Kejadian yang sama terus berulang hampir tiga hari ini. Jungkook masih melakukannya, menghindar dan tak pernah bertatap muka dengan sang istri.
Berangkat lebih pagi dan pulang sungguh larut, tak pernah lagi mengusik Jimin ataupun menghardiknya pagi-pagi.
Tidak ada juga masakan yang sengaja di tumpahkan atau malah meminta Jimin untuk memasak tiba-tiba.
Jimin hanya bisa mengikuti alur yang telah Jungkook atur untuknya. Tak terasa, waktu terus berlalu, besok sudah weekend saja. Ia menerka-nerka, apakah Jungkook tidak akan pulang atau bagaimana.
"Sampai kapan harus begini,"lirihnya diantara kunyahan. Jimin tanpa semangat menyuap makanan cepat saji yang ia pesan. Tak selera untuk memasak. Jarum jam menunjuk pada angka tujuh lewat seperempat.
Cklek.
Si mungil terperanjat di kursinya, itu Jungkook. Berjalan melewatinya dan tak sedikitpun melirik ke arahnya. Perlahan tapi pasti, Jimin berdiri di depan pintu kamar sang suami. Ia penasaran, setelah sekian lama tak bertemu dengan Jungkook karena jam tidurnya sulit diubah.
Percikan air terdengar nyaring dari dalam, Jimin pikir pria bongsor itu sedang membersihkan diri. Jadi ia masuk, sudah lama ia tidak memasuki kamar dingin ini.
Begitu dingin, sampai-sampai Jimin menenggelamkan tangannya pada balutan sweater yang ia kenakan saat ini.
Sangat rapi, itulah kalimat yang pertama kali muncul di dalam kepalanya untuk menggambarkan keadaan kamar ini. Jimin sengaja meninggalkannya karena tak ingin sakit lebih lama.
Ini jalan yang ia pilih, meskipun ia tetap bertahan dan berada di sisi Jungkook, mungkin juga tak akan bertahan lama.
Blam.
Tanpa Jimin sadari, Jungkook sudah keluar dari tadi, menahan kenop pintu kamar mandi sambil memperhatikan gerak geriknya dengan raut tak suka, kemudian membantingnya cukup kuat agar Jimin sadar akan keberadaannya.
Jimin tersentak, ia berbalik dan mendapati tatapan tajam milik Jungkook yang mengarah padanya.
"Keluar,"nada rendah berbahaya, Jimin segera mengambil langkah untuk mundur. Jungkook tampak kembali ke level awal, dingin yang menyebabkan ngilu di hati Jimin tanpa skala yang jelas.
"B-baiklah.."sampai disitu saja, Jimin cepat-cepat menutup pintu kamar itu. Takut jika ia kembali memulai permasalahan dan mendapatkan perlakuan tak layak untuk kesekian kalinya.
🌼
"Ya, tidak masalah. Aku akan datang,"
Jungkook melirik sekilas, sekali lagi bukan karena ia perduli. Hanya saja Jungkook kebetulan melewati Jimin yang bersandar pada balkon membelakanginya, berbicara dengan seseorang melalui telepon.
"Cih, keluyuran saja kerjanya.."lirih Jungkook, sedikit merasa terusik, namun ia abaikan perasaan itu semampunya.
Ia menggedikkan bahunya, berlalu dan memasuki kamar. Jungkook memang tidak perduli apapun itu yang bersangkutan dengan Jimin, itulah pikirnya.
Jimin berbalik, merasa seseorang baru saja memperhatikannya tapi tak ada siapa-siapa disana. Kaki kecilnya bergerak ragu menuju kamar Jungkook.
Sebelah tangan terangkat, namun berhenti sejenak, mengambang di udara. Jimin bimbang, harus minta izin atau tidak. Mengingat kalimat Jungkook, Jimin rasa ia tidak perlu melakukannya sebab percuma saja jika hanya memperunyam masalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Half a Heart [Kookmin]
RandomJust Some Kookmin Story written in Bahasa. ------ Warning (bxb) Rated: T - M -Kookmin- Jungkook bukan orang yang harusnya ia impikan, sebelumnya Jimin tak pernah termakan akan kata hati namun kali ini ia kalah. Sulit untuk menentang kehendak kalbu y...