Melihat kelihaian kakek dan nenek ini, tanpa berunding Sin Hong dan Kao Hong Li telah maklum apa yang harus mereka lakukan. Mereka melihat sudah ada empat orang pendekar roboh, maka Sin Hong lalu meloncat ke tengah medan pertempuran, langsung saja dia menghadapi tosu yang amat lihai itu.
Pada saat itu, Hok Yang Cu sedang menggunakan sabuknya untuk mendesak seorang pendekar yang bersenjata pedang. Sabuk itu berhasil melibat pedang sehingga tidak dapat digerakkan lagi, mereka saling betot dan saat itu dipergunakan oleh Hok Yang Cu untuk menggunakan tangan kirinya menghantam. Hantaman ini amat dahsyat karena dia mengerahkan tenaga sinkang-nya sehingga kepala lawannya terancam.
"Dukkk!"
Tangan terbuka yang dihantamkan ke arah kepala lawan itu bertemu dengan tangan lain dari samping yang menangkisnya, dan akibatnya, tubuh Hok Yang Cu terhuyung dan sabuknya terpaksa melepaskan pedang. Pendekar itu pun terhuyung ke belakang, girang bukan main melihat munculnya Sin Hong yang menyelamatkannya dari ancaman bahaya maut tadi.
Sebaliknya, Hok Yang Cu terkejut sekali, cepat memandang dan ternyata orang yang menangkisnya dan membuat ia terhuyung tadi hanyalah seorang pemuda yang usianya baru dua puluh tahun lebih, berpakaian putih sederhana! Dia merasa penasaran bukan main dan cepat dia memutar sabuknya.
Terdengar suara mendesir saat ujung sabuk yang ada pisaunya itu terbang menyambar ke arah kepala Sin Hong. Akan tetapi dengan mudahnya, Sin Hong mengelak dan dia mencium bau amis keluar dari pisau di ujung sabuk. Maka tahulah dia bahwa pisau itu beracun!
Seorang tosu yang keji, pikirnya. Ia pun membalas dengan desakan pukulan jarak jauh, dengan kedua telapak tangan terbuka yang membuat kakek itu gelagapan sehingga terus menerus mundur karena hawa pukulan yang keluar dari sepasang telapak tangan pemuda itu bukan main kuatnya!
Sementara itu, Kao Hong Li juga sudah terjun ke dalam kalangan pertempuran dan langsung saja gadis itu menerjang nenek buruk rupa dan yang lihai sekali permainan tongkatnya itu. Nenek Hek-sim Kui-bo kaget bukan main ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan ada hawa pukulan yang sangat dahsyat serta mengandung tenaga sakti yang panas menyambar ke arahnya dari kiri. Dia cepat membalikkan tubuh ke kiri dan tangan kirinya sengaja menangkis, karena nenek ini memang biasa memandang ringan semua lawannya.
"Desss...!"
Lengan kiri nenek itu yang hanya tulang terbungkus kulit bertemu dengan lengan kanan Hong Li yang padat lembut dan berkulit halus. Akibatnya, nenek itu mengeluarkan pekik melengking karena tubuhnya terdorong ke belakang dan lengannya terasa nyeri. Hong Li juga terhuyung, maka tahulah gadis ini bahwa lawannya sungguh tak bisa dipandang ringan.
Ketika Hek-sim Kui-bo (Nenek Iblis Berhati Hitam) melihat bahwa yang menyerangnya hanya seorang gadis muda yang cantik, dia marah dan penasaran sekali. Tongkatnya segera diputar dan nampaklah sinar hitam yang mengerikan, datang bergulung-gulung dan tiba-tiba dari dalam gulungan sinar hitam itu menyambar ujung tongkat, menotok ke arah dada Hong Li, merupakan serangan maut!
Namun, Hong Li sudah siap siaga karena dia pun dapat menduga akan kelihaian lawan. Begitu melihat ada sinar hitam mencuat dan menotok ke arah dadanya, dengan sikap tenang akan tetapi cepat sekali, tubuhnya miring mengelak. Kakinya membuat gerakan melangkah maju dari samping, tangan kiri menjaga kemungkinan serangan selanjutnya, sedangkan tangan kanannya dengan jari tangan terbuka membalas dengan tamparan ke arah kepala nenek itu, mengerahkan tenaga Hwi-yang Sinkang yang dipelajarinya dari ibunya.
Hwi-yang Sinkang adalah tenaga sakti milik keluarga Pulau Es. Baru hawa pukulannya saja sudah mengandung panas yang luar biasa. Nenek itu merasa adanya hawa panas ini, maka ia pun cepat meloncat ke belakang sambil memutar tongkat bututnya untuk melindungi dirinya. Diam-diam dia kaget dan dapat menduga bahwa lawannya tentulah seorang murid atau keturunan keluarga Pulau Es.
Selain kaget dan penasaran, ia pun girang karena keluarga Pulau Es dianggap musuh besarnya, maka kalau ia dapat merobohkan gadis ini, berarti ia melenyapkan seorang di antara musuh-musuh yang dibencinya. Maka dia pun mengeluarkan suara melengking lagi dan tongkatnya menyambar-nyambar ganas, namun dengan sikap tenang, Hong Li dapat mengatasi desakan tongkat itu dengan kecepatan gerakan badannya dan dapat pula membalas dengan tak kalah dahsyatnya sehingga membuat nenek itu tak mampu mengembangkan permainan tongkatnya.
Para pendekar juga berkelahi dengan serunya melawan pasukan Mongol. Orang-orang Mongol itu bertenaga besar dan berkelahi dengan nekat, juga jumlah mereka lebih banyak sehingga para pendekar yang tiga belas orang itu harus melawan mati-matian.
Sin Hong mulai mendesak lawannya. Ketika pisau di ujung sabuk Hok Yang Cu untuk ke sekian kalinya menyambar, Sin Hong meloncat ke atas, tinggi dan dari atas, bagaikan seekor burung bangau, tubuhnya meluncur turun.
Kembali sabuk itu berkelebat menyambar. Tangan kiri Sin Hong, seperti paruh seekor burung bangau, meluncur ke bawah dan menangkap sabuk di belakang pisau. Demikian cepatnya gerakan jari tangannya, seperti gerakan leher burung bangau mematuk leher ular. Sabuk itu tidak dapat dipergunakan lagi, dan tangan kanan Sin Hong menampar ke bawah, ke arah tengkuk lawan. Karena sabuk itu tidak dapat ditariknya, dan tamparan orang muda itu amat dahsyatnya mengarah tengkuk, Hok Yang Cu terkejut dan cepat dia menangkis dengan lengannya.
"Dukkk!"
Pertemuan antara kedua lengan itu sedemikian hebatnya dan akibatnya, Hok Yang Cu terpelanting ke tanah. Sabuk yang dipegangnya itu pun putus, dengan bagian yang ada pisaunya tertinggal di tangan Sin Hong! Dia terbanting keras dan cepat menggulingkan tubuhnya menjauhi lawan.
Pada saat itu, Kao Hong Li juga berhasil menendang paha Hek-sim Kui-bo sehingga nenek ini terjengkang. Namun, dengan bantuan tongkatnya, nenek itu dapat meloncat bangun lagi dan agak terpincang sebab pahanya terasa nyeri walau pun tulangnya tidak patah serta daging dan kulitnya tidak terluka parah.
Pada saat itu juga, muncullah dua orang tosu. Yang seorang adalah Thian Kong Cinjin, kakek tua renta yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua, bertubuh tinggi kurus, dengan sebuah tongkat setinggi badan berada di tangan kanannya. Thian Kong Cinjin adalah wakil ketua Pat-kwa-pai, mempunyai ilmu kepandaian tinggi.
Orang ke dua juga seorang kakek yang usianya sebaya dengan Thian Kong Cinjin, yaitu mendekati delapan puluh tahun. Dia adalah Thian Kek Sengjin, seorang tokoh besar dari Pek-lian-pai, kakek kurus kering dengan muka merah darah. Dia pun membawa sebatang tongkat naga hitam, dan kakek yang pandai sihir ini memiliki sepasang mata mencorong seperti mata kucing!
Dengan sudut matanya Sin Hong melihat munculnya dua orang kakek ini. Tentu saja dia mengenal mereka dengan baik karena kedua orang kakek itu adalah dua di antara tiga orang yang berhasil keluar dengan selamat dari penyerbuan di Istana Gurun Pasir, yaitu bersama Sin-kiam Mo-li, sedangkan belasan orang lainnya telah tewas ketika mereka itu mengeroyok tiga orang gurunya. Karena itu, Sin Hong maklum bahwa di pihak musuh datang dua orang lawan tangguh, maka dia pun cepat meloncat, meninggalkan Hok Yang Cu dan langsung menerjang dan orang kakek yang baru datang itu tanpa banyak cakap lagi!
Melihat seorang pemuda tahu-tahu berada di depan mereka dan menyerang dengan totokan jari tangan yang amat dansyat ke arah leher mereka secara bertubi-tubi, kedua orang kakek itu mengeluarkan seruan dan cepat berloncatan ke belakang. Mereka telah lupa kepada Sin Hong dan biar pun tadi mereka melihat betapa berbahayanya serangan pemuda itu, mereka masih memandang rendah kepada Sin Hong.
Thian Kek Sengjin yang melihat betapa Hek-sim Kui-bo sedang didesak oleh seorang gadis yang sangat cantik, segera meloncat ke sana dan menghadapi Hong Li. Begitu Thian Kek Sengjin memutar tongkat naga hitam menyerang, Hong Li cepat berloncatan ke belakang untuk mengelak. Akan tetapi tongkat itu mendesak terus, dan terdengar suara ketawa kakek itu.
"Heh-heh-heh, nona cantik, lebih baik engkau menyerah dan menjadi muridku, tanggung engkau akan mengalami kesenangan, heh-heh-heh!"
Hong Li mendengus marah, lalu menerjang maju dengan nekat. Karena ia tahu bahwa kakek itu sangat lihai, maka ia pun memainkan Sin-liong Ciang-hoat yang dahsyat dari Gurun Pasir.
Begitu gadis itu mendesak, kakek itu terbelalak heran karena dia mengenal ilmu silat yang aneh dengan tubuh kadang-kadang direndahkan dan jurus seperti mau bertiarap ini adalah ciri khas ilmu silat dari Istana Gurun Pasir. Nyaris dia celaka ketika tiba-tiba tubuh gadis itu meluncur dari bawah dengan tangan kiri menangkis tongkat dan tangan kanannya menusuk ke arah ulu hatinya.
Untung bahwa ia masih sempat melempar tubuh ke belakang, kemudian berjungkir balik dibantu tongkatnya, dan cepat memutar tongkat melindungi tubuhnya. Kalau tidak, tentu gadis itu akan terus mendesak dan melukainya dengan serangan-serangan dahsyat itu. Kini dia tidak berani main-main lagi, dengan sekuat tenaga dia memainkan tongkatnya sehingga gadis itu pun tidak dapat mendesaknya lagi. Sebaliknya, perlahan-lahan Thian Kek Sengjin mulai membuat Hong Li terpaksa harus main mundur, karena tongkat hitam yang berbentuk naga itu sungguh berbahaya.
Di lain pihak, Sin Hong yang tadi mulai mendesak Hok Yang Cu, kini mendapatkan lawan tangguh, yaitu Thian Kong Cinjin. Wakil ketua Pat-kwa-pai ini memang lihai, lebih lihai dari pada Thian Kek Sengjin, dan jauh lebih lihai dari Hok Yang Cu. Dan sekarang, kakek lihai dengan tongkatnya yang ampuh ini masih dibantu oleh Hok Yang Cu!
Namun, Sin Hong tidak gentar. Dengan ilmu silatnya yang hebat, yaitu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih), dan dengan landasan tenaga saktinya yang amat kuat, dia mampu menandingi pengeroyokan kedua orang ini, bahkan membalas setiap serangan mereka dengan tamparan-tamparan atau tendangan, juga totokan-totokan yang tidak kalah dahsyatnya, sehingga membuat kedua orang pengeroyoknya sama sekali tidak mampu mendesaknya.
Akan tetapi, dengan munculnya dua orang kakek itu, keadaan pertempuran berubah. Kini nenek Hek-sim Kui-bo berani meninggalkan Hong Li untuk dilayani oleh Thian Kek Sengjin sendiri, dan ia pun membantu para anggota pasukan Mongol untuk mengeroyok para pendekar yang sudah kewalahan. Kini, pihak para pendekarlah yang terdesak dan kembali ada dua orang yang roboh.
Pada saat yang amat berbahaya bagi para pendekar itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Hong Li, jangan takut, aku membantumu!"
Terdengar bunyi melengking nyaring seperti suling ditiup ketika sinar kuning emas itu menyambar dan langsung menyambut tongkat naga hitam di tangan Thian Kek Sengjin yang sedang mendesak Hong Li.
"Takkkkk!"
Thian Kek Sengjin mengeluarkan seruan kaget karena dua tangannya yang memegang tongkat tergetar hebat ketika bertemu dengan suling emas di tangan wanita cantik dan gagah itu. Kam Bi Eng dan Suma Ceng Liong segera turun tangan membantu Hong Li dan Sin Hong. Tentu saja Hong Li girang bukan main melihat betapa bibinya datang membantunya. Dia dan bibinya lantas mendesak Thian Kek Sengjin yang menjadi sibuk setengah mati.
"Pergilah kau bantu mereka menghadapi orang-orang Mongol," kata Kam Bi Eng.
Hong Li menjawab gembira, "Baiklah, Bibi. Hajar kakek siluman ini, Bibi!"
Hong Li lalu meloncat pergi meninggalkan Thian Kek Sengjin. Langsung dia menerjang Hek-sim Kui-bo lagi yang sedang mengamuk di antara para pendekar dengan tongkat hitamnya.
Sementara itu, melihat betapa Sin Hong dikeroyok oleh dua orang tosu yang berilmu tinggi, diam-diam Suma Ceng Liong menjadi kagum sekali. Pemuda berpakaian putih itu sungguh lihai bukan main! Walau pun dikeroyok oleh dua orang kakek yang demikian hebat permainan tongkatnya, namun pemuda yang bertangan kosong itu sama sekali tidak terdesak.
Gaya permainannya pun amat menarik, dengan gerak dan sikap seperti seekor burung bangau namun tidak seperti ilmu silat bangau pada umumnya. Gerakan itu aneh dan kadang-kadang lucu serta sukar sekali, akan tetapi jelas bahwa pada setiap gerakan mengandung tenaga dahsyat sehingga pemuda itu berani menangkis tongkat-tongkat lawan dengan lengan tangannya!
"Paman Ceng Liong, dialah susiok Tan Sin Hong, harap suka bantu dia!" tiba-tiba Hong Li berteriak kepadanya.
Ceng Liong semakin kagum. Kiranya inilah pemuda yang bemama Tan Sin Hong itu, murid dari istana Gurun Pasir! Pantas demikian lihainya. Akan tetapi bukankah pemuda bernama Tan Sin Hong itu yang datang bersama puterinya dan menyerahkan Yo Han kepada Suma Ciang Bun?
Menurut penuturan Suma Ciang Bun, puterinya dan pemuda itu melakukan penyelidikan ke sarang pemberontak, tetapi kenapa sekarang pemuda itu berada di sini dan ke mana perginya Suma Lian? Karena sekarang tidak mungkin menanyakan semua itu, Ceng Liong segera terjun ke dalam pertempuran dan langsung saja dia menyerang kakek Thian Kong Cinjin yang dia lihat lebih lihai dari pada yang ke dua, yaitu Hok Yang Cu.
Begitu menerjang maju, dia sudah memainkan ilmu silat Coan-kut-ci, yaitu ilmu totokan penembus tulang yang dahulu dipelajarinya dari Hek I Mo-ong. Tusukan jari tangannya mengeluarkan suara mencicit dan terkejutlah Thian Kong Cinjin karena ketika dia coba menangkis, tongkatnya tertusuk jari telunjuk pendekar itu dan langsung berlubang! Sin Hong girang mendapatkan bantuan ini, dan dia pun lalu mendesak Hok Yang Cu yang kembali menjadi sibuk bukan main.
Sekarang keadaannya kembali membalik dengan cepatnya. Pihak pemberontak menjadi terdesak, dan para tokoh sesat yang kini memperoleh tanding menjadi bingung. Thian Kong Cinjin menemukan tanding yang amat kuat, yaitu Suma Ceng Liong. Thian Kek Sengjin juga sibuk menghadapi gulungan sinar emas dari suling di tangan Kam Bi Eng. Hek-sim Kui-bo terdesak hebat oleh Hong Li, sedangkan Hok Yang Cu hampir tak dapat menahan serangan Sin Hong. Dan pasukan Mongol itu pun repot menghadapi amukan para pendekar sehingga sudah banyak di antara mereka yang roboh dan terluka.
Melihat keadaan yang sangat tidak menguntungkan ini, mendadak terdengar Thian Kek Sengjin mengeluarkan seruan keras, "Lariiiii...!"
Dia pun melontarkan sebuah benda hitam yang mengeluarkan ledakan keras sehingga nampaklah asap hitam bergumpal-gumpal, menggelapkan tempat yang menjadi medan perkelahian itu. Sebagai seorang tokoh besar Pek-lian-pai, tentu saja kakek ini memiliki bahan peledak yang suka digunakan orang-orang Pek-lian-pai dalam pertempuran, juga merupakan alat untuk mengelabui rakyat.
Suma Ceng Liong sudah mengenal senjata-senjata gelap orang-orang Pek-lian-pai. Ada bahan peledak yang mengandung asap beracun, maka dia pun cepat berseru supaya semua orang mundur menjauhi asap. Maka, semua orang segera berloncatan mundur.
Setelah asap hitam itu menipis, ternyata tokoh-tokoh sesat itu sudah lenyap, agaknya sudah melarikan diri. Juga orang-orang Mongol yang masih belum terluka, sudah lari. Kini hanya tinggal orang-orang Mongol yang terluka, yang nampak dengan susah-payah menyeret tubuh mereka untuk pergi dari tempat itu.
"Biarkan mereka pergi!" berkata Sin Hong ketika melihat ada di antara pendekar yang hendak mengejar. "Lawan yang sudah terluka jangan didesak!"
Kembali Ceng Liong kagum sekali melihat sikap Sin Hong ini. Mereka lalu berkumpul dan Hong Li memperkenalkan Sin Hong kepada paman dan bibinya.
"Susiok, ini adalah paman Suma Ceng Liong beserta bibi Kam Bi Eng. Paman dan Bibi, pemuda ini adalah susiok Tan Sin Hong, murid terakhir dari mendiang kakek dan nenek di Gurun Pasir."
Sin Hong cepat-cepat memberi hormat kepada suami isteri sakti itu. "Sudah lama saya mendengar nama besar Ji-wi Locianpwe (Dua Orang Tua Gagah), maka hari ini saya merasa bangga dapat bertemu dengan Ji-wi, bahkan mendapat bantuan Ji-wi."
Hati Ceng Liong semakin suka kepada pemuda ini. "Orang muda, harap jangan terlalu merendahkan diri. Kami pun sudah mendengar namamu dan ternyata engkau memang pantas menjadi murid orang-orang sakti penghuni Istana Gurun Pasir. Akan tetapi, kami juga mendengar dari toako Suma Ciang Bun bahwa puteri kami, Suma Lian, melakukan perjalanan bersamamu. Di mana ia sekarang? Mengapa kami tidak melihat ia di sini?"
Sin Hong lalu bercerita tentang pengalamannya bersama Suma Lian masuk ke dalam sarang Tiat-liong-pang dan menolong Ci Hwa yang akhirnya tewas pula. Kemudian dia bercerita tentang perjumpaan mereka dengan Gu Hong Beng yang terpaksa menjadi utusan Siangkoan Lohan untuk menghubungi Panglima Coa yang bersekutu dengan para pemberontak karena ada dua orang kawan yang dijadikan sandera.
"Karena saya ingin mencoba menyelamatkan dua orang sandera itu, maka saya minta kepada Lian-moi untuk membantu saudara Gu Hong Beng, sedangkan saya sendiri lalu berusaha menyelundup ke Tiat-liong-pang, akan tetapi bertemu dengan para pendekar di sini, dan tadi bertemu pula dengan nona Kao Hong Li."
Mendengar bahwa puteri mereka membantu Gu Hong Beng, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng merasa lega dan girang. Selagi mereka bercakap-cakap, seorang pendekar yang baru saja datang berlari menghampiri Sin Hong. Melihat di situ terdapat banyak orang-orang baru yang tidak dikenalnya, pendekar ini pun menjadi ragu-ragu.
"Yang berada di sini adalah kawan sendiri," kata Tan Sin Hong, maklum akan keraguan orang itu, "Kedua Locianpwe ini adalah Locianpwe Suma Ceng Liong dan isterinya."
Mendengar disebutnya nama keluarga Suma, pendekar itu memberi hormat, lalu dia menyampaikan berita yang amat penting.
"Dalam pengamatanku, malam tadi aku melihat ada ribuan orang pasukan pemerintah meninggalkan benteng menuju ke Tiat-liong-pang dan kini mereka agaknya mengepung Tiat-liong-pang dari empat penjuru!"
Mendengar hal ini, semua orang terkejut dan Sin Hong menarik napas panjang. "Wah, jangan-jangan saudara Gu Hong Beng terpaksa menyampaikan surat rahasia itu dan kini pasukan yang berkhianat mulai bergabung dengan pemberontak. Tentu tidak lama lagi mereka akan melakukan gerakan."
"Sebaiknya kita menyelundup ke dalam, kita bebaskan mereka yang tertawan dan kita kacaukan sarang mereka. Kita serbu para tokoh sesat itu. Jika memang benar pasukan pemerintah itu adalah yang berkhianat dan akan bergabung dengan para pemberontak, belum terlambat bagi kita untuk menyelamatkan diri. Sebaiknya yang menyelundup ke dalam hanya yang memiliki ilmu kepandaian cukup saja," kata Suma Ceng Liong yang merasa khawatir kalau-kalau puterinya yang menemani Gu Hong Beng itu berada di dalam sarang Tiat-liong-pang pula dan terancam bahaya.
Sin Hong menyetujui saran ini. Jika mereka tidak beramai-ramai dengan bekerja sama menyelundup ke dalam, akan sukarlah Gu Hong Beng dan teman-temannya itu dapat diselamatkan. Dan jika sudah berhasil menyelamatkan mereka yang tertawan, barulah mereka kelak akan membantu pasukan pemerintah yang akan membasmi gerombolan pemberontak.
Lalu dipilih di antara para pendekar yang berkumpul di situ dan hanya ada empat orang yang dianggap cukup kuat untuk melakukan penyusupan. Tentu saja selain mereka juga Suma Ceng Liong, Kam Bi Eng, Kao Hong Li, dan Tan Sin Hong. Empat orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini ikut pula menyelundup.....
KAMU SEDANG MEMBACA
KISAH SI BANGAU PUTIH (seri ke 13 Bu Kek Siansu)
Action(seri ke 13 Bu Kek Siansu) Jilid 1- 39 Tamat Episode ini meski masih kental diwarnai oleh kiprah keluarga Pulau Es namun sebenarnya yang menjadi sentral dalam ceritanya adalah keluarga Istana Gurun Pasir. Cerita dalam episode ini memperjelas terkiki...