Pandangannya selalu tertuju pada seseorang yang kini duduk dihadapannya, terkadang dia tersenyum, dimatanya terlihat Kinal membelai pipinya yang semakin kurus. Wajahnya yang pucat pasi itu memancarkan kebahagian, jelas dia bahagia, karna Kinal sudah ada disini.
Tak hadirnya Kinal beberapa waktu lalu membuatnya merasa kosong, jiwanya seakan hilang, hingga sekarang dia memang tak pernah mengatakan kalau dia begitu mencintai Kinal, ntah Kinal bisa menangkap itu atau tidak, yang jelas dia sudah bahagia walau hanya sekedar hadirnya Kinal disampingnya.
"Wajahmu masih terlihat pucat. Apa masih sakit?"
Dia menggeleng, lantas tersenyum meyakinkan, kalau apa yang dia rasakan segera hilang karna kehadiran Kinal. Kinal hanya mengangguk memberikan senyum tipisnya, Kinal setuju saja, apa yang dikatakanya.
Suasana sore dengan sisa-sisa senja yang akan segera hilang membawa dia semakin jauh dari apa yang ada dalam pikirannya, angin membuat rambutnya yang terurai berantakan,tubuhnya dingin karna udara yang begitu tak bersahabat, tapi syal milik Kinal mampu menghangatkannya,
Roda kecil yang berputar seirama itu berhenti, tepat ditengah taman yang terlihat sepi, Kinal membawanya kesini, saat kursi roda yang dia duduki berhenti, Kinal berputar,seakan bersimpuh dihadapannya.
Hatinya menghangat memandangi seseorang yang sangat dia cintai, andai dia mempunyai tenaga lebih dari sekarang pasti dia akan mengajak Kinal berlari untuk mengejarnya, menghabiskan waktu hingga malam dengan berbicara penuh dengan Kinal. Tapi nyatanya tubuhnya lemas, jangankan untuk berlari, berbicara saja terasa begitu berat.
Senyum Kinal yang manis menuntun tangannya untuk menyentuh wajah Kinal, Kinal sama sekali tak keberatan, matanya malah berkaca-kaca dan dia jadi mengerutkan keningnya.
"Ada apa?"
"Gapapa." Kata Kinal. "Aku bahagia kamu sudah keluar dari rumahsakit." Lanjut Kinal mengganggam tangannya yang dingin.
Dia tersenyum, ada kebahagian dalam hatinya, dia tahu kalau Kinal sangat mengkhawatirkannya, terlihat dari sorot mata Kinal yang sendu.
"Apa kamu mengkhwatirkanku?"
"Heem. Tentu, aku selalu mengkhawatirkanmu, Yona."
Lagi-lagi senyumnya terpancar dari wajah cantiknya. "Terimakasih." Begitu katanya, dia menyembunyikan rasa bahagianya, tapi pipinya yang merona membuat dia tak bisa menyangkal lagi kalau dia sangat bahagia.
..
.
.Sore semakin mengikis, awan-awan yang bergerak pelan menutup matahari yang sudah sangat lelah bekerja seharian. Ada kegelisahan dalam diri seseorang yang kini berdiri, memasukan tangannya pada kantung jaketnnya.
Nina,
Gadis egois itu kini begitu terlihat sedih, dia hanya bisa menangis, masih tak bisa menerima apa yang menurutnya tak masuk di akal. Tapi melihat ini dia mengerti, semua ini terjadi diluar kendalinya.
Dari jarak yang tak jauh dia hanya bisa memandangi, Yona yang duduk di kursi roda dengan Diandra yang berada dihadapannya.
"Maafin gw Yon, gw bukan temen yang baik." Monolognya sendiri, dia menghapus air matanya yang terus jatuh.
Dia tak mempunyai keberanian untuk mendekat, setelah apa yang dia lakukan, dia merasa kalau dia memang bukan teman yang baik untuk Yona dan Diandra.
Dia sangat mengingatnya, saat dia didorong Yona tanpa sebab, dia mulai meneriaki kalau Yona gila, kalau Yona harus di masukan ke rumah sakit jiwa, karna Yona merancau tentang hal yang dia tak mengerti, dengan teganya dia berteriak didepan banyak orang. Membuat Yona menangis dan berujung Yona yang masuk rumahsakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
IMAGINE [END]
FantasyBayangkan jika hidup bisa seperti apa yang kita bayangkan. Cover by Widya Syarif.