CHAPTER 19

7.2K 396 152
                                    

Ini chapter terpendek yg pernah saya bikin. jadi jangan marah ya ... maaf lama gak update. sya bner-bner stuck.

bye

happy reading


[Vika's POV]

Gema takbir terus berkumandang. Hari ini hari terakhir bulan Ramadhan di tahun 2007. Jam sudah menunjukkan pukul setengah 7 sore. Aku, mama juga teteh sedang berkumpul di ruang tamu. Mama baru saja pulang dari kerjanya sebagai pembantu rumah tangga.

"ma, temen-temen di sekolah udah pada punya baju lebaran. Bahkan mereka pada punya baju lebaran 3 pasang, sepatunya juga bagus-bagus. Kok aku gak punya ?", kataku pada mama.

Mama menatapku dengan tatapan yang sulit kubaca. Lalu menunduk menatap lantai.

"mereka punya karena mereka semua punya uang, Vik !", kata tetehku.

"kita kan gak punya. Lihat aja, kita punya kue lebaran aja harus bersyukur. Walaupun ini pemberian majikannya mama. Lebaran itu gak harus punya baju baru. Yang penting diri kita yang baru, hati kita, kualitas ibadah kita. Semuanya harus kita perbaiki !", tambahnya lagi.

Aku menunduk mendengarkan apa yang dikatakan teteh. Benar juga, yang penting adalah diri kita yang harus menjadi seseorang yang baru. Lebaran tidaklah harus punya baju baru, sepatu baru atau apapun itu yang dibeli menggunakan uang banyak. Apalagi kami ini orang yang tidak mampu. Kemewahan nampaknya hanya khayalan dan impian bagi kami.

Akupun kembali ke ruang depan untuk menonton tv kartun kesukaanku. Namun setelah itu tak berapa lama ada seseorang yang mengetuk pintu rumah kami.

"Assalamu'alaikum !", salamnya dari luar.

"Wa'alaikum salam !", jawab kami serempak.

Lalu mama membuka pintu rumah. Disana sudah berdiri ibu RT . Ya, beliau adalah ibu RT di lingkungan rumah kami. Beliau orang cukup terpandang disini, selain kaya, beliau juga sangat dermawan pada warganya yang tidak mampu.

"ada apa bu ?", Tanya mama.

"boleh saya masuk dulu, bu ?",

"boleh-boleh bu, silahkan !", kata mama mempersilahkan bu RT itu masuk. Lalu teteh ke dapur untuk mempersiapkan teh untuk bu RT ini.

Bu RT dan mama pun duduk. Lalu bu RT memberikan sebungkus kresek berisi beberapa pakaian juga kue.

"apa ini bu ?", Tanya mama.

"emh, begini bu. Mudah-mudahan ibu tidak tersinggung dengan pemberian saya ini. Kebetulan ini ada sedikit rejeki. Jadi saya berniat kasihkan ini semua sama ibu juga anak-anak !", katanya sambil tersenyum ramah padaku.

"tapi bu...",

"tolong terima ya bu ! bukannya saya kasihan sama ibu juga anak-anak ibu. Tapi saya lakuin ini karena saya juga mengerti kondisi seperti ibu sekarang. Bukan juga saya niat pamer sama ibu !",

"ah tidak mungkin saya berpikiran seperti itu. Justru saya terima kasih sama ibu. Karena sudah mau repot-repot dateng kesini demi memberikan barang-barang ini buat saya juga anak-anak",

"tidak bu, saya tidak repot sama sekali. Vika dan Ririn, besok pake ya baju lebarannya !", kata bu RT saat teteh tiba membawa secangkir teh hangat.

"terima kasih banyak bu !", kata kami serempak. Setelah itu, Bu RT pamit meninggalkan rumah kami. Aku yang saat itu dapat baju baru, sangat senang sekali. Karena akhirnya aku punya baju baru juga.

Keesokan harinya kami shalat Ied bersama. Kami memakai baju pemberian ibu RT kemarin. Aku sangat senang sekali bisa memakai baju baru. Tapi masih ada satu hal yang mengganjal. Aku melihat orang lain, pergi ke masjid dengan seluruh keluarga mereka. Ayah, ibu juga anak-anak mereka. Sedangkan kami, kami pergi tanpa sosok seorang ayah.

"ma..bapak kenapa pergi ?kenapa gak sama kita ?", kataku pada mama. Namun mama tak menjawab pertanyaanku. Teteh juga nampak bungkam sambil menggandengku menuju rumah. Kami pulang ke rumah dalam keheningan.

Semenjak itu, aku tak pernah menanyakan lagi kemana Bapak pergi. Kata teteh, Bapak sudah punya keluarga baru dan melupakan kami. Mungkin benar apa kata orang, Bapak tak ingin punya anak banci sepertiku.

Seakan sudah terbiasa, hari raya berikutnya kami lalui tanpa sosok seorang Bapak. Seorang Bapak yang menafkahi kami, mendidik kami layaknya seorang Bapak. Bahkan baju lebaran saja jika tidak diberikan oleh Bu RT, mama yang memaksakan membelinya untukku -karena teteh merelakan jatah uang baju lebarannya untukku- dari hasil kerja kerasnya sebagai pembantu rumah tangga.

Tapi walau bagaimanapun aku harus tetap bersyukur masih punya mama juga teteh yang menyayangiku. Yang selalu menerima aku apa adanya dengan keadaanku seperti sekarang. Terserah apa kata orang, mau mengatai apapun sepertinya mama juga teteh tak pernah menyusutkan semangatku untuk selalu bertahan. Walaupun aku selalu menangis karena ejekan teman-temanku juga guruku di sekolah.

Namun sekarang, mereka telah tiada. Orang-orang yang selalu menyayangiku sekarang pergi meninggalkanku untuk selamanya. Mereka pergi dalam keadaan yang mengenaskan. Tuhan telah mengambil mereka dariku dengan cara yang sama sekali tidak aku duga.

Mama, teteh...selamat jalan.

Vika, Laki-laki Cantik Itu ? (BxB)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang