Episode 26

626 90 0
                                    

"Cepat bangun, La!"

    Aku mengguncang-guncang tubuh Lani yang masih saja dibungkus selimut di atas ranjangnya. Dia berusaha menutup telinganya dengan bantal.

    "Lima menit lagi!" sahut Lani.

    "Tidak ada lima menit lagi! Ayo bangun! Kalau tidak, aku akan melakukannya dengan cara kasar!" ancamku, seraya mengangkat tangan kananku. Sudah siap membawa tubuh Lani ke bath tub di kamar mandi.

    "Oke, oke! Aku sudah bangun!" Lani beranjak duduk, masih mengucek matanya.

     "Cepat mandi sana! Sepuluh menit lagi kita berangkat."

    Lani mengangguk malas, beranjak berdiri, kemudian berjalan menuju kamar mandi.

    Sebenarnya, aku sudah bangun sejak jam empat subuh. Selama beberapa menit, aku melatih kekuatanku—begitu pula dengan Zandar. Aku menangkap basah dia saat aku mendengar suara seperti barang jatuh dari kamarnya.

     "Zandar, kau tidak apa-apa?" aku langsung mendobrak pintu penghubung kamar kami. Di depan jendela, Zandar sedang berdiri dengan sekujur badan tegang karena terkejut akan kedatanganku.

    "Ti-tidak apa-apa kok, Afya. Aku hanya sedang berlatih. Tidak bisa tidur lagi setelah aku terbangun."

    Aku menggeram, menatap tajam Zandar. Seluruh barang yang ada di kamarnya mulai melayang di atas lantai.

    "Jangan membuat orang terkejut subuh-subuh begini!" aku berseru cukup kencang. "Kau mau aku menyerangmu karena aku berpikir ada pencuri yang masuk?"

    Untung setiap kamar kedap suara—kecuali yang mempunyai pintu penghubung, seperti kamar kami bertiga.

    "Baiklah, aku minta maaf, oke?" seru Zandar panik. Aku bisa melihat peluh mulai turun dari dahinya, meskipun tenda ini memiliki pendingin ruangan.

    "Your apology's accepted," aku tersenyum, kemudian menurunkan tanganku perlahan. Semua barang kembali menyentuh lantai.

    Zandar mengelus dadanya, menghapus peluh di dahi.

    "Kau membuatku takut, Afya! Matamu yang bersinar dalam gelap itu seperti hantu saja," gerutu Zandar. Aku hanya membalas dengan tertawa.

    "Ternyata kamu penakut juga ya sama hantu," aku tertawa kecil. "Aku pikir kamu yang paling pemberani di kelas,"

Wajah Zandar memerah karena kesal. "Semua orang kan takut sama hantu!" dia membela diri. Entah mengapa, mata Zandar tiba-tiba berubah menjadi hijau kembali.

   Aku rasa dia mulai marah. Batinku.

    Aku berjalan menuju Zandar sebelum ia mengangkat tangannya yang mulai bercahaya hijau. Aku menyentuh bahunya, mengirimkan rasa tentram padanya. Matanya perlahan kembali seperti semula.

    "Sebaiknya kita bersiap-siap saja, selama yang lain masih tidur,"

    Zandar mengangguk. "Ingat, kita berangkat jam 6.30. Lebih tepatnya, satu setengah jam lagi."

    "Baiklah. Aku akan kembali ke kamar untuk berkemas." jawabku.

***

Kami semua sudah siap.

    Naga-naga kami sudah diberi makan yang bisa membuat perut tetap kenyang selama beberapa hari, sehingga kami bisa irit makanan.

    "Kau sudah kenyang, kan?" tanyaku pada nagaku, sambil mengelus bulu lebat dan halus kepala dan tengkuknya. Ia menggerung pelan. Artinya, dia senang.

    "Segera naik ke naga kalian! Sepuluh menit lagi, matahari akan terbit." sahut Miss Anna.

    "Baik, Miss!" Kami langsung menaiki naga-naga kami. Miss Anna dan Elios sudah membereskan tenda tadi, dan Zandar juga sudah membuat koper-koper kami menjadi kecil. Dia menyimpannya di dalam saku celananya yang didesain khusus dengan teknologi canggih Dunia Cahaya.

   

***

"Jadi, apa yang kau lakukan dengan Zandar jam empat subuh tadi, Afya?" tanya Elios, menyeringai.

    "Da-darimana kau tahu kalau aku ada di dalam kamar Zan tadi?" aku tekejut akan pertanyaan Elios itu. Kami sudah terbang selama kurang lebih setengah jam diatas ketinggian lima ratus meter.

    "Aku bisa melihat kalian berdua dari kamarku. Mataku bisa melihat menembus benda atau lapisan apapun selama aku menginginkannya."

    "Jadi, kau sudah terbangun sejak subuh?" tanyaku, tidak menjawab pertanyaan Elios. Dia hanya mengangguk.

    "Aku hanya memberi "pelajaran" pada Zandar. Itu saja," jawabku pelan, menoleh ke arah Zandar. Aku memejamkan mata, sambil tersenyum padanya, mengangkat tanganku yang bercahaya. Dia langsung terlihat tegang.

    "K-kenapa ada aura yang tidak enak di sini?" gumamnya, mengelus-elus lehernya, mengalihkan pandangannya dariku. Aku rasa "senyuman" milikku ini bisa membuat orang tegang juga, selain menyebarkan aura positif.

    "Kenapa, Zan? Kau terlihat tegang," tanya Elios, wajahnya terlihat setengah cemas dan setengah ingin tertawa karena wajah Zandar yang memang selalu lucu jika takut.

    "Kau tidak apa-apa, Zan?" tanyaku padanya, mencoba agar dia tidak tegang lagi.

    "Tidak apa-apa, Elios, Afya," jawab Zandar kaku. Kali ini, aku tersenyum hangat. Ekspresinya kembali seperti semula, tidak tegang lagi.

    "Terus perhatikan kompas kalian! Kita akan mencoba mengikuti arah pergerakan matahari seperti yang tertulis di kertas semalam," sahut Miss Anna, menunjukkan kertas yang berisi petunjuk empat baris itu.

    "Tetapi ada sesuatu yang tidak aku mengerti," Lani berkata pelan, membuat kami menoleh padanya. "Petunjuk itu mengatakan: "... Ikutilah dia...". Bukankah itu artinya kita harus mengikuti seseorang? Bukan matahari?"

    Aku menelan ludah. Lani ada benarnya. Jika kita disuruh untuk mengikuti seseorang yang dijuluki "Matahari", mengapa kita harus mengikuti matahari?

    "Kamu ada benarnya juga, Lani," Miss Anna menghela napas pelan. "Tetapi, sebaiknya kita mencoba untuk menggunakan logika di sini. Coba kita ikuti matahari. Mungkin saja kita akan menemukan orang itu."

***
Please support me by vote and follow! {^~^}

TMA Series 1: TANAH ✔️ [SELESAI, TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang