Bab. 18 Pulang Kampung

190 13 0
                                    


Jika berkenan, mohon beri bintang ya.... biar semangat lanjut lagi.
Terimakasih. 😁

Senja bergulir berganti gelap. Jakarta sudah menampakkan aura hingar-bingarnya. Para lelakon yang terbiasa mengais rezeki di malam hari mulai berjibaku dalam kesibukan. Menggelar lapak, membangun tenda, dan sebagian mematut diri sebaik mungkin.

Rindi melangkah satu-satu menuruni anak tangga. Di tangannya sebuah tas jinjing berukuran sedang  penuh sesak dengan beberapa potong  pakaian baru sebagai oleh-oleh untuk keluarga yang dibelinya kemarin.

Wajahnya merayapi bangunan tempatnya bermukim selama di kota metropolitan. Ada banyak mimpi yang harus dicapai, dan mungkin baru seujung kuku saja yang terpenuhi. Meski baru secuil, namun perjuangan yang dilakukan penuh dengan peluh berdarah. Tatapannya berhenti di satu pintu kamar.

Lelaki berambut ikal, masihkah wajah yang menarik rindu begitu kuat itu melirik kepergiannya. Sejak tadi gadis itu selalu mengecek layar ponselnya, barangkali ada pesan masuk yang teramat ditunggu. Sekadar mengucapkan, hati-hati di jalan. Disusul pesan lain yang akan sering diterima hari itu,
Sudah sampai di mana?

Jangan lupa barang bawaannya dicek lagi.

Salam sama Bapak, Ibu juga adik-adik.

Lelaki itu, mister bubble-nya.
Jika ada bagian hidup yang teramat menyenangkan selama di Jakarta, adalah mengenal lelaki bersenyum khas itu. Sikap dan perhatiannya seolah menjadi pengobat pilu. Tapi kejadian beberapa malam lalu, melumpuhkan segala kenangan manis. Gadis itu tak pernah menyisihkan sedikit pun prasangka bahwa lelaki berwajah teduh itu bisa melakukannya.

Ingin rasanya mengetuk pintu kamarnya, meminta keikhlasan pada waktu yang telah tercurah selama ini untuknya. Juga mohon maaf atas segala laku yang membuat hati tak berkenan. 

Ah, Rindi, seperti tak akan kembali kesini saja, masih ada kesempatan memperbaiki komunikasinya dengan lelaki bermata cokelat itu. Masih banyak PR yang harus diselesaikan sepulang dari kampung. Dia harus keluar dari kungkungan yang membelenggu hidupnya. Membuat orang terdekatnya merasa tak pantas menyanding gelar teman dekat.

“Rin…” panggil Nunik yang sudah berdiri di samping mobil milik kekasihnya. “yuk! Takut ketinggalan bus.”

Rindi terkesiap. Buru-buru langkahnya mendekati sumber suara.

Di dalam mobil, Rindi kembali memandang pintu kamar Denis. Masih berharap bayang wajah lelaki itu muncul walau sekelebat.

Keinginannya terkabul, gadis itu benar-benar melihat Denis sebelum ia kembali ke kampung halaman. Tapi Denis malam itu tidak sendirian. Dengan penuh perhatian lelaki itu memapah seorang gadis turun dari kuda besinya, lalu perlahan menaiki anak tangga. Samar-samar, Rindi melihat gadis itu mengenakan jaket milik Denis.

Api cemburu seketika membakar dadanya. Beruntung, Nunik yang sedang serius ngobrol dengan kekasihnya tak menyaksikan adegan itu.

Kendaraan Jodi pun meluncur membelah gemerlapan lampu-lampu jalan ibu kota.

Perjalanan panjang yang akan dilaluinya malam ini adalah perdana dilakukan sendiri. Nunik hanya bisa mengantar sampai ke Pull DAMRI.

Gadis itu memilih berangkat malam bukan tanpa alasan. Dengan menggunakan bus milik pemerintah jurusan Bandar Lampung, ia tidak perlu bolak balik berganti kendaraan. Selain merepotkan, juga riskan untuk wanita yang berjalan sendirian. Dia mengantisipasi lebih dini dari kemungkinan terburuk yang terjadi di perjalanan.

Kendaraan meluncur menuju Gambir.

Setelah mendapat tiket, Rindi bergegas masuk ke bus dan menempati kursi sesuai dengan nomor bangku yang tertera di selembar kertas kecil itu. Nunik ikut naik, memastikan sahabatnya aman. Sambil menunggu keberangkatan, kedua gadis itu mengisi waktu dengan berbincang.

Seberkas Kasih Rindiani (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang