Tujuh hari yang lalu, hujan turun tanpa henti. Sepertinya langit benar-benar berduka akan suatu peristiwa yang menimpanya. Luka yang didapatnya begitu dalam dan sukar untuk memperoleh penawarnya.
Mungkin hal itu juga yang sedang dialami oleh gadis yang termenung di dekat jendela dengan pakaian berantakan. Tubuhnya benar-benar tidak terurus lagi.
Selama seminggu itu pula Rain tidak keluar dari rumahnya. Ia bermalasan-malasan di balik kemul selimut yang menemaninya.
Benda canggih yang diletakkan di atas nakas terus berdering serta bergetar memecahkan kekosongan. Beberapa panggilan masuk tak terjawab itu sengaja tak dihiraukan. Panggilan itu berasal dari bos, Cloudy, dan Kanopy.
Ke mana dia? tuturnya di dalam batin dengan kerisauan yang ada.
Siapa yang ia tanyakan keberadaannya? Ya, Welkin. Selama seminggu itu pula Welkin pergi tanpa kembali dan tanpa jejak.
“Aku harus mencarinya,” ujar Rain dan meninggalkan kursi yang didudukinya.
Rain berjalan menuju dapur lalu memanggil hewan peliharaannya, “Kuchi! Kuchi!”
Kuchi tak kunjung datang juga. “Kuchi! Kuchi!” teriaknya lebih keras dari sebelumnya.
Ia sedang melihat Kuchi sedang memakan sisa makanannya kemarin. “Di sana kau rupanya,” kata Rain dan mendekatinya. “Ah! Maafkan aku. Aku lupa memberimu makan,” lanjutnya lalu menambahkan makanan hewan ke dalam wadah.
“Kuchi, menurutmu dia pergi ke mana lagi?” tanya Rain terlihat tidak waras.
“Dia akan kembali ‘kan?” katanya melanjutkan.
“Dia tidak akan pergi untuk selamanya ‘kan?” Pertanyaan selanjutnya dilontarkan.
Kuchi menengadahkan kepalanya lalu melihat tuannya yang sudah berderai air mata. Aliran sungai di kedua tulang pipinya tak dapat ditahan lagi. Isak tangisnya terus saja terdengar dan tubuh yang bergetar hebat.
“Meow ... meow .... “ Kuchi berekspresi menggemaskan untuk sekadar menghibur tuannya yang sedang bersedih.
Rain mengusap bercak-bercak air mata, tapi hidungnya sudah memerah dan lengkungan ke bawah pada bibir. “Aku tidak menangis, Kuchi!” elaknya kemudian.
“Ke mana lagi aku harus mencarinya?” Ia terduduk lemah di atas lantai dingin.
Kuchi juga merasa apa yang dirasakan oleh tuannya. “Meow ... meow .... “ Tak ada suara lagi selain itu.
“Aku tidak bisa pergi menuju langit ke tujuh karena aku tidak punya kekuatan,” gumamnya dengan pelafalan bergetar.
Rain menggigit bibir bagian bawahnya dan kembali menghapus jejak air mata yang tanpa sepengetahuaannya mengalir deras. Kemudian angkat kaki menuju kamar.
Lalu merampas ponsel yang sudah didiamkannya tanpa berdosa. Kedua ibu jarinya bermain gencar di atas layar yang menyala. Seusai menemukan satu kontak ia mengklik tombol berwarna hijau.
“Hallo, Cloudy!” panggil Rain sesudah mendapatkan suara di balik ponselnya.
“Iya. Ada apa? Kau baik-baik saja? Kenapa kau tidak masuk kuliah? Aku mengkhawatirkanmu,” ujar Cloudy menyampaikan pertanyaannya.
Rain memainkan napasnya. “Apa kau tahu di mana Welkin berada?” tanya Rain kemudian dengan nada datar.
Tak terdengar suara di seberang sana. Mungkin Cloudy sedang berpikir sejenak. “Aku tidak tahu. Bukankah dia tinggal di rumahmu? Seharusnya dia bersamamu.”
Ah, benar juga. Cloudy tidak tahu lebih tentang Welkin, kata Rain dalam hatinya.
Ponselnya masih menempel di telinga. “Coba kau tanyakan pada Kanopy. Mungkin dia ada di rumah keluarganya,” tambah Cloudy memberi saran.
“Baiklah. Aku akan menghubunginya. Terima kasih.” Rain menutup sambungan telepon tanpa mendengarkan salam penutup dari lawan bicaranya.
Jari-jarinya kembali menari di atas layar ponsel untuk mencari nomor Kanopy di antara deretan nomor yang lainnya. Walaupun Rain tak memiliki kontak yang banyak di ponselnya.
“Hallo, Kanopy! Ini aku,” ujarnya dengan aksen tergesa-gesa.
“Aku tahu. Ada apa, Rain?” tanya Kanopy merasa bingung di balik sana.
Rain memindahkan ponsel ke telinga sebelah kirinya kemudian berbicara, “Apakah di sana ada Welkin?”
Lagi-lagi lawan bicaranya terdiam tak menanggapi. Setelah beberapa detik kemudian Kanopy kembali berkata, “Tidak ada. Memangnya kenapa?”
Rain duduk di pinggir kasur karena merasa tubuhnya sudah lemas karena mendengarkan kalimat yang baru saja menghantam dadanya.
“Hallo, Rain? Kau masih berada di sana? Kau baik-baik saja ‘kan?” Nada bicara Kanopy terdengar gelisah.
Tut-tut-tut!
Rain sengaja mengakhiri panggilan secara sepihak dan menurunkan ponselnya. Benda dengan harga mahal itu terjatuh ke lantai dan hancur berantakan. Layarnya pecah, batu baterainya terlepas, dan beberapa bagiannya juga berhamburan.
“Dia pergi untuk selamanya dan tidak akan pernah kembali lagi,” gumamnya ketika mengingat memori yang melintas di pikirannya.
Pertahanan air matanya tak dapat dibendung lagi. Kini ia mengizinkan tetesan air mata itu mengalir lagi dengan perasaan bercampur aduk pula. Namun, rasa sedih lebih mendominasi hatinya.
☁ Flashback On ☁
Welkin dan Rain sedang bersantai di ruang tamu ditemani dua cangkir cokelat panas menambah kehangatan ketika berdialog. Suasananya juga cukup mendukung untuk suasana romantis.
“Kenapa kau menatapku seperti itu?” kata Welkin seusai menyeruput cairan berperisa manis itu.
“Aku ingin bertanya,” jawab Rain menyangga kepala dengan kedua tangannya.
“Bertanya tentang apa?” ujarnya lalu kembali menyesap cokelat panasnya.
Rain terdiam sejenak lalu memerhatikan kuku-kukunya yang telah dipoles oleh pewarna kuku. “Kau akan pergi selamanya setelah kesalahanmu terbayar semua?”
Welkin mengangguk. “Kenapa?” tanyanya heran.
“Lalu bagaimana saat kau menghilang untuk selamanya?” Rain meminum cokelat panas itu sambil menunggu jawaban dari Welkin.
“Kenapa kau bertanya seperti itu?” Welkin kembali menyelidiki.
Tiba-tiba keadaan menjadi canggung. Mungkin karena mereka pergi ke pikirannya masing-masing. Mereka seperti kehabisan kosakata untuk melanjutkan percakapan ini. Di dalam kerongkongannya tertahan.
“Sudahlah, lupakan. Ini tidak penting,” tutur Rain dan beranjak dari duduknya berniat pergi menuju dapur untuk menyimpan gelas.
Namun, langkah kakinya berhenti ketika mendengar perkataan dari Welkin.
“Ketika hujan datang amat deras dan terjadi selama semalaman dengan suasana dingin serta menakutkan lalu diiringi guntur yang berlomba-lomba untuk merusak gendanng telinga, maka .... “ Ia tak sanggup melanjutkan perkataannya.
Rain juga masih berdiri membelakangi pria yang sejak tadi menunduk. Lalu melangkah mundur dan duduk kembali di sofa yang sempat ditinggalkan.
Gadis berbalutkan jaket tebal itu tetap menunggu dengan sabar atas kelanjutan ucapan dari Welkin.
“Maka, aku pergi untuk selamanya karena dosaku telah terbayar,” tambahnya dengan mimik wajah sedih.
Rain mulai memahami perbincangan ini. Maka suatu ketika ia akan merasa kesepian lagi karena ditinggalkan oleh orang yang amat disayangi dan harus menyiapkan hatinya pula agar tetap tegar.
☁ Flashback Off ☁
Rain berjalan gontai ke arah meja riasnya. Lalu berdiri tanpa bergerak sedikit pun dan pandangannya tertuju pada laci kecil itu. Tangan kirinya dibiarkan bergerak untuk membuka laci.
Seketika matanya yang berair terbuka lebar karena tak dapat menemukan liontin dengan cantelan payung kecil itu di dalamnya. Kemudian ia mengeluarkan seluruh barang yang ada di sana. Namun, ia tak kunjung menemukannya.
“Arrghhh!” Rain frustasi dan semakin mengacak-acak rambutnya dengan gerakan kasar. Hingga beberapa helaian rambutnya rontok begitu saja.
“Kenapa harus seperti ini?” umpatnya bertambah kesal.
Rain meletakkan pantatnya di kursi dekat dirinya. “Kenapa kau harus pergi tanpa pamit?” ucapnya sambil berteriak keras memecahkan kesenyapan.
“Apakah karena kau datang tanpa menyapa? Jadi, kau pergi tanpa pamit?” Lalu Rain menyeringai pasti.
Rain mengambil ikat rambut dan surai pendeknya sudah tertara rapi. Selanjutnya mengusap kasar pipi yang sedari basah. Namun, pikirannya kembali melayang pada janji yang sempat didengarnya dari lelaki yang sudah hirap selamanya.
Si pria berjanji akan datang sebagai hujan di lain waktu. "Walaupun aku datang sebagai hujan, tapi aku akan senantiasa mempersembahkan senyum hangatku." Begitulah ikrar yang pernah si pria misterius ucapkan pada si gadis yang takut air.
☔☔☔
KAMU SEDANG MEMBACA
My Rainy
FantasíaHighest Rating #254 - Fantasy (2 Oktober 2018) Takut akan rinai-rinai hujan serta takut air dalam jumlah banyak adalah phobia yang dialami oleh seorang gadis bersurai pendek sebahu dengan warna hitam legam. Namun, perlahan ketakutan itu mulai pupus...