Dua puluh

3.2K 650 65
                                    

Waktu begitu tidak terasa. Langit sudah semakin gelap. Mari kita lihat bagaimana keadaan sebuah kapal yang terparkir rapi di sisi pantai itu. Terlihat ada seseorang yang sedang membereskan mayat-mayat yang bergelimpangan di atas dek kapalnya. Ia menariknya ke pinggir dek kapal agar tidak menghalangi jalannya.

Jeno terus menarik mayat-mayat awak kapalnya ke sisi dek kapalnya dan melemparkan mayat-mayat monster laut ke bawah. Sesudah menarik dan membuang semuanya, ia mulai membersihkan bekas-bekas pertumpahan darah di sana.

Ia pergi ke bawah dek kapal, berharap ada awaknya yang tersisa. Namun nihil. Sepertinya Dead Seamen itu membantai semua awak kapalnya. Sedih? Tentu saja. Siapa yang tidak sedih ditinggal oleh teman yang terus menyertaimu selama tujuh tahun lebih? Sebesar apapun kesedihan melandanya, airmata tak kunjung turun. Menurutnya, masih lebih banyak hal berguna yang masih bisa ia lakukan daripada menangis dan meratap.

Yah.. bisa dibilang, sore hari menjelang malam itu adalah saat bagi Jeno membereskan bekas-bekas pertumpahan darah di atas kapalnya.







•••••

"Renjun, apa yang kau lakukan?" Mark mengintip dari pinggir embernya. Melihat apa yang Renjun lakukan di luar baknya.

"Apa, ya? Bisa jadi aku sedang menerapkan pelajaran Sihir kelas A, tingkat 5, bab 6."

"Eum... Tentang apa?"

Renjun menghela napasnya sembari terus menggambar di atas lantai kamar mandi itu. Dengan apa? Oh.. Dengan airmatanya. Kalian tentu masih ingat bukan kalau airmata Renjun dapat menjadi mutiara? Tadi, ia menemukan mutiara di dekat baknya, dan ia cukup yakin mutiara itu adalah hasil ia menangisi Jeno. Ia juga menemukan mutiara di dalam baknya, tapi ia tidak ingat ia menangisi apa.

"Yak, jawab aku, Ren!"

"Istrimu itu guru, masa hyung tidak tahu sih?! Itu pelajaran tersulit yang pernah aku pelajari. Tentang meminta pada Morena untuk mengembalikan nyawa sesuatu." Ucapnya sambil terus menggambar segel di lantai itu.

"Morena... Kau serius?!"

"Yaah.. Mau bagaimana lagi? Sihir milikku tidak cukup hebat untuk melakukan hal-hal seperti itu. Dan tidak mungkin aku menolak permohonannya kan?"

"Tapi kan... Coba pikirkan baik-baik dulu, Ren.. Bermain dengan kematian itu tidaklah aman."

"Aku tahu. Hhh.. Kalau Morena ingin aku menemuinya, ya sudah.."

Segel itu selesai juga. Renjun menggambar lambang Morena–dewi kematian milik orang-orang Eropa, Slavia lebih tepatnya–serta menggambar lambang Neptunia. Ditaruhnya liontin kerajaan Neptunia di atas segel itu. Ia harap, sihir ayahnya bisa tersalur ke sana lewat liontinnya, atau mungkin lebih tepat trisulanya.

Mark melompat keluar dari embernya ke bak Renjun lalu berenang ke sisi bak yang lebih dekat pada Renjun.

"Renjun, kau serius??"

"Iya, hyung. Mau bagaimana lagi?"

"Hhh.. Berhati-hatilah..."

"Terimakasih, hyung.. Semoga aku masih bisa melihat cahaya esok pagi.."

Renjun menarik napasnya. Ia menggigit ujung jarinya, lalu meneteskan darahnya ke atas segel itu. Tangannya yang satu menggenggam liontin pemberian penyihir dengan erat, yang ia yakini sebagai jimat pelindungnya. Ia lalu memejamkan matanya, berdoa di dalam hatinya.

Black PearlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang