Episode 12

936 114 2
                                    

Satu minggu tidak terasa telah berlalu. Ini hari Minggu. Aku sibuk belajar untuk ulangan tengah semester sejak hari Sabtu. Aku tidak memiliki waktu untuk melatih kekuatanku, ulangan tengah semester ini akan berlangsung selama lima hari. Setelah itu, kami akan libur selama dua minggu.

    "Kamu sedang mempelajari pelajaran apa, Afya?" Mama bertanya lembut.

    Mama berdiri di dekat pintu kamarku. Aku menoleh melihat Mama. "Pelajaran matematika, Ma. Aku sedang mencatat rumus-rumus penting di kertas. Guru matematika memperbolehkan kami menulis rumus-rumus penting. Itu sangatlah membantu." Aku menjawab. Suaraku setengah serak—karena lelah setelah begadang semalaman untuk mempelajari pelajaran bahasa, aku masih memikirkan cerita apa yang akan kubuat untuk tugas bahasa—dan setengahnya lega—karena aku hanya perlu mempelajari pelajaran matematika dan biologi hari ini. Aku sudah mencicil pelajaran selama seminggu terakhir.

    "Baiklah, belajar yang baik ya, Afya." Mama baru saja akan balik kanan, tiba-tiba langkahnya terhenti. "Kamu sudah sampai halaman berapa?"

    Aku tahu maksud Mama—novel paling tebal di kota itu. Novel itu aku beli bersama Mama minggu lalu di toko buku yang berada di pusat kota. "Aku sudah sampai halaman ke-405, Mama."

    Wajah Mama terkejut setelah mendengar jawabanku, sampai-sampai Mama menutup mulutnya dengan salah satu tangannya.

    Mama ber-oh sebentar, kemudian berkata, "Mama ada di ruang tamu. Jika kamu membutuhkan Mama, pergi saja ke sana."

    Aku mengangguk. Kemudian, Mama balik kanan, berjalan menjauh dari pintu kamarku, pergi menuju ruang tamu. Aku kembali mempelajari pelajaran matematika.

***

Aku selesai belajar tepat pukul tiga sore.  Aku berdiri dari kursi, kemudian langsung mengempaskan punggungku di atas tempat tidur. Akhirnya, aku selesai juga belajar sejak pukul tujuh pagi tadi.

    Aku kembali melakukan "kegiatan" baruku sekarang—menatap cincin yang ada di jari manis tangan kananku.

    "Sebenarnya, apa kejutan yang akan cincin ini berikan?"

    Tanpa aku sadari, kalungku bercahaya. Aku terkejut saat melihatnya. Aku masih belum terbiasa dengan kejadian ini.

    Aku cepat-cepat turun dari tempat tidur, berlari mengunci pintu kamar dan menutup tirai jendelaku.

    "Aduh, kenapa kalung ini bersinar lagi?" Aku perlahan-lahan berjalan kembali ke tempat tidurku, lalu duduk.

    "Halo, Tuan Putri." sapa kalungku melalui cahaya yang merambat di sekujur tubuhku.

    "Aku akan menceritakan sedikit mengenai Dunia Cahaya, atau Kerajaan Zoltria."

    Tiba-tiba, terlintas di pikiranku mengenai tugas bahasa—sekaligus Ulangan Tengah Semester—yang diberikan Pak Andre. Apa aku harus menulis cerita mengenai Kerajaan Zoltria? Dunia Cahaya? Aku rasa bisa. Lagipula, aku tidak memiliki ide akan tempat apa yang akan aku kisahkan.

    Aku bergegas melompat dari tempat tidur, berlari mengambil binder dan pulpen yang ada di meja belajarku, kemudian kembali lagi ke atas ranjang.

***

"Alkisah, ada sebuah tempat indah di galaksi Bima Sakti, dipenuhi cahaya. Tempat itu sangatlah menakjubkan, melihat fotonya saja sudah bisa membuat takjub akan keindahan tempat itu, apalagi jika melihatnya dengan mata kepala sendiri. Tempat ini kemudian diberikan nama sesuai dengan suasananya. Dunia Cahaya. Oleh penemunya, La Luna.

    "Sepuluh ribu tahun yang lalu, aku diciptakan. Anak bungsu raja kedua Kerajaan Zoltria, Lucia, ditunjuk oleh ayahnya untuk menjadi ratu yang baru untuk memimpin Kerajaan Zoltria saat itu yang amat maju. Lucius—penciptaku—marah akan keputusan ayahnya itu, karena dia tahu adiknya sendiri bukanlah Lucia 'yang sebenarnya' dilihat di mata orang-orang, bahkan mata orangtua mereka."

TMA Series 1: TANAH ✔️ [SELESAI, TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang