Chapter 16

818 72 4
                                    

Mew masih setia menggenggam tangan kanan art. Ini sudah hari ke 20. Art koma. Sudah jelas bukan.? Lantai 27 bukanlah ketinggian yang main-main.

"Makan dulu p', setelah itu pulanglah" may masuk ke kamar itu dengan menenteng bungkusan.

Membetulkan letak selimut art, lalu mew menghampiri may.

Menarik nafaa panjang sebelum bicara "Mamy akan kesini nanti"

"Kau..sudah menceritakan tentang art p'.?" Tanya may ragu

Mew mengangguk. May tersenyum.

"Mungkin kalaau aku bicara pada art bahwa perjodohan kita gagal ia takkan sampai begini"

"Ia saja yang bodoh p'." May menjawab setelah melihat mata mew yang menyendu.

"Hei..!!"
"Jangan asal bicara" mew menatap tajam may.

"P' come on, kalau saja art itu peka. Ia tak akan begini"
"Kau tau.? Art itu masih hidup dalam bayangan masalalunya"
"DIA.BELUM.BISA.KELUAR.DARI.MASALALUNYA" may menekan setiap kata pada kalimatnya.

"May..jaga bicaramu" geram mew

May hanya membuang muka. Menahan tangisannya. Ia hanya sedih. Melihat kebodohan art dan kekacauan mew. Mereka saling mencintai tapi susah sekali untuk bersatu. Bahkan orang tua mew saja tak masalah dengan pengakuan mew 2minggu lalu. Meski mamynya sempat marah.

"Kau juga bodoh p'." Lirih may.

"Dasar anak nakal..kau tak kuliah malah disini" mamy masuk lalu menjewer main-main may.

"Mamy.." may cemberut lalu memeluk mamy.

"Sudah kekampus sana" usir mamy.

"Baik bos" may memberi gestur hormat. Lalu melenggang pergi.

"Bagaimana keadaan art.?"

"Masih tak ada perubahan" mew langsung memeluk mamy kala mamy sudah duduk di sofa tepat di sampingnya.

"Aku takut sekali, Mam" mew menangis di pelukan mamynya

"Dia akan sehat. Bersabarlah" mamy mengelus punggung mew sayang.

"Tapi..aku tak tau harus bagaimana. Ini sudah hampir 3 minggu. Aku takut art menyerah"
"Rasanya sakit sekali, Mam"
"Disini sakit sekali" mew menepuk keras dadanya. Membuat tangan mamy harus menghentikannya.
"Kalau saja aku bilang bahwa aku takkan menikah dan meninggalkannya. Ia pasti masih disini kan, Mam.?"
"Iya kan.?"
"Aku bodoh sekali ya, Mam.?" Diam-diam mamy ikut menangis.

Kalau boleh jujur. Mamy tak sepenuhnya rela bila mew mencintai lelaki yang notabennya sama dengan mew. Tapi melihat mew meracau tak karuan begini. Mamy bisa lihat seberapa dalam cinta mew.

Mew tak pernas menangis separah ini. Termasuk kehilangan nenek kakeknya dulu.

"Jangan memendam apapun sendiri yah" mamy mengecup dan mengusap rambut mew berkali-kali.

Mew panik, tiba-tiba art kejang.

"Art.."
"Art.."

Bukannya memencet tombol diatas brankar art, mew malah lari keluar. Mungkin mew terlalu panik, sampai mamy yang memanggilnya ia tak dengar. Jadi mamy yang memencet tombol itu.

.

Mew terus saja melangkah bolak-balik di depan pintu. Hingga mamy menegurnya.

"Jangan membuat mamy makin panik"

Setelah 30menit akhirnya dokter itu keluar. Sambil tersenyum ia menyuruh mew dan mamy mengikutinya.

Tapi mew tak suka senyum itu. Ia takut kabar yang ia dengar tak sesuai dengan senyum manis sang dokter.

"Silahkan duduk"

Mew dan mamy duduk di sebrang dokter.

"Kejang seperti itu adalah reaksi alami pasien. Itu bukan sesuatu yang besar yang harus di takutkan" ucapan sang dokter membuat mew bisa bernafas lega.
"Tapi, ada sesuatu pada perkembangan otaknya"
"Saran saya segera lakukan rontgen"

"Oh iya tuan mew, untuk tanganya pasien, anda harus segera mengambil keputusan" ucap terakhir dokter sebelum mereka keluar.

Flashback

Malam itu, mew panik bukan kepalang. Masih segar dalam ingatannya. Darah yang keluar dari kepala art begitu banyak dan tak bisa berhenti.

"Tulang tangan art retak parah. Kemungkinan patah, besar. Sebab ia jelas melindungi kepalanya dengan kedua tangannya dan tangan kiri art yang lebih dulu menyentuh tanah di banding tubuh"

Mew masih kalut. Ia tak bisa befikir. Ia hanya mampu mendengarkan. Tapi tak bisa berfikir bagaimana langkah selanjutnya.

"Lebih baik, tuan mew mengamputasi tangan tuan art"

Mew tentu menggeleng kuat. Art akan histeris nanti.

Hipotesis Rasa [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang