📖 Happy Reading 📖
Gadis dengan bulu mata lentik bak memakai bulu mata palsu sedang berkutat dengan buku pelajarannya. Sesekali ia mengetik di atas keyboard yang sudah tak terlihat huruf-hurufnya karena sering digunakan. Seharian ini Rain hanya fokus serta konsentrasi pada tugas kuliah yang amat menggunung layaknya Gunung Himalaya.
Mendadak dibagian perutnya merasakan sesuatu yang aneh. Terdengar suara-suara cacing yang sedang bernyanyi serta mengemis meminta kudapan yang sudah lama tidak masuk ke dalam perut. Lantas telapak kakinya berpijak menyusuri lantai dingin lalu menuju dapur.
Ia mulai mempersiapkan bahan dan juga alat masaknya. Kali ini ia akan memasak telur dadar. Masakan yang sederhana, tetapi tetap memuaskan selera makannya. Rain membuka pintu kulkas untuk mengambil telurnya kemudian menutupnya kembali.
"Aaaaaaaaaa!!" Rain berteriak kaget karena kedatangan seseorang yang tiba-tiba. Jantungnya berdegup sangat kencang seperti meronta-ronta ingin keluar dari persemayamannya.
"Apa yang kau lakukan?" Pria yang baru saja datang dan mengejutkan Rain dengan santainya bertanya seperti itu. Sungguh tidak mengingat dosa yang baru saja ia lakukan.
"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Datang tiba-tiba lalu mengagetkanku sesuaka hati dan bertanya dengan santainya," oceh Rain begitu panjang kali lebar. Mungkin beberapa menit lagi akan berbusa.
"Ya sudah, maafkan aku. Aku tidak bermaksud ingin mengagetkanmu." Welkin sedikit mem-pouty-kan bibir tipis menggodanya.
Rain beranjak menuju kompor dan meletakkan wajan di atasnya serta memasukkan minyak goreng kemudian menyalakan api sedang. Sembari menunggu minyaknya panas ia memecahkan keluar dan memasukkannya ke dalam mangkuk lalu menambahkan sejumput garam serta mengaduk-aduknya.
Kini Rain bersiap memasukkan telur yang sudah dikocok ke atas wajan, namun mendadak cipratan minyak panas mengenai punggung tangannya. Rain langsung menjerit histeris seraya menjatuhkan mangkuk yang terbuat dari keramik dan otomatis pecah kemudian berhamburan ke mana-mana.
Rain dengan perasaan takut menjauh dari kompor dan tak sengaja bertabrakan dengan Welkin yang sedang berdiri mematung. Mulanya Welkin akan menyaksikan Rain beraksi ketika memasak, namun insiden diluar dugaan terjadi.
Rain sukses tenggelam dalam pelukan pria berbalutkan busana hitam. Kedua tangan yang merangkul tubuh kekar Welkin bergetar dahsyat serta pijakan kaki yang mulai melemas.
"Sebentar aku akan mematikan kompornya dulu," ucap Welkin selintas melepaskan pelukan itu selanjutnya mematikan kompor.
"Kau tidak apa-apa?" Welkin berjalan sembari membopong Rain agar duduk di kursi.
Perlahan Rain duduk dengan tubuh yang masih bergetar, "Punggung tanganku sakit." Ia sedikit meringis kesakitan akibat cipratan minyak goreng yang panas itu.
"Di mana kotak P3K?" tanya Welkin dengan raut wajah cemas. Jari telunjuk Rain diangakat dan mengarah ke nakas kecil dekat kulkas. Segera Welkin beranjak untuk mengambil barang yang dimaksud.
Beberapa detik kemudian, Welkin sudah bersimpuh sambil membuka kotak P3K untuk mengobati luka ringan pada punggung tangan milik Rain. Keterampilan tangannya begitu gesit saat proses pengobatan. Kedua bola mata Rain diam-diam mengamati mimik wajah yang dipersembahaan oleh lelaki berparas sempurna itu.
"Sekarang kau merasa baikan?" Welkin menonggakkan kepalanya untuk berpapasan langsung dengan Rain. Alhasil Welkin menangkap basah kelakuan Rain barusan. Sejurus Rain mengalihkan pandangannya dan berpura-pura berdeham untuk menghilangkan rasa kikuknya, "Ya. Aku sudah merasa baikan. Terima kasih," ucapnya dengan pelafalan hampir tak jelas.
"Kau tetap diamlah di sini. Aku akan memasak untukmu," titah Welkin seraya berdiri lalu melangkahkan kakinya mendekati kompor dan membersihkan pecahan dari mangkuk tadi.
Rain hanya termangu memandang pria berkarisma itu. Jika dipikir-pikir Welkin termasuk pria idaman baginya. Seusainya, Welkin menghidangkannya di atas meja makan. Sajian yang begitu menggugah selera dan dapat meneteskan air liur bahkan sebelum memakannya.
Gadis itu segera menikmati makanannya. Sendok yang dipegangnya perlahan dipegang dan akan segera memasukkan satu sendok nasi ke dalam rongga mulutnya. Akan tetapi, tindakan tersebut urung ia lakukan lantas menyimpannya kembali.
Lehernya berputar dengan mata berkeliaran mencari sesuatu yang belum ia temukan, "Ke mana Kuchi? Seharian ini aku belum melihatnya," tutur Rain seperti bertanya pada diri sendiri.
"Mungkin sudah mati." Begitu entengnya Welkin mengatakan sepatah kalimat terlarang itu dari mulutnya yang pedas ibarat cabe rawit.
Kedua bola mata Rain tiba-tiba saja melotot ke arah Welkin seakan-akan siap terjun dari kelopak matanya. Welkin yang melihat itu dan menyadari bahwa perkataan yang baru saja ia lontaroan begitu kasar serta dapat mengundang harimau ganas.
"Mungkin sedang tidur maksudku." Welkin memperbaiki ucapannya dengan hati-hati.
Rain mengangkat pantatnya dan mulai berjalan tanpa arah tujuan yang penting bisa mendapatkan kucing kesayangannya sambil berteriak memanggilnya, "Kuchi! Kuchi! Kau di mana?"
"Kau sudah makan? Ayo makan sekarang! Aku sudah menyiapkannya." Rain seperti mengkhawatirkan anak kecil saja.
Sekarang ia sedang berjongkok lalu melihat ke kolong meja ataupun kursi yang berada di ruang tamu. Namun, Kuchi tidak ada di sana. Kini ia berjalan menuju kamar milik Welkin.
"Mana mungkin kucing itu masuk ke dalam kamarku. Dia selalu aku usir jika datang berkunjung," kata Welkin yang menghampiri keberadaan Rain.
"Aku akan memeriksanya terlebih dahulu," sahut Rain dan berjalan memasuki persemayaman pria yang menumpang di rumahnya itu.
Ia kembali memanggil-manggil Kuchi dengan teriakan yang keras, "Kuchi! Kuchi! Datanglah! Kuchi, kau bersembunyi di mana?" Rain mengintip ke kolong ranjang.
"Kuchi, sedang apa kau di sana?" Akhirnya Rain menemukan kucing peliharaannya dalam keadaan tidak baik. Tubuhnya begitu lemas saat disentuh.
"Yak! Jangan diam saja seperti itu! Cepat keluarkan Kuchi dari kolong ranjang!" teriak Rain memarahi pria yang terpaku di ambang pintu.
"Kau tahu 'kan kalau aku alergi bulu kucing. Aku akan bersin-bersin saat menyentuhnya," tukas Welkin tak berniat menolong gadis malang tersebut.
Kemudian Rain masuk ke kolong ranjang dengan susah payah pula ia mengambil Kuchi dengan tangannya yang pendek. Namun, ia berhasil melakukannya dengan baik. Ia memangku Kuchi dengan perasaan bercampur aduk.
"Saat aku pergi ke pantai, berapa kali kau memberi makan pada Kuchi?" tanya Rain dengan tatapan tajam. Lawan bicaranya yang berada di tempat yang sama beberapa menit lalu berkata, "Satu kali."
Gadis dengan mimik wajah merah padam itu mendekati Welkin, "Kau kejam sekali padahal Kuchi hanya seekor kucing yang tak tahu apa-apa." Rain menyenggol bahu milik Welkin dengan keras hingga sanggup memundurkan satu langkah kakinya.
Rain si pemilik kucing bernama Kuchi itu sudah keluar dari rumah untuk menuju ke dokter hewan, namun ia sama sekali tak memiliki pengalaman saat Kuchi dilanda sakit. Langkah kakinya tetap ia langkahkan mungkin saat dalam perjalanannya menjumpai ide.
"Ah ... Kanopy! Dia seorang dokter hewan. Aku pernah mendapatkan kartu namanya." Rain merogoh saku pada pakaiannya, tapi tidak berhasil mendapatkan sesuatu yang diinginkan.
Rian menepuk jidatnya, "Ah ... Aku sudah mengembalikannya tempo lalu ketika di cafe." Sejenak ia duduk sembari menunggu kedatangan bus. Pikirannya terus berputar-putar untuk menyelamatkan Kuchi yang sudah sekarat.
Dia memejamkan matanya berharap mengingat alamat di mana Kanopy bekerja, "Ah ... Aku sudah mengingatnya sekarang," gumamnya dan beruntung saat itu pula bus melaju dari arah kanan dari tempatnya duduk.
Buru-buru ia menaiki bus sembari memeluk Kuchi dengan erat. Rasa simpati yang melekat pada diri Rain sungguh hebat dan patut diacungi jempol.
"Bertahanlah Kuchi! Kita akan segera sampai." Rain mengelus-elus bulu kucing kesayangannya dengan perasaan takut yang merasuki otaknya.
☔☔☔
Cianjur, 19 September 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
My Rainy
FantasyHighest Rating #254 - Fantasy (2 Oktober 2018) Takut akan rinai-rinai hujan serta takut air dalam jumlah banyak adalah phobia yang dialami oleh seorang gadis bersurai pendek sebahu dengan warna hitam legam. Namun, perlahan ketakutan itu mulai pupus...