“Nik?” kalimat Rindi di sela memandang sahabatnya mematut diri di depan cermin.“Iya.” Nunik tetap fokus memoles kedua pelipisnya dengan blush on.
“Cuma menemani nyanyi saja, kan?”
Nunik menghentikan gerak tangannya. Menoleh ke arah lawan bicara. Menatap nanar ke wajah yang terlihat memelas itu.
Sudah ketiga kalinya Rindi menanyakan detil pekerjaan yang dilakoni teman kecilnya itu. Meski sebelumnya, kuat hatinya bertahan untuk tidak terpengaruh.
Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang. Tak bisa dipungkiri, Rindi memang sangat membutuhkan banyak uang untuk keperluan yang teramat mendesak.
Jika hanya ingin mempercantik diri, atau kebutuhan skunder lainnya, tentu ia akan sudi memanjangkan waktu untuk terus menunggu. Meskipun pada akhirnya pekerjaan yang didapat hanya menghasilkan recehan.
Tidak apa.
Tapi Noval? Juga Bapak?Mereka tak bisa berkompromi dengan penyakit yang terus menggerogoti. Bak bom waktu yang terus mengejar, terlambat sedikit saja akan menghancurkan.
Umur manusia memang hak prerogatif Tuhan, kapan pun bisa saja datang menjemput. Bahkan untuk orang yang sama sekali tidak sakit sekali pun. Tapi sebagai manusia, bukankah kita juga tidak boleh berpasrah pada keadaan. Menunggu tanpa harus berbuat sesuatu untuk merubah nasib. Salah besar.
Rindi mengatupkan bibirnya hingga terlihat hanya membentuk garis. Memejamkan mata kuat-kuat. Namun nyeri menusuk tak juga mau berguguran.
Jika niatnya baik, insya Allah dimudahkan jalannya.
Nunik mendekat dan duduk di sebelah Rindi. Sejurus kemudian mereka beradu pandang.“Harus lebih bisa menjaga diri dan tidak membuat tamu tersinggung.” Papar Nunik. “Tapi…” bibirnya sesaat terbungkam.
“Tapi, apa?” kejar Rindi.
Nunik tertunduk. Berat rasanya harus berbagi untuk kali ini. Namun demi kebaikan sahabatnya, ia harus berterus terang.
“Tapi aku gagal mempertahankannya.” Kalimat Nunik diikuti butiran bening menyembul dari mata.
Penghasilan yang didapat dari jasa menemani tamu-tamu yang haus akan hiburan memang lumayan. Namun resikonya pun sangat besar. Apalagi kebanyakan dari tamu yang datang merasa berkuasa karena telah membayar.
Terkadang mereka lupa tujuan awal mereka untuk bernyanyi. Dan seorang pemandu lagu hanya bertugas menemani, menservis mereka dalam batas kewajaran. Namun kenyataannya, terkadang bernyanyi adalah gerbang menuju hal-hal yang kebablasan.
Mereka yang berkantong tebal, tak segan-segan membayar lebih untuk mendapatkan lebih pula. Uang memang selalu menjadi primadona yang sulit dinafikkan.
“Sebaiknya kamu pikirkan ulang, Rin.” Suara Nunik melemah.
Rindi termenung.
Gadis itu bimbang.
Di sisi lain, ia tak bisa menunggu waktu lebih lama lagi. Sudah cukup panjang waktu ia menganggur di perantauan. Tak enak hati jika terus menerus menumpang pada Nunik. Dia harus punya penghasilan, untuk sementara waktu apapun bisa dikerjakan. Selagi tidak merugikan orang lain. Agar kepergiannya ke seberang pulau untuk mengubah nasib, tak sia-sia.Lalu…
“Aku ikut.”
“Kamu, yakin?” ulang Nunik.
Rindi mengangguk.
“Baiklah jika kamu mau mencobanya, aku akan beritahu bosku dulu.”
***
Selepas Isya, Denis berencana mengajak Rindi ke Monas untuk membahas lowongan pekerjaan. Suasana di sana tentu lebih asik. Sebab monas terlihat lebih indah di malam hari. Tubuh bangunan yang putih itu akan memancarkan warna warni bergantian. Merah, biru, ungu, hijau dan lainnya. Terkesan ceria.
Rindi pasti suka.
Masa iya sudah jauh-jauh datang ke Jakarta, tapi tak pernah mengunjungi monumen bersejarah ikonik kota Jakarta itu.
Sepulang kerja, Denis sengaja tidak membeli makanan. Biasanya, setelah mandi ia segera menyantap makan malam yang telah dibelinya sepulang kerja. Tapi khusus malam ini, ia akan mengajak Rindi mencoba kuliner khas Bandung yang tak kalah enak dengan yang ada di daerah asalnya. Mie Kocok Bandung yang tersedia di Lenggang Jakarta.
Hm, membayangkannya saja lelaki yang diam-diam menyukai wisata kuliner itu menelan liurnya sendiri. Hampir saja permen karet yang sudah tawar rasanya itu ikut tertelan. Buru-buru ia membuangnya ke kotak sampah di sudut balkon. Lalu kembali membuka kemasan makanan kenyal berorama lembut yang baru, dan mengunyahnya.
Pintu kamar sudah diketuk.
Denis menunggu beberapa detik. Ia kembali mengetuk dan memanggil nama Rindi. Tetap hening. Tak ada tanda-tanda seseorang yang merespon panggilannya dari dalam.
Denis kembali mengetuk, kali ini lebih keras.
Kembali lelaki itu memanggil. Dua, tiga, empat kali… tetap bergeming. Lalu ia mengeluarkan ponselnya, mencoba menghubungi Rindi. Beberapa kali terhubung, namun tidak diangkat.Kemana Rindi? Tidak seperti biasanya dia tidur lebih awal. Apa mungkin dia sedang keluar? Tapi kemana?
Kecamuk tanya dalam dada. Denis mencoba mengetuk pintu sekali lagi. Memanggil namanya lagi. Tapi Rindi tetap tak keluar.
Denis berinisiatif ketika melihat gorden berwarna biru sedikit tersingkap. Wajahnya melongok ke dalam ruangan, lalu berteriak memanggil. Sia-sia.Wajah Denis membayang sorot putus asa. Baru selangkah hendak menuruni anak tangga, suara seseorang tiba-tiba terdengar.
“Orangnya keluar tadi.”
Denis menatap wajah perempuan pemilik suara, di bawah tangga. Sepertinya penghuni baru, sebab belum pernah dilihat sebelumnya.
“Tau dari mana, Mbak?”
“Tadi pas mau turun cari makan, aku liat mereka berdua naik mobil merah.” Terang si wanita berbaju tidur sambil menaiki anak tangga.
Denis mematung. Keningnya terlihat berkerut.
“Oh, oke. Thanks ya.”
“Aku Dara…” perempuan yang rambutnya masih terlihat basah itu mengulurkan tangannya.
Sedikit ragu, Denis membalas uluran tangan dan menyebut nama. Beberapa detik jabatan tangan itu menggantung. Selama itu pula wanita yang mengaku bernama Dara mempertahankan senyum yang lebih dinilai lain oleh Denis.Denis cepat-cepat menarik tangannya. Senyum gugup dan sedikit terpaksa begitu kentara.
Lelaki itu pun melangkah dan segera mengeluarkan kuda besinya. Lalu pergi meninggalkan perempuan berambut basah yang tak bergeming sampai tubuh Denis menghilang dari pandangannya.
***
Bersambung...
![](https://img.wattpad.com/cover/153778645-288-k522087.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Seberkas Kasih Rindiani (TAMAT)
Fiksi RemajaSinopsis: Meski kuat hatinya menolak, Rindiani terpaksa harus menjalani profesi sebagai pemandu lagu pada sebuah tempat hiburan malam di Jakarta. Nasib mengantarkannya bergumul di dunia baru yang nyaris merenggut kehormatannya. Sekuat hati ia mempe...