Jembatan

7 0 0
                                    

Ketika aku berdiri disana, sudah tidak ada siapapun. Aku memandang ke belakang, kemudian kembali ke depan, ke kanan dan kiri, sama sekali tidak ada orang. Maka aku melihat keatas. Angin bergemuruh, langit diatas sana cerah, biru keabu-abuan dan tidak berawan. Formasi batu ini biasanya ramai, menghubungkan bagian-bagian kota yang ada di kedua ujungnya. Kalau tidak salah, jembatan ini merupakan salah satu bangunan tertua yang pernah berdiri. Saat ini ada beberapa jembatan yang berjejer. Kau bahkan bisa melihat salah satunya dari sini, apabila kau mengadah cukup tinggi melewati pagar jembatan, tidak lebih satu kilometer disana, jembatan lain yang serupa dibangun.

Formasinya lebih baik. Tidak seperti jembatan batu yang kuno ini, jembatan itu sudah dilengkapi baja, dan jauh tampak lebih ramping. Faktanya jembatan ini sudah tidak begitu kuat, oleh karena itu truk-truk bangunan dilarang untuk melintasi jembatan ini sejak sepuluh tahun yang lalu. Saat ini jembatan ini hanya digunakan sebagai pelintasan kendaraan pribadi, ataupun orang-orang yang berjalan kaki.

Ketika angin mereda, sayup-sayup kudengar suara dari kejauhan. Suara itu semakin keras, bergerak mendekatiku. Petikan gitar yang dimainkan oleh seseorang yang ahli. Untuk sesaat tubuhku melonjak. Aku dapat merasakan kakiku melompat sedikit. Tetapi ketegangan itu segera hilang, digantikan oleh perasaan ekstasi yang hangat. Begitu sadar aku telah kehilangan kemampuan atas kendali tubuhku; mungkin ekspresi itu tidak tepat, karena aku masih bisa mengendalikannya. Kalau mau pun aku bisa berlari saat ini juga. Tetapi hatiku tidak menginginkannya. Dia tahu betul apa yang diinginkan oleh tubuhku, dan tubuhku sependapat.

Pria itu mengenakan jubah panjang yang tampak kumul. Sebuah topi panjang ala penyihir yang dibuat dari tenunan kain perca. Bibirnya menggigit sebatang gandum. Wajahnya tidak terlihat, tertutupi rambutnya yang panjang, tak terawat, dan berwarna kemerahan. Sama seperti janggut yang membuat wajahnya tampak seperti semak belukar. Jari-jarinya memainkan senar gitar dengan anggun: sebuah harmoni yang menakjubkan. Tanpa kesalahan, tanpa kecacatan. Dia menyentuh bagian-bagian senar dengan lembut, seakan-akan tidak ingin menyakitinya. Gitar itu pun membalasnya dengan baik, dia mengeluarkan musik yang indah, menyambut rasa kasih sayang yang tampak dipancarkan dari dalam diri pria itu. Saat itulah aku menyadari kilatan matanya. Warna yang tidak lazim, seperti perpaduan antara hijau dan biru. Kelopak matanya layu, membuat pandangannya tampak lembut dan penuh kasih.

Permainannya berhenti saat dia berada tepat dihadapanku. Selama tiga puluh detik dia tidak melakukan apa apa. Ketika itu aku berusaha mencari kilauan itu lagi: biji matanya yang berpendar hijau kebiruan. Tetapi cahaya itu tampaknya kembali tertutupi oleh kumpulan rambut yang mekar di wajahnya.

"Apa yang ada didalam sana?"

Aku bertanya tanpa tahu mengapa aku mengatakannya. Mungkin aku benar-bener ingin tahu, mungkin hanya sebuah kalimat yang diajukan tanpa maksud tertentu. Tetapi aku sungguh sungguh ingin melihat kilauan itu lagi. Kemana kilauan itu pergi? Wajahnya tidak bergerak sama sekali. Seperti terdapat sebuah kedalaman disana, sesuatu yang ganji. Semakin aku berusaha mencari kilauan itu, semakin hal itu menghilang dari jangkauanku. Seakan-akan semak belukar itu semakin menebal seiring dengan meningkatnya rasa penasaranku.

Pria itu menjangkau sesuatu dari dalam jubahnya, sebuah wadah dari keramik. Bentuknya besar dan membola pada bagian bawahnya. Bagian atasnya menguncup, sebagai tempat agar air dapat keluar. Permukaannya tampak kasar, tebal. Juga terlihat berat. Bagaimana dia menyimpan benda sebesar itu didalam mantelnya? Dia mengeluarkan sesuatu yang lain. Kali ini mangkuk yang sangat kecil, seperti sesuatu yang biasa digunakan orang jepang untuk meminum sake. Dia mencabut gabus yang menyumbat botol tersebut, kemudian menuangkan isinya keatas cangkir tersebut lalu memberikannya padaku.

"Minumlah!"

Aku menerima cangkir itu tanpa keraguan. Cairan yang ada disana tampak bening, tidak ada ubahnya dari air biasa. Tetapi kemudian aku melihat seekor ikan. Berenang dengan gembira. Itu ikan jenis koi, dengan corak perpaduan antara jingga, hitam dan abu-abu. Ketika dia melompat, seluruh permukaan air menimbulkan riak. Aku menelan seluruh isi cangkir dalam satu tegukan. Mendadak tubuhku terasa panas, seakan akan sedang menguapkan seluruh isinya. Cangkir itu pun terasa berat. Sesaat kemudian, kusadari aku tergeletak diatas permukaan batu jembatan, berselimut pakaianku sendiri yang tergelar disana. Tubuhku berubah menjadi seorang bayi kecil. Pria itu mengangkatku, melilitkan kain sutra diantara tubuhku. Kemudian mendekapku pada tubuhnya. Ketika dia memandang wajahku dari atas, bola matanya yang berwarna hijau kebiruan tampak jernih. Rambutnya yang panjang pun luruh, seluruh wajahnya terlihat bersinar. Dia tidak lebih tua dari umur tiga puluh, tetapi wajahnya memancarkan kebijaksaan. Melihat senyumnya yang lembut, akupun ikut tersenyum, kemudian tertawa riang. Sambil membawa tubuhku, pria itu melanjutkan perjalanannya. Berjalan kaki menuju tempat tujuan yang berikutnya. 

The Apocalypse - A Compilation of Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang