Pintu

4 1 0
                                    


Hari ini aku memutuskan untuk membuka pintu itu.

Tentu saja, tidak ada jaminan bahwa aku akan benar-benar melakukannya. Karena aku sudah sering berada di tempat ini, berkali-kali sebelumnya. Mengumpulkan niat untuk membuka pintu itu, tetapi tidak sekalipun aku benar-benar melakukannya. Ketika tanganku hendak menggenggam gagang pintu, aku menariknya kembali, lalu mengangkatnya kembali, lalu menariknya kembali, lalu menyerah dan memutuskan untuk berbalik.

Selama hidupku, aku sudah melihat orang-orang melintasi pintu itu berkali-kali. Sesungguhnya mereka tidak ada ubahnya dariku. Memang, penampilan mereka berbeda-beda. Mereka juga membawa pengalaman yang berbeda-beda, impian yang berbeda-beda, kemampuan yang berbeda-beda. Semua orang yang sudah melintasi pintu itu berasal dari latar belakang yang sepenuhnya berbeda. Mereka pun sama sepertiku, pada awalnya ragu, menarik kembali tangan mereka yang berusaha meraih gagang pintu. Aku selalu melihat orang yang satu, lalu orang yang satunya lagi, setiap hari berubah, kadang di satu hari datang, menyerah, kemudian kembali lagi di hari lainnya, hingga akhirnya mereka mengumpulkan keberanian, kemudian membuka pintu itu dengan penuh kepercayaan diri.

Lantas apa gerangan yang membuat mereka menarik diri sebelumnya? Terlebih lagi, apa yang membuatku menarik diri?

Semuanya memiliki waktu yang berbeda sampai mereka benar-benar membuka pintu itu, ada yang membutuhkan setahun penuh, beberapa dari mereka melihat pintu itu dan segera membukanya tanpa keraguan. Beberapa butuh bertahun-tahun, berkali-kali membalikkan badan, hingga akhirnya mereka membuka pintu itu, kemudian melangkahkan kaki, menuju ke sisi seberang.

Mereka semua memiliki satu kesamaan, ketika mereka membuka pintu itu, wajah mereka seketika berubah. Seperti sebuah komputer yang dijejali ribuan informasi dalam sepersekian detik, atau sebuah keran berdebit tinggi yang ditumpahkan pada gelas kecil. Wajah mereka bersinar cerah. Mulut mereka menganga dengan mata yang membelalak. Tubuh mereka menegang. Cahaya itu membuat kaki mereka bergerak dengan sendirinya, melangkah ke sisi lain, kemudian menutup pintu itu di belakang mereka. Pintu itu pun kembali tertutup rapat, menunggu orang lain, dengan keberanian yang sama, untuk membukanya kembali.

Selain itu, ada punya persamaan lain diantara orang-orang yang sudah melewati pintu itu.

Tidak ada satupun dari mereka yang kembali.

Setiap kali ada seseorang yang melangkah keluar, tubuhku berakselerasi. Ada apa dibalik pintu itu? Ada apa di luar sana? Keingintahuan mengoyak tubuhku, menjerit, memohon-mohon agar aku membuka pintu itu dan mengetahui apa gerangan yang berada di luar sana. Tetapi ketika aku hendak membukanya, ketakutan yang sama besarnya menarikku ke belakang.

Apakah aku siap untuk mengetahuinya?

Tidak ada yang kembali. Tetapi apakah itu hal yang baik? Apakah mereka semua begitu kagum dengan apa yang berada diluar sana, sehingga mereka memutuskan untuk tidak pernah kembali? Atau sesuatu hal yang lain, katakanlah, sesuatu yang buruk, yang membuat mereka tidak bisa kembali? Membuka pintu itu berarti menerjunkan seluruh keberadaanku pada kenyataan yang sama sekali tidak ku ketahui. Apakah aku sudah siap untuk menerimanya?

Lalu bagaimana dengan kenyataan yang kumiliki sekarang? Apakah aku siap untuk meninggalkannya sama sekali? Tidak ada yang kembali. Artinya aku harus menghapus seluruh hal yang ada disini saat itu, kemudian membiarkan hal baru untuk masuk. Tidak semudah itu untuk mengubah realitas, semua orang tahu itu. Maka apakah aku punya kemampuan, atau bahkan keberanian, untuk menerima semua yang ada di balik pintu itu?

Berkali-kali aku melihat orang lain berdiri di depan pintu ini, membukanya, melangkah ke dunia yang ada di seberang. Berkali-kali pula aku mendapati diriku sendiri berada di tempat mereka berdiri, dengan jantung berderu dan nafas memburu. Aku dapat merasakan keringat menuruni tengkukku. Itu pertanda buruk. Ketakukan itu datang kembali. Sebuah raksasa hitam yang berdiri tegak. Wujudnya yang kasar, gagah dan mengerikan. Dia mengangkat tangan-tangannya yang besar, dan mengarahkan kuku-kukunya yang tajam kepadaku. Aku dapat merasakan sengatan yang luar biasa nyeri pada perut, leher, dan pelipisku. Dia memasukkan kuku-kukunya semakin dalam. Tubuhku menegang. Tanganku terkepal kuat, bibirku terkatup rapat. Kali ini berbeda. Dia tampaknya menjadi lebih besar dari biasanya, jauh lebih besar, dan lebih mengerikan. Ketika keputusanku sudah bulat, dia pun berevolusi menjadi semakin ganas. Mulai dari ujung kaki, dia mengonsumsiku bak cemilan sore. Aku dapat merasakan jari-jari, telapak kaki, kemudian betisku yang kehilangan sensasi, seperti dialiri sengatan listrik bertenaga rendah, namun memiliki kemampuan untuk menyebar dengan sangat efektif. Tubuhku mulai memanas. Wajahku mungkin sangat merah sekarang. Ketika semuanya menjadi gelap, saat itu lah dia memenangkan pertarungan ini.

Tetapi tidak kali ini, aku membatin.

Aku memejamkan mataku. Membiarkan rasa takut itu membanjiri tubuhku. Aku menatapnya langsung, menjabat tangannya, kemudian memeluknya dengan erat. Sebuah komunikasi yang singkat, tetapi cukup untuk membuat kami saling memahami. Sesaat kemudian, ketegangan itu menghilang. Tubuhnya pun menyusut, menjadi jauh lebih bersahabat. Kuku-kukunya yang panjang memendek, keluar dari bagian-bagian tubuhku yang tertusuk. Aku menarik nafas panjang, membiarkan bagian-bagian itu terisi oleh udara, membiarkannya menyembuhkan diri. Dengan mata masih terpejam, aku mengingat mereka semua. Orang-orang terdahulu. Ketika mereka berdiri di tempat ini, apakah mereka memiliki kekhawatiran yang sama? Apakah mereka juga melihatnya, monster raksasa yang besar dan mengerikan itu? Kemudian aku mengingat tampak di wajah mereka. Sinar yang mereka terima begitu mereka membuka pintu itu. Kecakapan yang baru, kualitas yang baru. Seperti diberikan kesempatan untuk terlahir sekali lagi.

Benar, itulah yang kuinginkan. Aku ingin mengetahuinya. Lebih banyak dan lebih banyak lagi hal. Aku ingin mengenal mereka yang terdahulu. Aku ingin mengenal hal-hal yang mereka lihat, yang mereka rasakan, yang mereka alami. Karena itulah aku berdiri di sini, di depan pintu ini. Aku mengangkat tanganku, meraih gagangnya dengan kepercayaan diri, disaat tangan yang satunya lagi menggenggam tangan si ketakutan kecil. Aku menatap wajahnya, dia kembali menatapku. Kemudian kami berdua tersenyum. Ketika pintu itu terbuka. Sinar yang sama membanjiri tubuhku. Inilah yang mereka rasakan. Akselerasi ini, ketegangan ini, kesucian ini. Aku melangkahkan kakiku untuk yang pertama kalinya, menuju tempat di seberang. Bahkan tidak sekalipun terpikir untuk melihat kebelakang. Ketika tubuhku sudah melewati ambang pintu, aku menutupnya di belakangku. Ketika sudah tiba saatnya, pintu itu akan kembali terbuka. Dan siapapun yang berhasil membukanya, aku akan menyambutnya dengan hangat. Memberikannya pesta perayaan yang besar, dengan kue, musik, dan tarian.

"Selamat datang di dunia baru." Aku berbisik pelan. Tidak ditujukan kepada siapapun. 

The Apocalypse - A Compilation of Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang