Jilid 11/39

1.2K 15 0
                                    

Belum satu jam mereka berlatih semedhi, baru saja Li Sian bangkit dari duduknya untuk melakukan pekerjaan rumah seperti biasa, tiba-tiba terdengar suara nyaring dari jauh.

"Kongkong...! Sumoi...! Aku datang...!"

Suara suci-nya, Suma Lian, siapa lagi! Suara itu demikian nyaring dan bening, seperti kepingan perak atau emas berdencing, mendatangkan kecerahan dan kegembiraan.

Li Sian cepat memandang dan ia melihat suci-nya datang berjalan bersama dua orang laki-laki yang usianya mendekati enam puluh tahun, sikap mereka gagah. Selain dua orang kakek yang wajah dan tubuhnya sangat serupa itu, nampak pula seorang wanita cantik berusia hampir empat puluh tahun dan seorang anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun. Ia pun segera tahu siapa mereka dan dengan girang ia lalu berseru kepada gurunya.

"Kongkong, mereka telah datang!"

Bu Beng Lokai membuka matanya, akan tetapi tidak turun dari atas batu datar karena nampaknya masih lelah. Dia hanya memandang ke arah rombongan yang kini sedang menghampiri tempat itu.

Ketika Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong melihat kakek tua renta yang tidak berbaju duduk di atas batu datar, nampak tua dan lelah serta lemah, mereka merasa jantung mereka seperti ditusuk-tusuk dan keduanya lalu berlari menghampiri sambil menangis, menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek itu dan mereka menangis mengguguk seperti dua orang anak kecil.

"Ayah... bertahun-tahun kami mencari Ayah tanpa hasil," kata Gak Jit Kong.

"Ayah, ampunkan semua dosa kami, Ayah..." kata pula Gak Goat Kong.

Bu Beng Lokai atau Gak Bun Beng mencoba untuk tersenyum dan kedua tangannya menyentuh kepala dua orang yang berlutut di depannya. Matanya basah dan suaranya lirih gemetar ketika dia berkata, "Anak-anakku... anak-anakku... mana dia, isterimu dan apakah kalian mempunyai keturunan?"

Hui Lian sejak tadi sudah menarik tangan puteranya dan berlutut tidak jauh dari situ. Mendengar ucapan ini, ia pun bergeser maju sambil menggandeng tangan puteranya. Ia telah menangis semenjak tadi melihat betapa dua orang suaminya mengguguk dalam tangisnya di depan kaki ayah mertuanya itu.

"Ayah... saya Souw Hui Lian mantumu yang hina dan bodoh dan ini adalah Gak Ciang Hun, anak tunggal kami..."

Gak Bun Beng memandang mereka. "Anak baik, engkau telah membahagiakan kedua anak-anakku... terima kasih... dan cucuku... ke sinilah, cucuku..."

Gak Ciang Hun sudah sering mendengar dari kedua ayahnya tentang kakeknya yang dikatakan memlliki ilmu kepandaian amat tinggi seperti dewa, maka sejak tadi dia sudah memandang dengan kagum, juga agak jeri. Mendengar kini kakek itu memanggilnya, dia pun cepat maju menghampiri.

"Cucuku... ahh, sudah begini besar, cucuku...!" Dia mencoba untuk bangkit akan tetapi terhuyung.

Suma Lian, juga dua orang puteranya cepat meloncat untuk menolongnya, akan tetapi kakek itu menolak mereka dan berkata,

"Biarkan aku dengan cucuku sendiri!" Suaranya tegas sehingga Suma Lian dan Li Sian mundur kembali.

Suma Lian dan Li Sian hanya saling pandang dengan alis berkerut dan pandang mata khawatir. Mereka tahu benar bahwa guru mereka, juga kakek mereka itu berada dalam keadaan yang tidak sehat dan lemah, bukan hanya karena penyakit, tetapi terutama karena usia tua.

Sementara itu, Bu Beng Lokai atau Gak Bun Beng telah menggandeng tangan cucunya, diajak memasuki ruangan latihan silat. Kedua orang saudara kembar Gak bersama isteri mereka, juga Suma Lian dan Li Sian, hanya mengikuti dari belakang.

Setelah tiba di ruangan latihan silat, kakek Gak Bun Beng lalu berkata kepada cucunya, "Ciang Hun, engkau tentu telah dilatih silat oleh orang tuamu. Nah, perlihatkan kepada kakekmu ini sampai di mana kemampuanmu."

Ciang Hun memang sejak kecil digembleng oleh kedua orang ayahnya dan seorang ibunya. Sebetulnya dia malu dan khawatir ditegur kakeknya karena di depan kakeknya yang kabarnya sakti itu tentu kepandaian silatnya masih belum ada artinya. Akan tetapi dia pun tidak berani membantah, melangkah ke tengah ruangan dan setelah memberi hormat, dia pun lalu bersilat, mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat dasar Lo-thian Sin-kun. Gerakannya cukup gesit dan penggunaan tenaga yang tepat, sesuai dengan usianya.

Melihat ini, agaknya Bu Beng Lokai cukup puas. Biar pun tidak mempunyai bakat yang terlalu menonjol, akan tetapi Ciang Hun cukup baik, bahkan kelak tingkatnya dapat lebih tinggi dari pada orang tuanya kalau rajin berlatih.

"Nah, sekarang duduklah bersila di situ, cucuku," kata kakek itu. Dia pun menghampiri cucunya yang duduk bersila itu. "Buka bajumu!"

Ciang Hun merasa heran akan tetapi tak berani membantah dan anak itu pun membuka bajunya. Kakek itu lalu duduk bersila di belakang cucunya. Melihat ini, Suma Lian dan Li Sian dapat menduga apa yang akan dilakukan guru mereka dan keduanya merasa amat khawatir.

"Kongkong...!" Mereka berdua berseru lirih.

Kakek itu menoleh kepada mereka, lalu tersenyum. "Lian dan Sian, kalian berdua telah menerima semua ilmuku dan kurasa sudah cukup bagi kalian untuk mempergunakan ilmu-ilmu itu untuk berjaga diri dan menegakkan kebenaran dan keadilan. Aku tak punya apa-apa lagi untuk diwariskan kepada cucuku, maka semua yang ada padaku akan kutinggalkan kepadanya."

"Akan tetapi, Kongkong sedang sakit...," bantah Suma Lian.

"Dan Kongkong baru saja berlatih dan dalam keadaan lelah...," sambung Li Sian, sama khawatirnya dengan suci-nya.

"Sudahlah, harap kalian jangan khawatir. Jika tidak sekarang saatnya, mau kapan lagi? Hanya inilah yang dapat kulakukan untuk cucuku, dan tentang mati hidup, hal itu adalah urusan Tuhan!"

Setelah berkata demikian, kakek itu menempelkan kedua tapak tangannya di punggung cucunya dan matanya terpejam. Melihat ini, barulah kedua orang bersaudara kembar Gak itu dan isteri mereka tahu apa yang akan dilakukan ayah mereka, dan mereka pun memandang dengan khawatir, akan tetapi tidak berani menghalangi.

"Kendurkan seluruh urat-urat tubuhmu, cucuku, dan jangan melawan. Terima saja hawa panas yang memasuki tubuhmu," kakek itu berbisik dan dia pun segera mengerahkan sinkang-nya untuk disalurkan ke dalam tubuh cucunya!

Biar pun usianya baru sepuluh tahun, sebagai putera pendekar, Ciang Hun sudah tahu apa yang sedang dilakukan oleh kakeknya. Tentu kakeknya akan menyalurkan tenaga sinkang, memindahkan tenaga sakti itu kepadanya. Diam-diam dia merasa girang bukan main walau pun hatinya tegang karena dia belum pernan merasakan hal ini dan dia pun maklum bahwa pengoperan tenaga sakti itu dapat membahayakan dirinya sendiri kalau dia tidak mentaati sepenuhnya. Maka dia pun mengendorkan semua urat di tubuhnya dan menghentikan semua pikiran seperti dalam latihan semedhi.

Tidak lama kemudian anak itu merasakan betapa ada hawa yang mula-mula hangat memasuki tubuhnya. Hawa itu makin lama makin panas, masuk makin banyak sampai memenuhi tubuhnya dan berputaran. Kepalanya mulai terasa pening, keringatnya keluar di seluruh tubuhnya dan hampir saja dia tidak kuat menahan.

Namun Ciang Hun mematikan semua rasa dan pasrah. Hawa yang tadinya amat panas itu kemudian menjadi hangat kembali, makin lama makin berkurang panasnya, bahkan menjadi dingin dan semakin dingin sampai Ciang Hun menggigil dan giginya berbunyi. Akan tetapi anak itu tetap diam dan dapat mempertahankan kebekuan yang menyerang dari dalam itu! Dia lapat-lapat mendengar seruan-seruan khawatir dari dua orang gadis murid kakeknya, akan tetapi tidak dipedulikan.

Rasa dingin luar biasa itu makin lama semakin berkurang dan akhirnya kembali hangat seperti semula. Akan tetapi dia merasa tengkuknya panas sekali dan ada hembusan panas meniup tengkuknya dari luar yang membuatnya sadar dari semedhinya. Kini dia mendengar betapa hembusan napas panas itu keluar dari mulut dan hidung kakeknya yang kini terdengar terengah-engah. Kedua tangan kakeknya yang tadi tertempel di kulit punggungnya, kini terlepas.

"Kongkong...!" Terdengar Suma Lian dan Li Sian berseru.

"Ayah...!" Kedua ayahnya juga berteriak dan mereka sudah berlutut mendekat.

Ciang Hun mencoba berdiri, akan tetapi kepalanya menjadi pening seketika dan tentu dia sudah terguling roboh jika saja tidak ada ibunya yang cepat merangkulnya. Ibu dan anak itu berangkulan memandang pada kakek itu yang ternyata telah roboh terlentang dengan muka pucat dan napas terengah-engah, akan tetapi mulutnya yang setengah terbuka itu nampak tersenyum!

"Kongkong... ahhh, mengapa engkau melakukan ini?" Suma Lian nampak meraba dada gurunya.

"Kongkong, kenapa engkau memaksa diri...?" Li Sian juga meraba pundak gurunya dan ia pun mulai menangis.

Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong saling pandang. Mereka pun telah tahu bahwa ayah mereka tadi sudah memindahkan sinkang ke tubuh putera mereka. Akan tetapi hal ini amat memeras tenaga kakek itu yang sedang dalam keadaan lemah dan lelah.

"Ayah... kembali kami yang datang hanya menyusahkan Ayah saja," kata Goat Kong menyesal.

"Ayah, kami tidak pernah melakukan sesuatu yang menyenangkan hatimu, akan tetapi Ayah telah mewariskan sinkang kepada Ciang Hun dengan mengorbankan diri...!" kata pula Gak Jit Kong.

Kakek itu dengan lemah membuka kedua matanya. Dengan napas terengah-engah dia tersenyum, memandang kepada mereka yang merubungnya.

"Aku puas... aku tak dapat meninggalkan apa-apa... latihlah ia dengan Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang... dia... dia akan kuat sekali... ahh, sayang aku harus mati dalam keadaan lemah! Kalau saja ada datuk sesat datang agar dapat kulawan dia dan aku mati dalam perkelahian! Sayang... tapi... ahhh, lihat itu... ibu kalian datang... Milana... tungguuu...!" Kakek itu seperti hendak bangkit duduk, akan tetapi terkulai kembali dan napasnya pun berhenti.

Tiga orang wanita itu menjerit dan menangis. Dua orang saudara kembar Gak saling pandang dan membiarkan mereka itu menangis sepuasnya, kemudian mereka berkata dengan suara penuh penyesalan.

"Ahhh, semua ini kesalahan kami. Kedatangan kami hanya memperpendek usia ayah kami..."

Mendengar ini, Suma Lian dan Li Sian menghentikan tangis mereka.

Suma Lian memandang mereka dengan mata basah. "Tidak perlu penyesalan itu, kedua Paman. Kedatangan Paman sekeluarga adalah atas kehendak mendiang kongkong, dan agaknya memang sudah tiba saatnya bagi kongkong kembali ke alam baka. Juga, pewarisan sinkang tadi hanya merupakan jalan belaka yang semuanya sudah dipastikan dan ditentukan oleh Yang Maha Kuasa."

Mereka lalu mengurus jenazah kakek Bu Beng Lokai atau Gak Bun Beng, menantu pertama dari Pendekar Super Sakti. Atas pesan kakek itu sendiri kepada dua orang muridnya, maka jenazah itu lalu dibakar dengan upacara sederhana.

Sungguh menyedihkan hati kedua orang puteranya mengingat betapa kakek itu, ayah mereka, yang dahulu menjadi seorang pendekar besar yang pernah mengguncangkan dunia kang-ouw, kini meninggal dunia serta diperabukan tanpa ada yang menghadiri, kecuali kedua puteranya, mantunya, cucunya, dan dua orang muridnya, di tempat yang amat sunyi itu.

Setelah jenazah menjadi abu, kedua orang kembar Gak lalu membawa abu jenazah ayah mereka untuk dikebumikan di Puncak Telaga Warna, bekas tempat tinggal ayah mereka itu. Mereka segera berpamit dari Suma Lian dan Li Sian, pulang bersama isteri mereka dan Ciang Hun yang masih merasa agak pening dan kadang-kadang mengeluh akibat tubuhnya merasakan betapa tenaga yang amat besar membuat dia panas dingin. Kedua orang ayahnya harus sebentar-sebentar berhenti dalam perjalanan mereka untuk membiarkan anak itu berlatih siu-lian dan memberi petunjuk untuk membiarkan tenaga sakti itu mengeram di dalam tan-tian (pusar di dalam perut) dan tenang di situ sampai kelak dapat dipergunakan kalau anak itu sudah mampu mengendalikannya.

Tinggallah dua orang gadis itu yang merasa kesepian. Mereka masih tinggal di pondok bekas tempat tinggal guru mereka sampai tiga hari tiga malam. Betapa pun juga, dua orang gadis ini telah tinggal bertahun-tahun di tempat sunyi dan indah itu, dan di antara mereka telah terdapat pertalian kasih sayang seperti saudara kandung saja, mengalami suka duka bersama di tempat sunyi itu sehingga mereka merasa berat untuk saling berpisah.

Juga mereka merasa terharu dan sangat berat untuk meninggalkan tempat itu yang tak mungkin kiranya akan mereka datangi lagi, mengingat bahwa kakek dan juga guru mereka kini telah tiada, bahkan abunya juga sudah dibawa pergi oleh dua orang kembar Gak yang lebih berhak.

Guru mereka tidak meninggalkan apa-apa kecuali ilmu kepandaian. Sedikit pakaian dan sepatu. Barang-barang yang dipakai Bu Beng Lokai sehari-hari, telah diikutkan bersama jenazah ketika dibakar. Yang masih tersisa hanyalah batu datar yang hitam mengkilat bekas tempat orang tua itu duduk bersemedhi. Saking merasa kehilangan, selama tiga hari tiga malam itu, bergantian Suma Lian dan Li Sian duduk bersemedhi di bekas tempat duduk guru mereka ini, sambil mengenang segala budi kebaikan orang tua itu kepada mereka.

Setelah tiga hari tiga malam, dua orang gadis perkasa itu menyadari bahwa tidak ada manfaatnya membiarkan diri tenggelam dalam buaian perasaan yang penuh keharuan, kehilangan, duka yang timbul dari iba diri. Mereka lalu memutuskan untuk meninggalkan tempat itu.

Suma Lian berkata dengan suara yang berat kerena bagaimana pun juga, ia merasa berat untuk berpisah dari sumoi-nya yang dianggap seperti adiknya sendiri itu. "Sumoi, hari ini kita harus meninggalkan tempat ini, tidak ada gunanya tinggal lebih lama di sini."

"Engkau benar, Suci, aku pun berpikir demikian. Lalu... ke mana kita akan pergi, Suci?" Li Sian mulai bingung karena ia tak mempunyai tujuan tertentu, tidak tahu harus pergi ke mana karena orang tuanya sudah tiada.

"Aku sendiri akan pulang ke rumah orang tuaku di dusun Hong-cun. Dan bagaimana dengan engkau, Sumoi?"

"Aku...? Aku... entah akan pergi ke mana...?" kata Li Sian dan melihat wajah sumoi-nya menjadi sedih, Suma Lian segera merangkul dan mencium pipinya.

"Ahh, aku lupa bahwa engkau tidak mempunyai keluarga lagi, adikku. Nah, bagaimana kalau engkau pergi bersamaku, ikut dengan aku ke rumah orang tuaku? Kita tinggal bersama di sana, alangkah akan senangnya...!"

Akan tetapi Li Sian tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Terima kasih, Suci, Engkau baik sekali dan tidak ada kesenangan di dunia ini yang melebihi kalau aku dapat tinggal serumah denganmu. Akan tetapi, aku tidak ingin mengganggu ayah bundamu dengan kehadiranku dan..."

"Ahh, mereka pasti akan senang sekali menerimamu, Sumoi. Bukankah engkau sudah kuanggap seperti adikku sendiri? Bahkan, aku akan mohon kepada ayah ibuku untuk mengangkatmu sebagai anak mereka, dan engkau menjadi adik angkatku!"

Kini Li Sian yang merangkul suci-nya dan kedua matanya basah ketika ia memandang kepada suci-nya. "Suci, terima kasih. Engkau sungguh baik sekali dan percayalah, aku pun sudah menganggap engkau seperti kakak kandungku sendiri! Akan tetapi, biar pun ayah bundaku sudah tidak ada, akan tetapi engkau tahu bahwa aku masih mempunyai empat orang kakak laki-laki yang ketika terjadi keributan itu, ditawan oleh pemerintah. Biarlah aku akan mencari mereka terlebih dahulu, siapa tahu ada di antara mereka yang dapat kutemukan. Mereka merupakan satu-satunya keluargaku terdekat yang kumiliki. Aku akan mencari mereka, dan kalau gagal, barulah aku akan menyusulmu ke dusun Hong-cun, Su-ci."

Suma Lian mengangguk-angguk, mengerti dan menyetujui. Pada hari itu juga mereka turun gunung, kemudian berpisah di jalan persimpangan. Suma Lian menuju ke selatan, sedangkan Li Sian menuju ke utara. Dua orang saudara seperguruan yang berangkat dewasa bersama-sama ini baru berpisah setelah mereka saling rangkul sampai sekian lama tanpa kata-kata. Kemudian keduanya berpisah dan berlari cepat dengan kedua mata basah.....

KISAH SI BANGAU PUTIH (seri ke 13 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang