Episode 20

775 88 0
                                    

Pukul enam pagi. Hari Minggu.

Aku, Mama, dan Papa sedang sarapan seperti biasa. Mama sangat menyukai cutlery set yang diberikan Elios untuk orangtua kami semalam.

Kemarin, saat Papa sudah masuk ke dalam rumah dengan membawa cutlery set yang cantik itu, Mama sangat senang bukan main—seperti akan diberikan hadiah lotre yang besar.

"Afya, ini cutlery set untuk Papa, kan?" Papa mengedipkan satu mata kepadaku, memberi kode untuk memulai prank pada Mama.

"Iya, Papa. Ini adalah cutlery set khusus untuk Papa yang memintanya kepadaku. Bersama dengan dua porsi makanan terenak Restoran Goulaires Dos!" Aku berusaha menahan tawa bersama Papa di ruang tengah. Dari jarak lima meter, suara dentakan kaki Mama yang menuruni anak tangga terdengar saking kerasnya.

"Kalian sudah pulang? Mana makan malam Mama dan Papa? Kami sengaja tidak makan malam karena menunggu delivery dari anak Mama yang cantik ini." Mama tertawa kecil, berusaha menggodaku.

Aku tertawa kecil. Papa malah semakin bersemangat untuk melakukan prank ini.

"Mama tidak dengar kalau semua yang ada di dalam kotak besar ini adalah untuk Papa, yah?" Papa menyeringai lebar. Senyum Mama seketika berubah menjadi wajah cemberut.

"Asalkan Mama mau mengabulkan permintaan anak kita yang cantik ini, dia akan memikirkannya lagi." Papa mengedipkan matanya lagi, berusaha menahan tawa.

"Keinginan apapun akan Mama kabulkan, deh! Asal kamu tidak meminta Mama memberikanmu sesuatu yang tidak mungkin ada." Mama memasang wajah cemberut ditambah wajah memohon "menakutkan". Ada salah satu alasan mengapa Papa sangat menyukai Mama—selain karena masakannya yang seenak masakan chef profesional, yaitu mata Mama yang tipenya disebut "Baby Doll Eyes". Tipe mata yang akan membuat seseorang terlihat sangat menggemaskan, sampai-sampai tidak akan ada orang yang bisa menolaknya. Itu sangatlah mengerikan jika sampai terjadi di dalam department store pakaian di kota kami, mungkin uang Papa akan langsung habis jika Mama sampai memasang wajah mematikannya itu di sana.

"Jangan memasang wajah itu, Mama!" Aku berseru, mengangkat kedua tangan agar tidak melihat wajah "mematikan" Mama itu. Sedangkan Papa berusaha menghalangi wajah dari Mama dengan kotak besar berisi cutlery set dan dua porsi makanan terenak Restoran Goulaires Dos di dalamnya, tertata rapi.

Lima menit kemudian, aku dan Papa menyerah. Wajah "mematikan" Mama itu tidak bisa ditolak oleh kami.

"Papa menyerah! Ini, ambil saja cutlery set yang kita miliki bersama di rumah ini. Lagipula, kepemilikannya masih lebih tinggi punya Papa." Papa nyegir lebar.

Meski wajahnya terlihat agak kusut, Mama sangat senang dengan cutlery set dan makanan terenak di Restoran Goulaires Dos itu. Aku menemani kedua orangtuaku itu makan sambil bercerita tentang megahnya restoran itu. Tentu aku tidak akan memberi tahu kalau aku hampir saja kehilangan kalung yang diwariskan kepadaku dan tentang guru biologiku dan adiknya yang berasal dari dunia lain, bukan?

Di sela memakan makan malam, Mama bertanya kepadaku. "Sebenarnya, keinginan terbesarmu itu apa, Afya?"

Aku menggeleng. "Aku ingin menyimpannya untuk sekarang, Ma. Siapa tahu, di masa depan, aku baru mengetahui apa keinginanku."

***

"Kamu sudah mengemas kopermu untuk dua minggu kedepan, Afya?"

Pertanyaan Mama membuyarkan lamunanku. "Sudah setengah terisi, Ma." Aku buru-buru menjawab.

"Ngomong-ngomong, kamu akan pergi ke mana selama dua minggu kedepan, Afya?" Papa bertanya. Dia masih mengunyah roti di dalam mulutnya.

Aku hampir saja tersedak saat aku sedang memakan omelet. Aku langsung menyambar gelas air putih, dan menghabiskannya dalam sekali teguk. "Aku rasa tur wisata menjelajahi tempat asing yang indah?"

Papa ber-oh sebentar, kemudian memasukkan sisa roti dengan isi susu kental di tangannya ke dalam mulut.

"Tempat asing yang indah? Apa ada tempat seperti itu di negara kita?" Mama balas bertanya.

"Pasti ada, jika kita mempercayainya sepenuh hati." Aku menjawab dengan bijak, seperti Pak Andre di kelas. Papa dan Mama tertawa pelan.

"Apa Lani dan Zandar, sahabatmu itu, diizinkan orangtua mereka untuk pergi selama dua minggu ini?"

"Iya, Pa. Tiga hari yang lalu, mereka menelponku dan mengatakan kalau orangtua mereka mengizinkan." Aku menyendokkan omelet ke dalam mulut.

***

Setelah sarapan, aku membantu Mama mencuci piring, kemudian masuk ke kamar.

Aku sibuk mengotak-atik gelangku. Berusaha mempelajari lebih dalam tentang teknologi gelang ini. Sebenarnya, tadi malam aku tidur larut sekali, karena melakukan video call dengan Lani dan Zandar melalui gelang. Aku bisa memperbesar layar tiga dimensi itu hanya dengan menggunakan dua jari. Setelah itu, aku menaruhnya di langit-langit ruangan. Gambar layar tiga dimensi ini sangat jernih, seperti melihat Lani dan Zandar yang asli saja.

"Kalian bisa tidur?" tanya Lani. Dia sedang memasang lagu Korea yang populer sekarang di televisinya yang melakukan siaran langsung. Untungnya, aku dan Zandar tidak bisa mendengarnya—karena kami menggunakan headset khusus untuk hanya mendengarkan suara penelpon atau yang ditelpon, bukan suara yang ada di sekitar orang yang kita telepon.

"Untung saja ada teknologi canggih headset ini. Kalau tidak, telingaku dan Zandar sudah perih mendengarkan suara televisimu itu, La." aku tertawa kecil. Zandar menyusul tertawa di layar.

"Hei, setidaknya gelang ini membuat barrier di kamarku agar orangtuaku tidak mendengar suara televisiku, Afya, Zandar," celetuk Lani memasang wajah cemberutnya, yang malah membuat aku dan Zandar tertawa lebih kencang—bukannya menanggapi Lani.

"Lani benar, Afya. Gelangku juga membuat barrier kasat mata di sekitar kamarku. Tetapi dengan kekuatanku, aku bisa melihatnya. Seperti melihat makhluk gaib." Zandar menanggapi, sudah selesai tertawa.

"Tetapi, bagaimana cara kalian mengetahuinya?"

"Cek saja layar kiri bagian atas milikmu, Afya." Lani menjawab, menunjuk ke layar kiri bagian atas—kanan dari penglihatannya. Lani benar. Ada tulisan yang berbunyi, "Tameng kasat mata aktif." dalam bahasa yang tidak kukenal. Tetapi, aku rasa aku mengerti berkat gelangku.

"Ngomong-ngomong, apa orangtua kalian menyukai "hadiah" Elios itu?" tanya Zandar, sedang menonton acara di layar tiga dimensi lain. Elios memberi tahu kami kalau gelang kami bisa menunjukkan lebih dari satu layar, sama seperti teknologi komputer dan telepon genggam saat ini di dunia kami.

"Aku dan papa saja sampai menipu Mama kalau "hadiah" itu hanya untuk Papa, agar Mama mau mengabulkan keinginan terbesarku." jawabku.

"Papa dan mamaku biasa saja. Tetapi, mereka benar-benar kegirangan saat mencoba makanan terenak di restoran itu," Lani tersenyum, "bahkan televisi yang menyala di depan mereka pun dihiraukan hanya untuk menikmati makanan itu."

Kami bertiga tertawa. Orangtua kami memang seru.

"Tetapi, apa kalian tidak berpikir akan sesuatu?" tanyaku. Mereka berdua menoleh.

"Kenapa Elios menyebutku sebagai adiknya tadi?"

Lani dan Zandar menggeleng. "Aku tidak tahu. Mungkin kita harus menanyakannya kepada Elios lusa... Sekaligus tentang pintu di bawah meja Miss Anna di ruang guru?"

Aku mengangguk. "Mungkin kau benar, La."

Lima belas menit, kami membahas tentang "liburan" kami ke Dunia Cahaya lusa nanti, selama dua minggu. Mulai dari persiapan, sampai alasan yang kami katakan kepada orangtua kami untuk meyakinkan mereka. "Aku sudah mengantuk. Lihat jam di gelang kalian, sudah jam sebelas. Ini jelas lewat dari jam tidurku," Lani mengeluh, menguap lebar di layar.

"Baiklah, kalau begitu kita tidur saja," Aku menghela napas pelan. "Dadah, La, Zan."

Aku melambaikan tangan. Mereka balas melambaikan tangan. Dalam sekejap, layar itu langsung menghilang saat aku menurunkan tangan. Sebenarnya, masih banyak pertanyaan di dalam kepalaku. Tetapi, aku harus tetap istirahat agar aku bisa mencari satu per satu jawabannya di esok hari. Dua menit, mataku sudah terpejam. Tertidur pulas.

***
Please support me by vote and follow! {^~^}

TMA Series 1: TANAH ✔️ [SELESAI, TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang