Bab. 15 Keputusan Gila

207 10 0
                                    


“Baiklah, sore nanti kita bertemu di Kafe Indah.”

Kalimat terakhir Rindi menyepakati pertemuan dengan lawan bicaranya di telepon.

Setelah mempertimbangkan semuanya masak-masak, gadis itu positif mengambil keputusan gila itu. Sepertinya memang sudah tidak ada jalan lain. Isi kepalanya sudah teramat keras berpikir, jika terus dipaksakan khawatir lepas kontrol.

Menjual keperawanan pada hidung belang.

Pada hakekatnya, tak ada seorang perempuan di dunia ini yang rela melakukan hal demikian, terlebih Rindi. Bertahun-tahun dijaga dengan penuh kehormatan, kini harus merelakannya demi mendapatkan sejumlah uang. Kesucian yang bakal diserahkan dengan penuh cinta pada lelaki yang berhasil merebut hatinya, kandas sudah.

Rindi duduk di bangku paling pojok sebuah kafe yang telah disepakati bersama. Segelas teh hijau berdiri tegar di hadapannya, gadis itu mengaduknya pelan dengan pipet yang menancap di sana. Dengan penuh penghayatan ia menyeruputnya.

Gadis berambut legam sebahu itu memandang sekeliling dengan pikiran berkecamuk. Rasa tak menentu yang lahir dari dalam dada membuatnya merasa tak nyaman menunggu. Jarum pendek di arloji yang melingkar di pergelangan tangan, baru saja bergeser hampir tepat di angka tujuh malam.

Sebentar lagi, Rin! Ya, sebentar lagi.

Gadis itu menggigit bibir. Mencoba menegarkan hati, berusaha sekuat mungkin untuk tidak lagi menangis. Dengan ujung jemari tangannya yang lentik, Rindi menghapus sepasang mata yang tampak menggenang, mencoba menutupi anggun wajahnya.

Menunggu adalah pekerjaan paling menjenuhkan. Mungkin pepatah yang pernah dikenal telinganya tak berlaku padanya. Sebab hari ini, Rindi menginginkan waktu terus terulur hingga hatinya benar-benar siap. Satu jam, satu hari, satu bulan, atau bahkan satu tahun. Tetapi terlepas berapa lama pun menunggu, seorang gadis takkan pernah siap kehilangan kesucian apalagi dengan cara yang sedemikian pahit.

Di antara gamang, gadis itu masih berharap barangkali di antara rentang waktu menunggu, keajaiban datang tak terduga. Seseorang dengan sukarela memberikan sejumlah uang tanpa meminta imbalan menyerahkan kegadisannya.

Hayalan Rindi semakin tidak masuk akal. Ada dua kemungkinan orang akan dengan sukarela memberikan sejumlah uang yang tidak sedikit. Pertama, dermawan. Kedua cinta. Tapi keduanya mustahil bisa ditemukan saat ini.

Rindi yakin, ini adalah takdirnya. Jauh sebelum ruh ditiupkan ke janin ketika dalam kandungan, ia telah menyepakati semua hal-hal baik maupun buruk akan siap dijalani. “Kadang aku berpikir, benarkah aku mengiyakan saat ditanya harus menghadapi situasi seperti ini?” Rindi menyesali.

Pikiran Rindi menerawang, masuk pada dongeng yang ia bangun sendiri. Tentang kisah-kisah yang datang dari berbagai penjuru, seperti dongeng Cinderella. Meski harus berlarut-larut dalam macam ujian berat yang datang silih berganti, namun pada akhir cerita seorang pangeran tampan datang menyelamatkan dan membawanya hidup bahagia selama-lamanya. Namun gadis itu kembali tersadar, hidupnya bukan dongeng.

Di balik pintu kaca setebal beberapa mili, seorang pria paruh baya berpakaian rapi menatap Rindi dari kejauhan. Ia tersenyum sesaat, lalu langkahnya berayun menuju meja paling pojok. Mendekati gadis yang tengah pilu.

Ya Tuhan, semoga ini hanya mimpi buruk…

Gadis bermata bening itu balas memandang dengan wajah yang kini terlihat pucat. Ingin rasanya bersembunyi di bawah meja, atau jika mungkin menghilang dalam sekejap, agar tidak perlu bertemu dengan laki-laki itu. Entah harus dijuluki sebagai malaikat penolong, atau iblis yang memanfaatkan situasi pelik harus menyebut lelaki pemenang lelang itu.
Rindi memejamkan mata, kembali menguatkan hati.

Seberkas Kasih Rindiani (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang