Serigala Kecilku

1 0 0
                                    

Sungguh, merupakan sebuah keajaiban, melihat seseorang yang kau sayangi tersenyum dengan sepenuh hati. Anak laki-lakiku berlari dengan lincah, melintasi padang hijau sambil menggiring bola di kakinya. Teman-temannya pun tampak bersemangat. Salah satu dari mereka menghalangi, tetapi Kuro berhasil menghindarinya. Ketika dia berdiri di depan penjaga gawang dan melesatkan tendangan terbaiknya, saat itulah rasanya dunia berhenti untuk sesaat.

Baginya, dan bagi mereka semua yang berada di lapangan, berhambur kebahagiaan dan adrenalin, mungkin tidak merasakan perasaan yang sama. Tetapi bagiku yang ingin melihat kegembiraan diwajah anakku, ini merupakan suatu hal yang besar. Ketika bola itu berhasil di tangkap oleh penjaga gawang, wajahnya tampak kecewa, dia memukul kakinya sendiri sambil bersumpah. Si penjaga gawang ternsenyum lebar, sebuah senyum provokatif, menyatakan "Coba lagi lain kali!". Kuro dengan cepat mengumpulkan kembali konsentrasinya, kemudian berlari mundur seiring bola dikembalikan ke bagian tengah lapangan oleh pihak lawan.

Ketika dia masih kecil, mungkin pada umur tiga atau empat tahun ( ketika kau sudah bersamanya seumur hidupmu, rasanya waktu saling melebur, sampai-sampai kau tidak bisa tahu dengan pasti hubungan apa dan kapan sesuatu terjadi ) serigala merupakan binatang kesukaannya. Dia melihatnya di tv beberapa kali, dan dia sangat mengagumi binatang tersebut. Bukan karena kebuasan atau caranya mengejar mangsa, tetapi..

"Bulunya!"

Begitulah yang dia katakan ketika aku menanyakan alasan mengapa dia menyukai serigala.

"Tetapi anjing juga punya bulu, kenapa kau lebih suka serigala daripada anjing?"

"Tidak. Bulunya beda. Bulu serigala beda dengan bulu anjing."

"Bagaimana kau bisa tahu?"

"Karena aku tahu!"

Entah sudah berapa kali bola bertukar posisi. Pihak yang satu menyerang, kemudian kembali bertahan. Tidak ada yang terjadi selain hal itu selama lima belas menit terakhir. Kuro berhadapan langsung dengan seorang anak yang tingginya kira-kira dua puluh senti lebih pendek darinya. Tubuhnya yang pendek itu membuatnya lincah dan mudah mengendalikan bola. Dengan kepayahan, Kuro mencoba untuk menghalangi agar dia tidak bisa masuk lebih dalam menuju teritori mereka. Tetapi anak itu berhasil melewatinya. Sekali lagi Kuro tampak kecewa. Dia memukul kakinya sendiri dan menyumpah, kemudian berusaha mengejar orang yang melewatinya.

Pada saat ini sepertinya dia sudah benar-benar kehilangan kendali, karena tanpa pikir panjang, dia menendang betis orang yang melewatinya tadi dari belakang. Anak itu tersungkur kedepan. Tangannya mencoba untuk menopang tubuhnya yang terjatuh.

Dia berteriak, menjerit kesakitan. Ketika dia kembali berdiri, seluruh bagian lengan bawahnya, serta lutut dan betisnya dipenuhi luka gores. Terdapat beberapa di pipi dan keningnya juga. Sorot matanya pun berubah. Ketika dia menoleh kebelakang, matanya bertatapan langsung dengan Kuro. Sorot mata yang melambangkan kebencian.

"Kenapa kau melakukan hal itu?" kata-kata itu ditujukan kepada Kuro.

"Kau tidak apa-apa?" Kata-kata yang lain, ditujukan kepada anak yang terjatuh.

"Bahaya sekali." dan "Kau gila ya?" adalah kata-kata lain yang terlontar diantara kerumunan yang mendekat, mencoba membantu anak yang sedang terjatuh.

Kuro diam saja ketika salah seorang anak mendorongnya, memarahinya atas perbuatannya. Anak yang lain datang untuk melerai, menenangkan anak yang hampir mengamuk. Wajah kuro menampilkan ketidak percayaan, seperti melihat sesuatu yang tidak masuk akal. Mungkin tidak demikian. Di dalam otaknya sedang berkecamuk berbagai macam hal yang dia sendiri tidak memahami mengapa begitu banyak hal muncul dalam waktu bersamaan. Mengapa dia melakukannya? Seharusnya dia tahu hal itu tidak baik, tetapi mengapa dia tetap melakukan hal yang sudah dia ketahui, adalah tidak baik? Mengapa dia berusaha untuk melukai temannya, dan mengapa pikirannya memutuskan untuk melakukan hal semacam itu? Apa yang terjadi selama dua menit terakhir, di dalam dirinya, di dalam kesadarannya sendiri?

Hujan turun tanpa ampun. Sudah beberapa lama sejak langit mulai mendung. Beberapa detik pertama dihiasi dengan tetesan-tetesan kecil, tetapi kemudian seakan seluruh langit jatuh dan menguyur bumi dengan siraman air bah. Anak-anak segera berlarian, mencari tempat berteduh. Tetapi Kuro sepertinya butuh semenit hingga dua menit dibawah hujan yang mengamuk sampai pikirannya memutuskan bahwa berdiri disini merupakan pilihan yang buruk.

Aku mencoba memanggilnya dari atas, tetapi suaraku sepertinya tidak kedengaran. Pantas saja. Karena peranku saat ini hanyalah seorang pengamat. Aku tidak bisa mengatakan apapun kepadanya. Mendekatinya pun percuma, karena itulah kutukan yang sudah ditanamkan kepadaku.

Kuro mengambil tasnya dan segera berjalan pulang tanpa menunggu hujan reda. Rumahnya dekat, jadi dia pikir kena hujan sedikit tidak akan jadi masalah. Lagipula, seluruh tubuhnya sudah terlanjur basah karena berdiri di tengah hujan sendirian.

Aku mengikutinya dari belakang. Dia tampaknya sangat kecewa dengan perbuataannya sendiri. Sepanjang perjalanan, kepalanya selalu tertunduk. Ketika sampai dirumahpun, dia tidak mengucapkan salam, ataupun menghiraukan ajakan ibunya untuk makan malam. Lantas ia segera masuk ke kamarnya, mengambil handuk kemudian berbaring dilantai, memandangi langit-langit. Beberapa ekor serangga mengitari lampu yang terpasang jauh diatas sana. Gerakan mereka acak dan, atas sebuah alasan yang aneh, terasa misterius. Bagaimana mereka memutuskan untuk bergerak, dan kemana untuk pergi? Dan mengapa mereka sangat tertarik dengan lampu, sampai-sampai beberapa dari mereka terbang langsung dan menabrak lampu tersebut, meski mereka tahu hal itu membunuh mereka?

"Apa pendapatmu, ayah?"

Aku tidak pantas untuk menjawabnya, nak. Aku sungguh ingin mengatakannya kepadamu. Tetapi sudah bukan tempatku untuk melakukan hal itu, karena itu kau harus menemukannya sendiri. Tanpa bantuanku. Lagipula, kau sudah melakukannya selama ini, bukan? Kau sudah berjuang selama ini. Baik-baiklah dengan ibumu, baik-baiklah dengan teman-temanmu. Minta maaf jika kau salah dan berterimakasihlah kepada mereka yang membantumu. Sudah tiga tahun aku tiada dan kau berhasil melewati semua itu dengan kemampuanmu sendiri. Karena itu aku percaya kau akan melewati yang ini.

Serigala kecilku. 

The Apocalypse - A Compilation of Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang