📖 Happy Reading 📖
Kakinya berjalan gontai menuju pintu keluar. Mengabaikan beberapa orang yang tengah menikmati hidangan penutup. Raut wajah penuh rasa lelah karena pekerjaan paruh waktu yang ia kerjakan di salah satu kafe terdekat dengan rumahnya.
Dia benar-benar hidup mandiri setelah kepergian orang tuanya yang begitu misterius. Menghilang tanpa pamit dan tanpa meninggalkan jejak bahkan tak kasat mata. Tangan kirinya diayunkan dan menyentuh knop pintu kaca tebal dengan lemasnya ia melebarkan pintu itu.
Tempo langkahnya amat lamban. Dia hanya bertahan menghadapi hidup bersama dunia yang menurutnya membosankan. Tiba-tiba ada seekor kucing yang menghalangi perjalanan kakinya.
Sekadar acuh tak acuh. Padahal kucing tersebut sudah berekspresi seimut mungkin. Gadis yang memakai mantel berwarna abu-abu monyet melewati keberadaan kucing itu tanpa ada rasa empati.
“Kau mengikutiku sedari tadi?” Ia mencoba mengakrabi kucing jalanan itu. Tanpa disadari ternyata kucing itu mengekor di belakang gadis berkaki mulus.
“Meow ... meow ....” Hanya itu yang keluar dari mulut kucing.
“Ayo masuk! Sepertinya kau lapar,” katanya sembari membuka pintu. Sudah biasa bagi dirinya tak ada yang menyambut saat pulang bekerja. Hidup sendiri memang terkadang melelahkan.
Dia langsung berjalan menuju dapur minimalis dengan suasana klasik cocok bagi penikmat seni pula. Direnggutnya seonggok daging sapi dari kulkas yang masih segar kemudian meletakkannya di atas piring. Itu bukan untuk dirinya, tetapi untuk kucing yang entah dari mana asalnya. Kucing melahapnya dengan rakus.
Telapak tangan gadis itu mengusap-usap lembut bulu kucing berwarna hitam dan didominasikan warna putih. “Siapa namamu?” Ia sedang bertanya pada kucing yang sedang memakan daging. “Meow ... meow ....” Jawabannya tetap sama dengan jawaban beberapa menit yang lalu.
“Hanya itu yang bisa kau ucapkan?” Gadis bermata kecil itu menaruh rasa kesal di benaknya. “Ah ... Kuchi. Aku memberimu nama Kuchi. Diambil dari kata ‘kucing’ dan aku menghilangkan kata ‘ng’-nya. Kau menyukainya, Kuchi?” Tangannya masih mengelus-elus bulu yang kotor.
“Di mana tuanmu? Dia meninggalkanmu di pinggir jalan?” ucap gadis itu menggendong kucing kepangkuannya. Kemudian ia duduk di sofa empuk. “Namaku Rain dan sejak ini pula aku akan menjadi tuanmu. Jadilah hewan peliharaan yang penurut, Kuchi!” Ia menatap kucing dengan bola mata yang berwarna hijau gelap, tajam, serta menakutkan bagi siapa saja yang melihatnya.
Ini sudah hampir larut malam kadang kala penyakit insomnia-nya kambuh di waktu yang tidak tepat. Rain memilih membuka pintu kulkas lalu menyabet satu kaleng bersoda.
Manik matanya tertuju pada jendela dan mendekat. Pemandangan yang luar biasa. Ada berjibun bintang kejora bertaburan di langit yang hitam kelam. Namun, sayangnya hal ini mampu ia rasakan seorang diri.
☔☔☔
Sorotan sang surya menyelinap melalui celah-celah jendela berhasil mengusik dan membangunkan gadis yang masih memeluk guling serta berkemul dengan selimut tebalnya.
Lalu alarm mulai meringkik nyaring memasuki gendang telinga. Dengan malas pula ia menyibakkan selimut dan melangkah dengan lunglai mendekati keberadan jendela lalu sedikit menggeser gorden ke arah kanan. Kuncian di jendela juga dibuka serta mempersilakan udara pagi untuk bertamu ke kamar.
Perutnya sudah merasakan sesuatu yang aneh. Cacing di dalam perut sedang berperang memperebutkan sisa makanan kemarin sambil menunggu asupan selanjutnya.
Rain memasak mie instan dengan terampil. Ia tak begitu mahir dalam memasak. Lalu Kuchi menyambangi keberadaan tuannya dan bergelendotan di sela-sela kaki milik Rain.
“Eoh ... Kuchi! Kau pasti lapar juga. Sebentar aku akan mengambil ikan untukmu,” tutur Rain sembari beranjak dari duduknya.
“Jika aku memiliki uang lebih, aku akan membelikanmu kandang yang bagus dan makanan lezat khusus untukmu. Tunggu akhir pekan saat mendapatkan upah paruh waktu,” ujarnya dan melanjutkan menikmati sajian mie instan.
Kini Rain sudah berpenampilan rapi dengan balutan t-shirt panjang dan celana jeans berwarna biru navy dipadukan dengan sepatu kets menambah kesan elegan pada tubuhnya.
Rambut pendek sebahu dibiarkan terurai dan menyematkan jepit berbentuk pita serta sedikit polesan di wajahnya yang cantik jelita. Rain sudah siap akan pergi ke kampus pagi ini.
Biaya kuliahnya ia tanggung sendiri karena benar-benar tak memiliki kerabat dekat.
Begitu Rain membuka pintu sudah disuguhkan dengan peristiwa yang dibencinya. Hujan, hari ini memang hujan. Meskipun tadi sang mentari menyapa di balik gumpalan awan putih, tetapi sekarang langit kembali berduka. “Mengapa hari ini harus hujan?” Rain balik kiri dan menutup pintu rapat.
Karena guyuran hujan itu ia harus melewati hari yang begitu panjang dan harus membawa benda yang sering disebut payung. Menurutnya benda ini sangat merepotkan. Rain kembali berjalan menuju pintu dan dilihatnya sekarang masih rinai-rinai hujan yang terjun amat lebat.
“Apa ini?” Rain menemukan sesuatu di ujung sepatunya yang sempat tertendang tak sengaja. “Mengapa kotak ini ada di sini? Saat aku membuka pintu pertama kali kotak ini belum ada.” Pikirannya dinaungi berjuta pertanyaan.
Payung yang dipegangnya sebentar disandarkan di dekat pintu lalu kedua tangannya meraih kotak yang entah apa isinya. Kedua matanya berkeliaran menilik-nilik kotak misterius itu.
“Jangan-jangan isinya bom.” Rasionya berasumsi negatif. Rain mengangkat kepala lalu lehernya setengah berotasi. Ke kiri lalu kanan, ke kanan lalu ke kiri. Tak ada objek yang dapat memberikan penjelasan atas keberadaan kotak misterius di depan pintu rumahnya.
Wanita itu membawa kotak tersebut ke kamar dan diletakkan di nakas dekat ranjang. Mendadak Kuchi datang memberikan tatapan bersinar.
“Ada apa, Kuchi?” tanya Rain setelah berjongkok untuk sekadar bercengkerama bersama kucing kesayangannya. “Meow ... meow ....” Lagi-lagi hanya itu yang terdengar oleh telinganya.
Mengingat di pagi yang murung ini Rain harus menyabet jaket tebal di almari. Tak ada banyak koleksi pakaian mahal atau pun bagus. Ia hanya memilih dan memakai busana yang menurutnya nyaman dikenakan.
Sejenak Rain berdiri di depan cermin akbar dan mampu memantulkan bayangan dirinya sendiri. Gadis itu sedikit merapikan pakaian lalu menyunggingkan senyum manis yang dipersembahkan untuk dirinya sendiri dan menggendong ransel.
Ia berjalan menuju pintu keluar lagi untuk ketiga kalinya dalam kurun waktu yang singkat. Kendalanya hujan yang deras dan harus mengambil payung serta kotak misterius yang tampaknya aneh.
Kuchi mengikuti di belakang tuannya sembari bersuara tak jelas apa artinya. “Kau diam saja di sini. Tunggu kepulanganku malam dan akan membawa makanan untukmu.” Saat ini Rain seperti orang gila yang bercakap-cakap bersama seekor kucing betina.
Selanjutnya Rain pergi keluar untuk menaklukkan air hujan yang datang berbondong-bondong. Dengan terpaksa pula ia harus merekatkan jaket tebal untuk memberikan kehangatan di seluruh tubuhnya yang mungil, tapi terlihat seperti model.
Payung yang melebar dan dapat melindungi dirinya dari tetesan air hujan sudah basah kuyup. Rain pergi menuju halte dan menunggu kedatangan bus yang akan mengantarkannya ke kampus.
☔☔☔
Cianjur, 11 September 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
My Rainy
FantasíaHighest Rating #254 - Fantasy (2 Oktober 2018) Takut akan rinai-rinai hujan serta takut air dalam jumlah banyak adalah phobia yang dialami oleh seorang gadis bersurai pendek sebahu dengan warna hitam legam. Namun, perlahan ketakutan itu mulai pupus...