Udah nggak tau mau nulis apa lagi. Ini beneran raw banget. Nggak diedit, dan gaya nulisnya juga aneh banget menurutku--beda dari chapter-chapter di awal, tapi aku terlalu mager buat revisi. Jujur aja aku kurang sreg karena demi apa baca narasi di chapter ini aku rasanya kayak lagi balapan.
By the way, aku kangen Theo, maka jadilah chapter ini hehe
Enjoy!
》《
Ketika Daisy mendengar bel rumahnya berbunyi saat dia sibuk memindahkan tanaman di halaman belakang, dia tidak pernah mengira akan ada orang yang berkunjung ke rumahnya di akhir pekan, terutama pukul delapan pagi.
Ketika Daisy bergegas mencuci tangannya dari tanah dan kotoran di keran, dia tidak pernah menduga siapa gerangan yang menunggunya di depan pintu.
Ketika Daisy setengah berlari ke ruang tamu untuk membuka pintu dan mempersilakan tamunya masuk, dia tidak pernah menyangka dia akan melihat mereka--dan dia. Dari sekian banyak kemungkinan yang bisa terjadi, Daisy tidak pernah membayangkan hari Minggu paginya akan seperti ini.
Tubuhnya sukses membatu kala seorang pria berkulit putih pucat tiba-tiba memeluknya tanpa permisi. Otak Daisy masih memproses apa yang terjadi--mengapa mereka bisa ada di depan rumahnya, bagaimana mereka tahu ini rumahnya, dan berbagai pertanyaan lain yang tidak berhenti berdatangan--ketika pria yang melingkupinya tiba-tiba merintih, melepaskan kontak tubuh mereka. "Sorry?" Seakan tersadar, Daisy menatap Junmyeon yang tampak berusaha berdiri di depannya, satu tangannya bertopang pada dinding.
Junmyeon menyeringai, terlepas dari rasa sakit yang ditimbulkan luka gores di daerah dagu saat otot wajahnya berkontraksi. "Masih ingat oppa-mu ini?"
Demi Tuhan, Daisy bingung, kaget, juga panik akan apa yang sebenarnya terjadi. Terlebih lagi, sepasang mata coklat kehitaman di belakang Junmyeon yang sedari tadi memperhatikannya membuat Daisy merasa sangat tidak nyaman.
"Hmm, sorry, Miss Schatzie," satu dari lima pria yang ada di hadapannya berujar, membuat fokus Daisy teralih padanya. Jika ingatannya benar, pria tua itu adalah pemilik restoran Italia yang sesekali dia kunjungi bersama Theo di setiap awal bulan. "But, you see," ujar pria itu lagi--Daisy lupa namanya, "they are not from here and one of them hurt his leg at the Devil's Bridge. The wound looks pretty terrible and he's got some grazes over his body, and--"
Daisy tidak mendengarkan perkataan pria itu selanjutnya seiring matanya berlabuh pada area bernoda merah pekat di betis Junmyeon. Keningnya mengernyit ketika Junmyeon berusaha tersenyum padanya, namun senyum pria berkebangsaan Korea Selatan itu malah berakhir tampak begitu dipaksakan.
Junmyeon terluka dan kesakitan. Fakta itu membuat Daisy tersentak. Dalam sekejap, dia berbalik, berlari ke kamar yang terletak di lantai dua tanpa mempedulikan Junmyeon yang meneriakkan namanya.
"Theo! Wach auf! Wake up!" Dia menarik selimut yang menutupi tubuh topless Theo. "Someone is hurt. He needs your help."
"Daize, was?" Theo menggerutu. Suaranya serak dan sebal. Dia baru tidur jam tiga pagi dan Daisy malah membangunkannya dengan brutal begini. "Es ist noch Morgen (ini masih pagi), you know."
"I know." Daisy kembali mencoba menarik pria itu dari tempat tidur. "Theo! My brother is hurt so you--"
"YOUR WHAT!?"
Hening seketika.
Daisy, baru menyadari apa yang baru saja dia katakan, langsung menutup mulutnya. Tetapi, terlambat. Theo memandangnya lekat dengan mata terbuka lebar, seolah-olah dia tidak mencoba kembali tidur beberapa detik yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Abience ; Chasing Daisy || Kim Jongdae
Fanfiction[SELESAI] ❝Tentang dia yang terus berlari tanpa henti.❞ Abience, a Kim Jongdae Fanfiction © Jeybenedict, 2018