sechs

381 40 3
                                    

"Eonni, kau sedang apa?"

Daisy mengangkat kepalanya ketika suara kecil itu menyapa di tengah usahanya menahan bulir-bulir air bening yang siap jatuh kapan saja. Sepasang mata mungil yang sangat mirip dengan pria di sebelahnya mengerjap pelan begitu netra mereka bertemu. Hantaman menyakitkan di dada Daisy semakin keras. Anak perempuan itu benar-benar duplikat Jongdae versi perempuan. Bahkan bibir kucing Jongdae yang khas juga dimiliki olehnya.

Astaga.

Daisy ingin mengubur dirinya puluhan kaki di dalam tanah. Matanya terasa panas dan perih. Entahlah, Daisy merasa dirinya konyol sekali. Dia bukanlah siapa-siapa bagi Jongdae, namun, pengkhianatan tak langsung dari pria terkenal itu begitu membekas bagai pisau yang ditancapkan dengan sengaja ke dada.

"Eonni? Kau mendengarkanku?"

Mendengar pertanyaan itu, Daisy buru-buru meraup oksigen sebanyak yang dia bisa, mencoba menetralkan—tepatnya, menyamarkan—perasaannya di depan anak kecil bertubuh kurus yang sekarang tengah memandangnya dengan penasaran. Sementara itu, sang ayah—Daisy benci mengatakan hal ini—berdiri di belakang sang anak dan ikut memandang Daisy dengan cara yang sama—penuh tanda tanya.

Daisy tersenyum kaku. Tidak adil rasanya bila gadis kecil selucu dan sepolos ini mendapat perlakuan yang sama seperti yang didapat Jongdae dari Daisy. "Hello, Beautiful."

Daisy bersumpah suara bergetarnya terdengar begitu kentara.

Jongdae tersenyum menatap Daisy, lalu ikut membungkuk. Sepasang lengan kekarnya memeluk gadis kecil tersebut dari belakang. "Eonni bilang, 'halo gadis manis'."

"Ayah, benarkah?"

Jongdae mengangguk. "Apa Ayah pernah berbohong padamu, hm?"

"Tidak pernah."

Orang lain yang melihat interaksi Jongdae dengan gadis kecil itu mungkin akan berpikir mereka manis sekali, tapi tidak dengan Daisy. Daisy tidak yakin dia dapat bertahan lebih lama lagi untuk terlihat baik-baik saja di hadapan sepasang ayah dan anak itu. Batin Daisy begitu tersiksa.

"I gotta go, Little Girl," kata Daisy seraya berdiri.

"Eonni bilang dia harus pergi." Jongdae secara spontan menerjemahkan perkataan Daisy.

"Kenapa?"

"Ayah tidak tahu." Jongdae mencium singkat pipi anaknya, menggendongnya erat seraya bangkit sebelum mengalihkan pandangan lekat ke arah Daisy. Tatapannya hangat, namun tidak cukup untuk untuk mencairkan kebekuan di hati Daisy yang semakin menjadi-jadi. "You want to come in for now?"

Daisy tidak menjawab. Dia hanya balas memandang Jongdae dengan tatapan tidak bersahabat. Jika Jongdae benar menerjemahkan tatapan itu ke dalam kata-kata, mungkin tatapan itu akan berbunyi, "Diam saja kau. Aku tidak ingin berbicara denganmu". Lagi-lagi Jongdae hanya tersenyum tipis menanggapi sikap dingin Daisy. Melihat gadis itu tersenyum padanya justru menjadi hal yang sangat aneh. "Okay, you may go. Sorry if my daughter and I are bothering you," cetus Jongdae, lagi-lagi dengan senyum khas yang tidak menghilang dari wajahnya.

Kekehan sinis Daisy berderai. Pelan, namun sanggup membuat Jongdae semakin yakin bahwa ada yang salah dengan gadis di hadapannya itu. Sejak mereka pertama kali bertemu kemarin, Daisy bertingkah seolah-olah Jongdae adalah musuh terbesarnya. Memangnya, apa yang salah dengan Jongdae? Jongdae sudah berusaha untuk menjadi seramah yang dia bisa ketika bertatap muka dengan gadis berdarah campuran itu, tetapi tetap saja dia mendapat tanggapan yang jauh dari kata menyenangkan.

Kini Jongdae menatap Daisy yang sudah berbalik memunggungi mereka. Untuk kedua kalinya gadis itu tampak ragu ketika jari-jemarinya menggenggam kenop pintu, seolah-olah ada monster mengerikan yang menunggunya di dalam sana. Jongdae hendak kembali menegur, tetapi tampaknya gadis bermata biru itu sudah mengenyahkan keraguannya jauh-jauh. Buktinya, Daisy sudah terlanjur memutar kenop pintu dan menutupnya dengan sedikit kencang hingga gadis kecil di dalam gendongan Jongdae terperanjat kecil karena kaget.

"Ayah, Eonni tadi kenapa?"

Jongdae tersenyum tipis, menatap satu-satunya harta paling berharga di dalam hidupnya. "Tidak apa-apa, Ahrin-ah. Mungkin Eonni tadi sibuk sehingga dia buru-buru."

"Benarkah?"

"Benar, Sayang. Sekarang, ayo kita kembali ke kamarmu. Kau sudah meninggalkan Ibumu sendirian di sana, Anak Nakal. Jangan salahkan Ayah bila Ibumu nanti memarahimu."

Ahrin, nama anak itu, hanya tertawa riang. Jongdae ikut tertawa. Diciumnya pipi Ahrin yang selalu berhasil membuatnya gemas. Rasa penatnya setelah seharian berlatih vokal dan tari demi mempersiapkan perilisan album barunya tiga minggu lagi mendadak sirna hanya dengan mendengar tawa bahagia dari bibir mungil gadis di gendongannya itu.

Jongdae bahagia walau dunia tidak selalu mendukungnya.

"Ayah, kemarin Paman Jongdeok membelikan Ahrinie boneka beruang yang besaaaar sekali." Ahrin merentangkan tangannya hingga harus membuat kepala Jongdae tertarik ke belakang. "Dia bilang dia akan membelikan Ahrinie boneka yang lebih besar lagi ketika Ahrinie sudah tidak dirawat di rumah sakit."

"Begitu, ya?" untuk ke sekian kalinya kedua sudut Jongdae melengkung ke atas. "Kalau begitu, Ahrinie harus cepat sembuh, oke? Ayah janji Ayah akan memberi hadiah yang lebih besar dari Paman Jongdeok jika Ahrinie sembuh dengan cepat dan tidak pernah menyerah untuk sembuh."

"Ayah tidak berbohong, kan?"

"Ayah berjanji, Sayang."

"Ahrinie sayang Ayah! Mwah!"

Jongdae mendekap tubuh kecil Ahrin dengan sayang, mencium puncak kepala yang hadir menemani hidupnya sejak tiga setengah tahun terakhir. Kakinya mulai melangkah pelan. Namun, sebelum mereka benar-benar beranjak dari sana, untuk sejenak, Jongdae memandangi pintu bernomor 21 di belakangnya yang telah tertutup rapat dengan bayang-bayang Daisy yang masih bermain di pikirannya.

Di balik senyumannya, Jongdae mendesah lelah.

Sebenarnya, apa yang terjadi?

~to be continued~

published october 25, 2018

[✔] Abience ; Chasing Daisy || Kim JongdaeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang