Teman

7 0 0
                                    


Cerita ini muncul dari kurang lebih lima puluh tahun yang lalu. Saat itu umurku delapan tahun. Ini bukan cerita yang dengan mudah kubagikan dengan orang lain. Aku sudah menyimpannya dengan diriku sendiri untuk waktu yang cukup lama. Bukan karena aku tidak menyukainya, tetapi aku pikir tidak akan ada yang memahaminya.

Saat itu tanggal sepuluh september. Kami sekeluarga berencana untuk pergi berwisata ke luar kota. Orangtuaku tidak pernah menceritakan dengan jelas kemana sebenarnya kami akan pergi. "Untuk kejutan." Begitulah kata ibu. Semua barang telah dipersiapkan. Kami akan pergi pagi-pagi sekali, karena itu aku disuruh tidur lebih awal. Seperti biasa, aku mengganti pakaianku dengan piyama, mematikan lampu, kemudian masuk ke dalam selimut setelah menyetel alarm penyihir perakku agar berbunyi pada pukul lima pagi ( aku sudah cukup pintar untuk melakukan semuanya sendiri ).

Saat itu aku tidak bisa tidur. Aku terlalu bersemangat menunggu hari perjalanan kami. Ini adalah perjalanan pertama kami sekeluarga setelah sekian lama. Terlebih lagi, kakak laki-laki yang jauh lebih tua dariku pada saat itu sedang berada dirumah ( dia tidak pernah pulang karena sibuk kuliah ). Karena itulah aku sangat bersemangat untuk bermain bersamanya lagi. Semakin aku berusaha untuk menutup mata, semakin sulit rasanya untuk tertidur.

Aku selalu memiliki teman. Ketika aku mematikan lampu untuk tidur, sepasang mata yang bersinar putih tampak menerawang dari salah satu sudut kamarku. Cahaya itu tidak menyilaukan, ataupun menyebar, tetapi tampak hanya sebagai sepasang bintik kecil. Dia selalu berada disana, setiap malam. Tidak pernah bergerak, hanya memandang. Aku tidak pernah memberitahukan soal ini pada ayah. Karena dia tidak akan pernah percaya padaku. Lagipula, aku sudah cukup besar. Aku tidak takut dengan hal semacam itu. Dia juga sepertinya tidak jahat. Dia tidak pernah melakukan apapun, hanya duduk disana dengan sepasang mata yang menyala. Tingginya mungkin sama persis denganku, karena ketika aku berdiri, mata kami persis saling berjumpa.

Tetapi pada malam itu dia tidak ada disana. Ketika aku mematikan lampu kamar, aku tidak melihatnya duduk di tempat biasanya. Aku juga sudah mengecek sekitar, mungkin saja dia menemukan tempat yang lebih nyaman untuk duduk, tetapi dia tidak ada dimanapun. Kupikir, mungkin dia juga berkemas. Karena dia juga ingin ikut dengan kami. Aku bisa mengerti mengapa dia sangat bersemangat. Lagipula, dia tidak jahat. Mungkin kalau aku membicarakannya dengan kakak, kakak bisa mengatakan kepada ayah untuk membiarkan dia ikut.

Karena tidak bisa tidur, aku memutuskan untuk turun kebawah dan meminta ibu membuatkan susu hangat. Saat itu pukul dua pagi. Aku tahu karena pada saat itu jam dinding bergaya vintage yang terpasang di samping tangga pada dinding lantai dua masuk kedalam jarak pandangku. Ketika aku sampai dibawah, Ibu sedang menunjukkan wajah yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Kulitnya seperti handuk yang diremas, berlipat-lipat dan menyatu langsung dengan tulang belulangnya seakan dia tidak memiliki daging. Kedua tangannya menutup mulutnya yang bergetar. Dagunya turun begitu jauh sampai seakan-akan tidak menjadi bagian wajahnya lagi. Matanya memerah dan mengkilap. Air matanya berlinang, menuruni pipinya bersatu dengan genangan darah yang berada di lantai. Saat itu dia tidak kurang tampak seperti sebuah patung. Matanya terpaku pada tubuh ayah yang terbaring dengan perut yang menganga terbuka. Bagian ususnya yang tersisa berceceran di lantai. Tubuhnya hampir sepenuhnya terbagi dua. Hanya kulit punggungnya yang tersisa untuk menahan tubuhnya untuk tetap utuh. Sebuah sosok bertubuh besar menindih tubuhnya. Kedua tangan sosok itu, yang sama besarnya dengan sebuah sekop, mengorek bagian tubuh ayah hingga tak bersisa. Lengannya kurus dan ramping, sangat tidak proporsional dengan telapak tangannya yang masih. Dadana bidang dan luas dengan perut yang mengembang. Pinggulnya terlihat sempit, kaki-kakinya kurus dan ramping dengan telapak yang berukuran besar, sama seperti lengannya. Tubuhnya berwarna putih gading, tetapi diantara cahaya yang redup tampak seperti warna kuning yang menyala. Tidak ada satupun rambut pada tubuhnya yang telanjang. Tetapi mungkin itu bukan masalah besar karena ia juga tidak memiliki alat kelamin. Kepalanya botak dan membola. Gigi-giginya berbaris rapih-- tampak seperti dirawat oleh seorang dokter gigi terkemuka-- sewarna dengan tubuhnya.

Dapur pada saat itu berada dalam kondisi kacau balau. Piring-piring berjatuhan, pecahannya berhambur di lantai. Kaca kabinet pecah. Meja makan yang terletak disalah satu sudut ruangan hancur bersama dengan kursi yang menyertainya. Beberapa pintu kabinet terlepas dari lengannya, sebagian lainnya menggantung diudara dengan satu engsel yang masih menyatu. Sebuah pisau tergeletak di dekat makhluk itu. Bilahnya melipat seperti kertas.

Ketika dia sudah tidak lagi tertarik dengan tubuh ayah, makhluk itu menyadari keberadaanku. Tubuhnya menjulang sampai dua meter. Punggungnya sedikit membungkuk. Meski terlampau tidak lazim, tubuhnya begitu antromorfik sehingga untuk sesaat ketika dia berdiri aku benar-benar mengenalinya sebagai seorang manusia. Aku mengadahkan kepala hampir sembilan puluh derajat untuk melihat wajahnya yang berada jauh diatas. Sepasang matanya yang menyala putih menatapku kosong.

Aku membalasnya dengan iba, karena ini berarti ayah tidak akan pernah mengizinkannya untuk ikut pergi bersama kami.

Lebih buruk lagi, dapat dipastikan bahwa besok tidak akan ada perjalanan untuk dilakukan.

Kisah itu muncul dari lima puluh tahun yang lalu, dan sampai saat ini aku masih memikirkan. Setiap hari aku memikirkannya. Setiap kali detil detil baru muncul dalam pikiranku. Yang paling mencolok adalah, dan aku baru menyadari hal ini beberapa tahun yang lalu, pada saat itu tidak ada suara. Sama sekali hening. Dapur berada dalam kondisi kacau balau-- piring-piring berjatuhan, meja yang rusak-- tetapi aku sama sekali tidak mendengar suara apapun. Saat itu diluar sedang turun hujan. Aku ingat karena ketika petir menyambar wajahnya yang serba putih menyala akibat kilatan cahaya. Tetapi aku juga tidak mendengarkan itu. Tangisan ibu yang tertahan, serta jeritan yang hampir memutuskan urat leherku pun tidak terdengar. Itu adalah kondisi keheningan total.

"Lalu, mengapa kau menceritakan hal ini sekarang?"

Aku melihat ke arah mata anakku yang berkilat. Kecemasan tercermin dengan jelas pada wajahnya. Aku menutup mata sejenak, mendengarkan bunyi rutin dari mesin ekg yang berdekat seiring dengan jantungku.

"Karena saat ini dia sedang duduk disana, dengan matanya yang menyala putih, menemani pria tua ini hingga ajalku tiba."

The Apocalypse - A Compilation of Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang