"Kamar Nenek ada di lantai berapa?"
"Eoh, kau sudah sampai di rumah sakit?"
"Hmm, ya."
"Kamarnya ada di lantai dua puluh tiga ruang VVIP nomor dua puluh satu. Dari lift, kau belok kiri lalu jalan lurus saja sampai kau menemukan kamarnya."
"Ada—"
"Aku tutup sekarang, okay? Aku ada urusan penting. Jangan merindukanku, Daisy-ya. Kau cukup merindukannya saja."
Daisy hanya dapat menatap layar ponselnya dengan tatapan tidak percaya begitu sambungan telepon diputus secara sepihak oleh Seulyoon. Benar-benar. Seulyoon memang selalu berhasil membuat Daisy kehilangan kata-katanya. Sepupunya itu selalu bertindak sesuka hati tanpa repot-repot memikirkan apakah tindakannya dapat diterima orang lain atau tidak. Daisy bahkan sudah lelah mengeluarkan kata-kata pedasnya agar Seulyoon berhenti mengatakan hal yang tidak penting ketika bersamanya.
Setelah mematikan ponselnya, kaki jenjang Daisy lantas bergerak menuju lift yang terdapat di sisi kanan lobby rumah sakit. Dari tiga lift yang berjejer, satu lift yang terletak di paling kiri baru saja terbuka dan dua orang gadis keluar dari sana. Langsung saja Daisy melangkahkan kakinya memasuki kotak besi itu. Tangannya yang bebas lantas terjulur memencet nomor 23, sesuai petunjuk Seulyoon tentang lantai kamar nenek mereka dirawat.
Here we go, batin Daisy malas saat jarinya sukses menekan nomor yang dia inginkan.
Namun, ketika pintu lift mulai tertutup, seseorang menahannya sehingga pintu terbuka kembali. Kening Daisy sontak berlipat layaknya kulit jeruk melihat seorang pria berjalan menunduk memasuki lift menuju ke arahnya. Daisy tidak dapat melihat wajah pria itu dengan jelas karena menggunakan masker dan topi putih beserta kacamata hitam, ditambah pria itu tidak kunjung mendongakkan kepalanya sampai akhirnya dia berbalik memunggungi Daisy. Pria itu terlihat begitu kasual dengan baju kaos polos putih dan celana kain berwarna abu-abu.
Pintu lift akhirnya benar-benar tertutup dengan berisikan Daisy dan pria itu saja.
Daisy akhirnya masa bodoh dan memilih memejamkan matanya sejenak seraya bersandar di dinding. Ada terlalu banyak hal yang berkeliaran di kepalanya saat ini. Daisy bersyukur orang yang sedang bersamanya saat ini tidak bertingkah macam-macam. Alhasil, perjalanan menuju lantai dua puluh tiga diselimuti oleh keheningan yang begitu kentara.
"Aku sudah berada di dalam lift."
Sepasang mata Daisy sontak terbuka ketika satu suara rendah itu menyapa daun telinganya. Suara itu. Daisy yakin pendengarannya masih sangat sehat untuk sekadar mengenali satu suara yang sudah dia hapal di luar kepala.
"Katakan padanya jangan menangis. Aku akan tiba dalam dua menit."
Apa lagi ini? Mata Daisy refleks memanas. Daisy boleh saja berhalusinasi, tapi dia yakin bahwa pria yang ada di depannya adalah Jongdae. Postur tubuh tegap berserta bahunya yang lebar, surai halus berwarna coklat yang sebagian tertutupi topi, dan sebuah cincin yang terselip di jari telunjuk tangan kanannya ketika pria itu menempelkan ponselnya ke telinga memenuhi penglihatan Daisy. Daisy jelas sangat mengetahui siapa pemilik cincin itu.
Sebenarnya, sepulang dari Starbucks kemarin, Daisy langsung masuk ke kamar dan mengurung diri di sana selama seharian penuh hingga membuat Theo seperti orang gila dengan terus menggedor pintu kamar Seulyoon. Perasaan sesaknya lagi-lagi menghampiri tanpa permisi. Sudah cukup Jongdae membuatnya menderita, dan sekarang pria itu kembali sukses memporak-porandakan hatinya ketika tangan mereka bersentuhan kemarin. Ini semua gara-gara Theo. Andai saja Theo tidak memesan Americano atas nama JD, mungkin Daisy tidak harus bertemu dengan mimpi buruk yang selama ini terus dia hindari.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Abience ; Chasing Daisy || Kim Jongdae
Fanfiction[SELESAI] ❝Tentang dia yang terus berlari tanpa henti.❞ Abience, a Kim Jongdae Fanfiction © Jeybenedict, 2018