📖 Happy Reading 📖
Saat ini Welkin sedang berlarian ke sana ke sini untuk melacak area yang dilanda hujan. Namun, sialnya hari ini sang surya sedang bersemangat menebarkan pesona kehangatannya kepada seluruh penjuru bumi. Welkin seakan-akan menyerah begitu saja, akan tetapi ia harus menyelamatkan Rain. Semakin Rain kesakitan, ia juga semakin merasakan nyeri dibagian dadanya.
Setelah Welkin berlari puluhan kilometer, ia mendapati kota yang sedang menangis. Pria dengan jubah berwarna hitamnya itu sejenak memejamkan mata untuk berkonsentrasi agar transformasi hujannya berjalan dengan lancar. Beberapa detik kemudian ia lenyap layaknya dibawa kabur oleh rinai-rinai hujan.
Kekuatannya semakin meningkat sehingga tak butuh waktu lama supaya sampai di tempat yang dituju. Welkin sudah berada diantara kerumunan orang-orang yang mengelilingi keterpurukkan Rain. Sejenak ia membebaskan pandangannya ke sekitar.
“Kau tidak apa-apa, Rain?” tanya Welkin seraya menerobos masuk ke daerah perkumpulan tersebut.
“Arrghh!!” Gadis bertubuh mungil itu memeluk lututnya sembari merintih kesakitan.
Rain sesekali menutupi kedua alat pendengarannya berharap suara mengerikan dari angin serta gelombang pantai hirap begitu saja. Tapi, nyatanya suara menjengkelkan itu semakin menyelinap masuk tanpa izin secuil pun.
Segera Welkin mengangkat tubuh Rain yang sudah menggigil. Ia membawa pergi sejauh mungkin dari tempat tersebut, “Rain, bertahanlah sebentar! Kau akan segera pergi dari tempat biadab ini,” ucap Welkin sambil menggendongnya dan berlari secepat mungkin.
Tanpa diduga ternyata Cloudy sejak tadi mengikuti ke mana arah langkah Welkin membawa Rain pergi, “Mau apa kau membuntuti kami?” ketus Welkin sesudah menyadari kehadiran Cloudy.
“Aku cemas pada Rain,” ujarnya lalu menggigit bibir sekadar menghilangkan rasa panik.
“Kembalilah bersama temanmu yang lain. Aku akan mengurus Rain dan dia akan baik-baik saja. Jadi, jangan khawatirkan dia. Kau mengerti?” tutur Welkin dengan napas terengah-engah.
Cloudy menghentikan pijakan kakinya dengan perasaan yang tak keruan, “Baiklah.”
Sementara Welkin dan Rain sudah angkat kaki entah ke mana. Lelaki dengan ototnya yang kekar untuk menggendong Rain lagi-lagi mencari lokasi dengan langit yang sedang bersedih. Dari pantai tadi tak terlalu jauh untuk menemukan hujan. Welkin kembali menggunakan transformasi hujannya.
Kini mereka telah berada di rumah lebih tepatnya di kamar Rain. Pelan-pelan Welkin menidurkan Rain ke atas kasur. Tubuhnya sudah tak berdaya lagi dan sedari tadi Rain tak sadarkan diri saat dalam gendongan. Selimut tebal dengan corak garis vertikal itu telah menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajahnya yang pucat, namun masih terlihat cantik jelita.
“Kau pasti begitu menderita,” kata Welkin lalu menyentuh rambut Rain yang sempat menghalangi dahinya. Napas yang terdengar begitu lemah dengan trauma yang masih melekat di dalam tubuhnya.
Welkin seperti melihat bidadari surga yang sedang terlelap dalam tidurnya, “Tapi, kau sudah berjuang keras untuk menaklukan ketakutanmu itu.”
Tiba-tiba saja Kuchi datang dan langsung melompat ke atas kasur, “Meow ... meow .... “ Kuchi seolah-olah merasa khawatir pada tuannya.
“Yak! Dasar kucing sialan mengagetkanku saja!” pekik Welkin dan segera menjauh dari Kuchi. Akan tetapi, Kuchi mengabaikan Welkin serta lebih memilih semakin mendekati Rain. Kuchi mengangkat salah satu kakinya dan menyentuh pipi yang pucat pasi bak mayat hidup.
“Yak! Kau jangan mencakar tuanmu,” celetuk Welkin dengan langkah maju-mundur tak keruan. Akan tetapi, setelah melihatnya ternyata Kuchi mengelus-elus pipi Rain. Kemudian Welkin membiarkannya saja.
“Meow ... meow .... “ Kuchi seakan-akan berkata ‘Tuanku, cepatlah bangun!’ Mendadak kelopak mata Rain mulai bergerak seperti berusaha untuk membukanya. Perlahan Rain benar-benar membelalakkan matanya dengan susah payah. Bola mata berkeliaran melihat ke sekeliling, ‘Ini kamarku.’ Mungkin itu yang terlintas dalam benaknya.
Perasaan takut pada Kuchi sebentar ia hilangkan dan mulai mendekati Rain yang masih terbaring lemas, “Kau sudah baikan?” Welkin duduk di pinggir kasurnya, sedangkan Kuchi berada di sela-sela leher Rain.
Rain mencoba tersenyum memperlihatkan bahwa dirinya sedang dalam keadaan yang cukup baik, “Iya, aku baik-baik saja.” Leher Rain berotasi saat mendengar Kuchi sudah bersuara dengan gembara karena tuannya sudah sadarkan diri, “Kau memang kucing peliharaanku yang baik.” Ia sedang memberi sanjungan pada Kuchi.
“Bagaimana bisa aku sampai di rumah?” tanyanya dengan pelafalan yang lirih.
“Lebih baik kau beristirahat saja agar kondisimu semakin membaik,” titah Welkin sembari membenarkan selimut yang dipakai oleh Rain.
Welkin memilih merahasiakan kekuatannya yang mampu bertransformasi melalui hujan meskipun ia menceritakannya Rain mungkin tak langsung percaya begitu saja karena memang diluar akal sehat.
☔☔☔
Cloudy masih membatu di tempat saat Welkin menyuruhnya untuk tak mengikutinya saat bersama Rain. Selanjutnya teman-teman Cloudy berbondong-bondong datang serta menghampiri posisinya.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Ether seraya menyentuh pundak milik Cloudy. Orang yang ditanya hanya sanggup mengangguk pelan tanpa ekspresi.
“ke mana Rain pergi?” Saat ini Ether seperti mengintrograsi teman satu fakultasnya.
“Aku tidak tahu ke mana dia pergi karena pria yang bersamanya menyuruhku untuk tidak mengikutinya,” jelas Cloudy dengan penuturan terbata-bata.
“Lalu siapa yang membawa Rain pergi itu?” Pertanyaan selanjutnya sudah terlontarkan. Cloudy menggelengkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh Ether tadi.
“Ya sudah sekarang kita kembali ke penginapan.” Begitu intruksi dari Ether sebagai ketua. Orang-orang sudah melenggang pergi menuju penginapan kecuali Cloudy dan Skiva, “Ether, kita akan berjalan-jalan sebentar di sini. Nanti kita akan menyusul,” teriak Skiva karena jarah yang sedikit jauh.
“Baiklah. Jangan terlalu lama,” ujar Ether berteriak tak kalah keras agar terdengar oleh dua orang yang sedang berdiri berdampingan.
Cloudy dan Skiva mulai berjalan menapaki bibir pantai serta pasir yang diinjaknya dan sering kali air pantai mencium kaki mulus keduanya. Namun, sejurus suasana menjadi senyap. Tanpa ada dari keduanya yang ingin memulai perbincangan.
Langkah kakinya semakin melambat lalu mereka berhenti sebentar, “Mana janjimu?” Cloudy bertanya pada lawan bicaranya.
Skiva mengeluarkan satu amplop cokelat yang entah apa isinya, “Tenang saja. Aku takkan mengingkari janjiku.” Ia pun menyodorkan amplop tersebut pada Cloudy. Perasaan Cloudy tiba-tiba merasa tidak enak hati dicampur dengan kebahagiaan yang sesaat.
“Kau kenapa? Seharusnya kau bahagia sepertiku bukan cemberut seperti itu.” Skiva menyenggol lengan Cloudy, sedangkan Cloudy tetap dengan wajah ditekuknya.
“Aku hanya merasa tidak enak hati saja.” Begitu curhat Cloudy pada teman di sebelahnya. Mereka melanjutkan arah pijakkannya tanpa ada percakapan di dalamnya.
Dalam perjalanan langkahnya Cloudy sedikit mengintip isi dari amplop cokelat yang diterimanya dari Skiva. Lalu ia juga sedikit mengulas senyum tipis nan samar. Cloudy memasukkan amplop tersebut ke dalam saku celananya.
“Jika aku ingin meminta bantuanmu lagi, apakah kau akan menolongku lagi?” tanya Skiva di sela-sela kesunyian yang hinggap.
Cloudy menoleh ke arah Skiva kemudian tersenyum manis, “Tentu saja.” Lalu dibalas tatapan hangat dari kawannya itu. Cloudy meluruskankan kembali pandangnnya, “Aku akan membantumu dengan senang hati,” imbuhnya pasti.
“Ayo pulang ke penginapan sebelum ada yang curiga,” ajak Skiva sembari menggandeng tangan Cloudy sebagai temannya itu.
Langkah kaki keduanya berjalan saling beriringan seumpama dua sejoli yang sedang memadu asmara. Sesekali mereka berjingkrak-jingkak ibarat anak kecil yang riang lantaran diberi es krim ataupun permen lolipop.
☔☔☔
Cianjur, 18 September 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
My Rainy
FantasyHighest Rating #254 - Fantasy (2 Oktober 2018) Takut akan rinai-rinai hujan serta takut air dalam jumlah banyak adalah phobia yang dialami oleh seorang gadis bersurai pendek sebahu dengan warna hitam legam. Namun, perlahan ketakutan itu mulai pupus...