Chapter 9

897 90 31
                                    

Yang tak pernah art tau adalah, cinta mew nyata. Meski semalam ia pergi menjauh dari art. Tapi ia tak meninggalkan art sendiri. Ia masih di sana, menunggui art. Melihat art menangis, entah karena apa. Mungkin merasa bersalah pada dirinya. Tidak. Art tak bersalah. Mungkin mew saja yang begitu egois menginginkan art.

.

Dan pagi ini, ia datang kerumah besar. Rumah utama keluarga Suppasit.

Po dan mamynya ingin bicara. Begitu katanya.

"Kau sudah datang.?" Tanya wanita cantik keturunan jerman-thailand itu pada putra bungsunya.

"Iya mam.." mew yang baru masuk, seketika berbelok menuju tempat duduk ayun di bawah tangga untuk ke lantai atas. Memang pintu utama dekat dengan tangga.

"Tunggu po mu selesai bersiap. Ini kabar gembira" ucap Ny. Tera Suppasit antusias.

"Kau sedang bahagia mam.?" Mew tersenyum geli melihat mamynya kelewat senang.

"Karena...."
"Oh itu po..!!" Mamy mew begitu antusias.

"Kau sudah datang rupanya" mew mengatupkan kedua tangannya ke depan dada sebagai tanda hormat.

"Ada apa po memanggilku kemari.?" Tanya mew lamgsung.

"Apa aku harus memiliki alasan agar kau pulang ke rumah nak.?" Sindir po sinis.

"Eoh" mew tertawa canggung.
"Bukan begitu po.." sergah mew.

"Sudah sudah..berhenti menggoda anakmu Gun" mamy menengahi.

"Mari sarapan dulu" ajak mamy. Menggiring dua lelaki tampan itu dari kursi ruang tengah ke meja makan.

.

Di lain tempat, art sedang menata balok kayu.

"Kau sudah selesai art.?" Tanya wanita cantik yang baru saja keluar dari rumah.

"Eoh..sudah nek" jawab art

"Sarapan dulu. Setelah itu kita ke kota" art hanya mengangguk sebagai jawaban dari permintaan nenek.

.

"Kau tau, may.?"

"Tidak p'.." sang wanita menjawab dengan cemberut.

"Ya sudah lh. Kita bicarakan nanti lagi saja. Po dan mamy memang harus bertemu denganmu langsung"

"Nanti juga bertemu" jawab may enteng

"Kalo begitu p' kembali ke kantor dulu" namun sebelum beranjak dari kursi, tangan mew tercegat oleh may.

"Traktir aku ice cream dulu" may menunjukan senyum termanisnya.

Mew tersenyum. "Dasar..kau masih saja seperti dulu"

Saat berjalan keluar may menggandeng lengan mew.

"Rupanya sudah siap bersanding eh.?" Goda mew sambil tertawa.

Mew tertawa bersama may sampai keluar restoran. Ia bahkan sampai tak sadar melewati seseorang -yang sedang berdiri di pinggir jalan- saat akan menuju ke tempat mobilnya terparkir.

"P'mew.?" Lelaki mungil itu bergumam lirih sambil menatap pasangan yang terlihat serasi itu dengan mata berkaca.

Mencoba tersenyum walau terlihat sekali dipaksa.

"Ini keinginan ku. Iya..aku yang meminta ia pergi. Jadi tak apa-apa" art mencoba tegar. Berjalan pulang.

Sepanjang jalan ia terus menghapus air matanya. Menahan gejolak di hati dan otaknya. Ia tak boleh kambuh. Mew tak menyakitinya. Jadi ia bukan seperti mereka.

Art benar-benar berjalan. Ia lupa bahwa ia tadi hanya harus berjalan hingga stasiun untuk menaiki kereta menuju ke rumah nenek.

Jadi hingga sore begini ia masih harus berjalan.

Karena lelah, ia berhenti dan duduk di trotoar.

"Aku.." art tak bisa lagi menahan air matanya.
"Sakit p'.." art menangis sambil menundukan kepalanya.

Sungguh sesak sekali rasanya. Hanya melihat mew tertawa dengan wanita lain. Hanya karena mew tak melihat kearahnya. Hanya karena ia bukan lagi prioritas mew.

Art yakin bahwa ia tak mencintai mew. Ia tak merasa berdebar saat di dekat mew, seperti di dekat push dulu. Tapi harus ia akui ia merasa tak lagi ada kenyamanan.

Sudah 1bulan ia pergi dan beberapa kali ia mimpi buruk lagi setelah sekian lama tak bermimpi. Namun kali ini tak ada mew yang akan memeluknya.

"Aku harus bagaimana.?"
"P'..." art terus menangis hingga nafasnya tersendat-sendat.

"Art"

Hipotesis Rasa [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang