, bahkan rumah kantor ini pun menjadi hak milik salah seorang paman dari Ciu-te dengan perjanjian bahwa jika dalam waktu sepuluh tahun tidak berhasil mengembalikan uang itu bersama bunganya yang layak, terpaksa akan diambil alih. Akan tetapi, sejak terjadi peristiwa itu, perusahaan kita tidak laku lagi. Orang mulai tidak percaya, apa lagi ayahmu tidak ada sehingga kami benar-benar bangkrut. Paling lama dalam dua tahun lagi rumah dan kantor ini harus diserahkan kepada yang berhak." Tang Lun mengakhiri ceritanya dengan suara sedih.

Akan tetapi Sin Hong tidak tertarik tentang rumah itu.

"Paman Tang dan Paman Ciu, kalian tadi mengatakan bahwa semua peristiwa itu pasti direncanakan oleh orang-orang yang memusuhi ayah. Mengapa kalian dapat menduga demikian dan siapakah orang-orang yang memusuhi ayah?"

"Sin Hong, peristiwa yang dahulu menewaskan ayahmu, juga dua puluh orang anggota pengawal kita, bahkan sudah membuat Peng An Piauwkiok bangkrut, tentu saja tidak bisa kami diamkan. Mala petaka itu masih ditambah lagi dengan lenyapnya engkau dan ibumu. Kami, terutama sekali aku dan Ciu-te ini, berbulan-bulan lamanya melakukan penyelidikan untuk mengungkap rahasia itu. Kami telah menghubungi banyak piauwsu, bahkan kami memasuki daerah hitam untuk mencari keterangan dari para gerombolan perampok tentang gerombolan berkedok itu. Akan tetapi, semua usaha kami gagal. Tak seorang pun tahu tentang gerombolan itu, bahkan tak ada yang pernah mendengar ada gerombolan berkedok di daerah ini. Kami kemudian mengambil kesimpulan bahwa tentu gerombolan itu bukan perampok biasa, melainkan orang-orang yang menyamar sebagai perampok, oleh karena itu mereka memakai kedok agar muka mereka tidak dikenal."

Sin Hong dalam hatinya menyetujui. Memang perampok berkedok itu bukan perampok, pikirnya, melainkan para piauwsu yang menyamar perampok!

"Lalu siapakah menurut dugaan Paman yang mengatur semua itu?"

"Setelah kami berdua menyelidiki urusan ini, maka kami mengambil kesimpulan bahwa besar sekali kemungkinan yang mengatur semua ini adalah Kwee-piauwsu pemilik dari Ban-goan Piauwkiok!" kata Tang Lun dengan nada suara penuh keyakinan.

Sin Hong mengerutkan alisnya. Dia telah berusia empat belas tahun saat meninggalkan Ban-goan. Sebagai putera kepala piauwkiok, tentu saja dia tahu siapa Kwee-piauwsu itu. Ban-goan Piauwkiok merupakan saingan Peng An Piauwkiok.

Ia pernah mendengar pula bahwa keluarga Kwee yang memimpin Ban-goan Piauwkiok mempunyai ilmu silat tinggi. Namun, selama itu dia hanya mendengar persaingan dalam perusahaan itu, maka tentu saja dia terkejut dan meragu mendengar bahwa keluarga Kwee yang mengatur semua rencana busuk ini untuk menghancurkan keluarganya dan membikin bangkrut Peng An Piauwkiok.

"Hemmm, dengan alasan apa maka Jiwi (Kalian) lalu mempunyai dugaan seperti itu?" tanyanya mendesak.

Ciu Hok Kwi membantu rekannya. "Kami berdua sudah melakukan penyelidikan secara mendalam dan kiranya tidak ada golongan lain yang dapat dicurigai kecuali keluarga Kwee dari Ban-goan Piauwkiok. Memang tidak dapat disangkal bahwa sebagai seorang piauwsu, mendiang ayahmu mempunyai banyak musuh di antara para perampok. Akan tetapi, tidak ada perampok yang mempergunakan cara seperti itu, berkedok pula. Biar pun kami belum memperoleh bukti meyakinkan, akan tetapi hanya keluarga Kwee saja yang mempunyai alasan kuat untuk melakukan semuanya itu. Pertama, anak buahnya menyamar sebagai perampok dan berkedok karena kalau tidak, tentu ayahmu, juga Tang-toako dan para anak buah piauwkiok kita akan mengenal mereka. Kedua, mereka tentu sudah mendengar bahwa kami memperoleh biaya besar, maka mereka merasa iri dan mereka melakukan penghadangan. Dengan demikian, mereka memperoleh banyak keuntungan. Pertama mendapatkan harta besar itu dan kedua, bisa menghancurkan kita sebagai saingannya yang terbesar di kota ini. Kemudian yang ketiga, hal ini pun hasil penyelidikan kami, dahulu, sebelum mendiang ibumu menjadi isteri mendiang ayahmu, pernah mendiang ibumu dipinang oleh Kwee Tay Seng, yaitu Kwee-piauwsu. Pinangan itu ditolak. Hal ini pun memperkuat alasan mengapa dia lalu menghancurkan keluarga ayahmu."

Mendengar semua itu, Sin Hong mengerutkan alisnya. Agaknya cocok keterangan itu dengan apa yang didengarnya dari anggota perampok bahwa gerombolan berkedok itu tadinya merupakan rombongan piauwsu yang menyamar!

Benarkah Kwee-piauwsu yang mengatur semua ini? Dia tidak mau sembrono. Harus diselidikinya lebih dulu sampai terdapat bukti. Tanpa bukti, tidak mungkin dia menuduh keluarga Kwee begitu saja.

"Akan tetapi, andai kata benar dia, setelah berhasil membunuh ayah dan merampas harta kiriman, mengapa pula dia menyerang engkau, Paman Tang? Dan mengganggu ibu dan aku."

"Mungkin untuk membasmi keluarga ayahmu, agar jangan menimbulkan balas dendam di kemudian hari, atau... ahhh, entahlah. Betapa pun juga aku yakin bahwa dialah yang melakukan semua ini."

"Tetapi, setelah engkau dikeroyok dan dikalahkan, kenapa engkau tidak dibunuhnya?"

"Tadinya aku pun merasa heran, akan tetapi kemudian aku bisa mengerti mengapa dia membiarkan aku hidup. Tentu saja agar aku dapat mengurus piauwkiok ini, memenuhi pertanggung jawabannya sehingga di mata masyarakat, piauwkiok ini menjadi bangkrut, dan mungkin agar aku menjadi saksi hidup bahwa yang menyerang adalah perampok-perampok berkedok, bukan anak buah piauwkiok itu. Ah, dia telah menyiksaku dengan membiarkan aku tetap hidup, merasa berdosa dan menanggung malu karena piauwkiok menjadi begini..."

Sin Hong mengerutkan alis. Semua dugaan memang menuding ke arah Kwee-piauwsu dan biar pun belum ada bukti, namun hati siapa pun memang condong untuk menuduh keluarga Kwee.

"Oya, Paman Tang. Lay-wangwe itu membuka toko rempah-rempah yang besar di kota raja? Tahukah engkau di jalan mana dia tinggal di kota raja dan bagaimana macam wajahnya?"

"Ah, dia sama sekali tidak dapat kita curigai, Sin. Hong," kata Ciu-piauwsu. "Dia telah menderita rugi yang amat banyak. Harta kekayaannya yang berharga seratus kati emas itu, setelah dia menyita semua harta milik keluargamu, belum juga ada sepersepuluh bagian! Jadi, dalam urusan ini dia yang menderita rugi harta paling banyak dan kami tidak pernah mencurigai dia."

"Aku pun tidak mencurigai siapa-siapa selama belum ada bukti," kata Sin Hong, "Akan tetapi aku harus mengetahui dengan jelas semua orang untuk bahan penyelidikanku. Paman Tang di mana alamatnya dan bagaimana macamnya orang itu?"

"Aku hanya dua kali bertemu dengan dia, Sin Hong. Pertama kali pada saat dia datang membawa peti bersama beberapa orang pembantunya dengan naik kereta. Kemudian ketika dia datang lagi untuk penggantian hartanya yang dirampok, lalu dia menyerahkan pengurusan penggantian itu kepada pengawalnya. Menurut keterangan pegawainya, Lay-wangwe memiliki toko rempah-rempah besar di Jalan Singa Batu, dan rumahnya seperti istana. Ada pun wajah dan bentuk badannya tidak sulit untuk dikenal. Tubuhnya pendek dengan perut gendut sekali, kepalanya bundar dan matanya lebar, memakai gigi emas. Hidungnya besar dan mulutnya selalu tersenyum-senyum menyeringai, apa lagi kalau berhadapan dengan wanita seperti yang kulihat ketika dia berkunjung dan melihat wanita lewat di depan pintu. Dia termasuk laki-laki yang memiliki ciri mata keranjang. Usianya ketika itu tiga puluh tahunan, jadi sekarang, sudah hampir empat puluh tahun."

"Terima kasih, Paman. Keterangan itu sudah cukup bagiku," kata Sin Hong.

"Sin Hong, kupikir apa yang dikatakan Ciu-te tadi benar. Engkau hanya akan membuang waktu sia-sia belaka jika menyelidiki keadaan Lay-wangwe. Bahkan jika engkau muncul dan dia tahu bahwa engkau ialah putera Tan-toako, tentu dia akan marah-marah karena diingatkan akan kerugiannya. Mungkin dia akan menuntut penggantian darimu karena engkau adalah putera Tan-toako. Sebaiknya kalau engkau menyelidiki Kwee-piauwsu. Dia amat mencurigakan dalam hubungan ini sebab ada satu hal yang perlu kau ketahui. Akan tetapi biarlah nanti saja kuceritakan kepadamu."

Sin Hong merasa heran sekali karena dia melihat betapa pandang mata Tang-piauwsu mengerling ke arah Ciu-piauwsu, seakan-akan hendak memberi tanda bahwa dia tidak ingin apa yang hendak diceritakan kepada Sin Hong itu dapat terdengar oleh orang lain. Agaknya Ciu-piauwsu tak tersinggung atau tidak memperhatikan ucapan Tang-piauwsu itu.

Malam itu, setelah makan malam dan berganti pakaian, Sin Hong beristirahat di dalam kamarnya. Di dalam kamar itu, kamarnya sendiri waktu dia belum meninggalkan tempat ini, akan tetapi kamar yang sudah kosong dan hanya terdapat sebuah dipan sederhana, dia merebahkan diri sambil termenung. Langit-langit kamar itu masih sama seperti dulu, dicat biru namun catnya sudah luntur dan terdapat noda-noda bekas air hujan yang bocor.

Dia merasa terharu karena kamar ini sama sekali tidak asing, bahkan dia merasa akrab rebah di situ. Karena lelah, juga karena batinnya lelah pula setelah banyak berpikir, dia pun tertidur dan malam pun mulai makin menghitam dan makin sepi.....

KISAH SI BANGAU PUTIH (seri ke 13 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang