Erased

11 1 0
                                    


Ketika leherku sudah kehabisan udara, aku sudah yakin pasti ada yang salah. Ruangan ini berbeda dari biasanya. Memiliki warna yang berbeda, bau yang berbeda, juga suara-suara yang berbeda. Aku menatap kedua tanganku, punggung tangan, kemudian telapak tangan. Keduanya masih utuh. Aku mencoba menggerak-gerakan jari-jariku, mengepalkan tanganku kuat-kuat kemudian melepasnya dengan lembut. Kedua tangan ini merupakan benda fisik yang nyata. Mereka ada disana, itu berarti aku ada di tempat ini, saat ini, setidaknya itulah kesimpulan yang bisa kuambil. Tetapi ketika aku berada disini, hal-hal yang lainnya tampaknya tidak demikian. Semuanya berbeda. Aku menatap sekitar, melihat wajah-wajah yang familiar. Tetapi mereka semua punya sebuah keganggalan kecil, sangat kecil sampai aku tidak bisa begitu saja mengetahuinya, tetapi kejanggalan itu ada. Seperti benda hitam yang tidak terlihat, tetapi memancarkan gaya gravitasi. Kejanggalan itu menarik perhatianku, membuat pemandangan seakan-akan terpusat padanya, tetapi menolak untuk menunjukkan diri.

Guru sedang menjelaskan di depan kelas. Yang lainnya mencatat dengan rajin. Sebagian menguap. Ada yang memain-mainkan pesnil diantara jari-jarinya sambil bolak balik memandang ke arah jam dinding. Yang lain menekan pantat pensil mekanik sampai isinya keluar semua, kemudian memasukkannya kembali lalu mengulanginya. Seseorang lainnya menutupi wajahnya dengan buku, kemudian menaruh komik di belakang buku yang lebih besar dan membacanya sampai terbahak-bahak, tetapi cukup dikendalikan sehingga guru yang sedang berada di depan kelas tidak menyadarinya.

Ini suasana yang biasanya, tetapi sesuatu mengatakan bahwa ini tidak normal. Seperti sebuah perasaan kehilangan, aku merasa ragaku berada di tempat ini, tetapi dengan cara apapun tidak terhubung dengan tempat ini. Aku dapat merasakan permukaan meja, aku dapat merasakan kaki-kakiku menyentuh lantai dibawah sepatu sekolah yang kukenakan, aku dapat mencium aroma keringat anak-anak SMA yang berbaur menjelang jam pelajaran terakhir, aku dapat mendengarkan hal-hal yang disebutkan oleh guru yang sedang mengajar didepan. Tetapi aku merasa tidak memiliki kekuatan apapun untuk melakukan sejenis hal apapun untuk mempengaruhi segala sesuatu yang ada disini.

Kalau ini tempat yang biasanya, ruangan kelas yang biasanya, berarti yang berada di tepat didepanku saat ini adalah Yuni, teman sekelasku yang juga merupakan siswi terpintar di kelas. Kalau tidak salah, semester lalu dia juara dua umum untuk seluruh sekolah, Itupun kalau aku masih berada di waktu yang sama seperti yang kubayangkan. Seandainya tidak, mungkin nilainya meningkat atau menurun, atau mungkin bisa saja dia terlibat sebuah kasus skandal mematikan yang membuat kemampuan belajarnya menurun drastis, aku tidak tahu karena bahkan tubuhku tidak punya setitik rasa apapun mengenai waktu.

Aku menjulurkan tanganku. Punggung gadis yang sudah ratusan kali kulihat itu pun terlihat berbeda pada saat ini. Entah itu bentuknya, atau sekedar kerutan di bajunya, atau potongan rambutnya, atau warnanya, atau baunya, aku sama sekali tidak tahu. Tetapi itu pasti Yuni. Aku meyakinin hal itu. Karena tidak ada kemungkinan lain, bukan? Ketika aku menepuk bahunya, Yuni tampak terkejut. Sepertinya aku menggunakan tenaga dengan terlalu berlebihan. Aku buru-buru menarik tanganku, tetapi Yuni tidak tampak tersinggung. Mahalan, dia lebih tampak bingung. Seperti sedang melihat sebuah fenomena alam, atau ketika melihat seekor hewan langka yang seharusnya dilindungi berada di luar kebun binatang. Ketika dia sudah memupuk pikirannya, bibir Yuni mulai bergerak. Bahkan gerakan kecil itupun terlihat ganjil dimataku. Tentu Yuni punya tahi lalat kecil yang berada tepat dibawah bibirnya, dan rasanya aku belum pernah melihat itu disana sebelumnya, tetapi bukan itu yang membuatku teralihkan.

Yuni sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tetapi mengurungkan niatnya. Dia menimbang-nimbang sebentar, kemudian memutuskan untuk mengatakan padaku dengan bahasa isyarat bahwa pelajaran sedang berlangsung, dan tidak baik kalau aku mengganggu. Aku segera menarik tanganku dengan terburu-buru. Gerakan itu spontanitas, dan aku tidak mengetahui mengapa aku melakukannya. Sepertinya tubuhku pun menyadari keanehan itu, dan memutuskan untuk melakukan sesuatu terhadapnya. Aku memalingkan wajahku, tidak dilakukan untuk melihat apapun, hanya mencoba mengusir pikiranku dari wajah Yuni. Ketika aku menoleh, Nana yang duduk disampingku tepat melihat kearah wajahku. Pandangan kami saling bertautan. Aku menatap langsung ke arah bola matanya, menuju iris dan kepada kedalaman asing yang berada dibaliknya. Aku ingin menarik wajahku, menghindari konfrontasi yang tidak perlu ini. Tetapi tubuhku sepertinya memikirkan hal yang berbeda. Dia mengetahui keanehan itu, karena itulah dia memutuskan untuk melihat Nana. Tatapan Nana seperti menusuk langsung ke urat nadiku, membuatnya berdenyut dengan irama yang berbeda, cukup berbeda sampai membuat sekujur tubuhku merasa tidak nyaman. Aku memandangi wajahnya, mulai dari dahi, kedua matanya, hidungnya yang lebih kecil dari keseluruhan proporsi wajahnya, bibir yang tampak mengimbangi hal itu tetapi dengan cara yang sedikit melenceng. Entah karena suasana ini, ataukah memang demikian wajah Nana yang sebenarnya, aku tidak tahu. Tetapi keanehan itu tetap menggantung diudara. Wajahnya tampak berbeda dari biasanya, tetapi aku tetap mengenalinya. Itu Nana. Tidak mungkin yang lain. Kami saling bertatapan dengan waktu yang cukup panjang, terlalu panjang untuk tidak membuatnya menjadi aneh. Nana membisikkan sesuatu, seperti sebuah bom atom yang diturunkan ditengah-tengah keheningan pendek yang terjadi pada saat-saat spesial di saat perang, suaranya kecil, karena berada dikejauhan, tetapi guncangannya mampu merubuhkan seluruh permukaan bumi.

"Kamu anak baru ya?"

Semua orang mulai bercakap-cakap satu sama lain. Meski Nana hanya mengeluarkan sebuah bisikan pelan, tetapi pesan itu sudah menjalar ke seluruh sudut kelas. Guru yang berada didepan kelas mendadak berhenti berbicara, meskipun dia sangat asyik menjelaskan tentang sebuah teori mengenai kecepatan tumbukan partikel, atau sesuatu yang terdengar seperti itu. Kata-kata dilontarkan kepada satu sama lain. Informasinya acak dan pertukarannya juga tidak dilakukan oleh semua orang, tetapi oleh sepasang orang, atau tiga orang atau lebih, tetapi tidak semua orang membagikan informasi yang sama. Kendati, mereka semua bertopik sama, dan itu adalah mengenai keganjilan yang ada diruangan ini.

Bukan dunia yang mendadak berubah menjadi pusat keganjilan, akulah yang menarik dunia kepada pusat keganjilan.

"Siapa namamu?" Guru perempuan itu berbicara di depan. Kata-kata itu ditujukan kepadaku. Aku mencoba mengingat namanya, tetapi tidak ada yang keluar. Apakah dia pernah mengajar sebelumnya? Aku tidak benar-benar yakin.

Pertanyaan itu membuat sesuatu turun pada kerongkonganku. Besarnya seperti sebuah guli, tetapi dia tidak berada disana untuk waktu yang lama. Aku bisa menelannya dengan dua atau tiga kali tarikan nafas, dan kerongkonganku lancar kembali. Meskipun kenyataan ini berbeda, aku tidak merasa terlalu kaget kalau seandainya kenyataan itulah yang sedang berada saat ini, di dunia ini. Entah ini memang dunia sebelumnya dengan sebuah pergantian kecil, ataukah ini dunia yang benar-benar baru?

Tidak sulit membayangkan seorang guru untuk tidak mengenaliku. Tetapi kalau Yuni yang berusaha sekuat tenaga untuk mengenal semua orang ( hal ini sudah menjadi semacam filosofi untuknya ) tidak mengenaliku, maka sudah jelas kenyataan yang kukenal telah bergeser dari tempatnya.

Meskipun aku sendiri yang mendoakan hal ini untuk terjadi, aku tidak yakin bahwa ini benar-benar sebuah anugerah. Apakah ini kutukan? Tentu saja. Ini hukuman untukku. Karena mendoakannya untuk terjadi, kenyataan berubah untuk menghukumku. Menghukum keegoisanku untuk sungguh-sungguh memikirkan hal yang tidak masuk akal. Ketika koin itu menghilang dari permukaan meja, disanalah dunia berubah. Artinya dia mendarat pada angka, aku yang menang, maka dunia mengabulkan permintaanku. Membuat dunia yang cocok untuk dosa yang telah kuperbuat.

Aku tahu diri, karena itu aku tidak menjelaskan apapun. Aku meminta izin kepada guru, mengemas barang-barangku, kemudian pergi. Aku tidak mengatakan namaku kepadanya, lagipula nama itu pasti tidak ada disana. Nama itu tidak akan ada dimanapun. Erika Kurosaki sudah menghilang sepenuhnya dari dunia ini.

Tidak ada yang mengejarku, atau menghentikanku. Tidak ada gunanya mengurusi orang yang tidak ada-- tidak PERNAH ada, bukan? Mungkin mereka hanya mengira aku salah masuk kelas, dan kemudian keluar dengan panik ketika menyadari hal itu. Tidak masalah. Lagipula itulah yang kuinginkan. Sebuah kekosongan yang nyata. Hilangnya makna dari pandangan orang-orang terhadapku.

Sebuah kertas yang sangat putih. 

The Apocalypse - A Compilation of Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang