Pria dengan tongkat

3 0 0
                                    

Pria itu duduk di kursi taman kota sembari menebarkan remahan roti kepada burung-burung yang berkumpul di depannya. Dia mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke permukaan lantai. Umurnya kira-kira delapan puluh, mungkin delapan puluh lima? Dia sendiri tidak ingat. Nyatanya, dia sama sekali tidak mengetahui kapan ia dilahirkan. Dia lahir di zaman dan kebudayaan dimana orangtuanya tidak cukup peduli untuk mencatat tanggal kelahiran anak mereka. "Mungkin sekitar april atau mei, beberapa tahun sebelum perang dunia." Ujarnya ketika ditanya tentang tanggal kelahirannya. Kalau ditanya bagaimana ia tahu tentang umurnya, ia akan menjawab. "Aku merasa tua."


Dia tidak pernah belajar baca tulis, setidaknya sebelum ia berumur tiga puluh tahun. Dia tidak pernah bersekolah, atau mengikuti bentuk pendidikan formal apapun. Pekerjaan utamanya adalah berdagang. Orangtuanya memiliki ladang di desa dan merupakan kewajibannya untuk menjual hasil panen mereka di kota sejak ia masih kecil. Pada mulanya, ayahnya akan membawanya ke kota dan mengajarkannya cara berjualan. Mereka tidak menjualnya ke toko atau semacamnya, tetapi secara langsung menggelar tikar di pinggir jalan dan menawarkan hasil panennya kepada orang-orang yang berlalu lalang. Setelah dua tiga kali ditemani, dia disuruh untuk pergi ke kota sendirian dan sejak itu terbiasa berjualan secara mandiri.


"Biasanya aku akan bangun pagi sekali, supaya bisa sampai ke kota sebelum jam sepuluh. Aku juga tidak akan pulang sebelum semuanya terjual. Terkadang, aku tinggal disana selama tiga puluh enam jam. Tentu saja, semakin sulit menjual sayur-sayuran yang sudah mulai basi. Tetapi dengan itu aku bisa menjual lebih banyak dari yang seharusnya dan kami akan dapat cukup uang untuk makan selama beberapa hari. Itulah pengorbanan yang kulakukan selama dua puluh tahun pertama hidupku."


"Kegiatan itu membuatku terbiasa dengan kehidupan kota... Aku sering kali melihat anak-anak yang bermain dengan riang bersama teman-temannya. Terkadang aku melihat seseorang yang cukup beruntung untuk memiliki sebuah mobil. Pada masa itu, mobil adalah barang langka. Sangat langka. Kau harus benar-benar kaya untuk bisa memilikinya. Aku ingat sekali dulu berikrar kepada diriku sendiri bahwa suatu saat aku akan memiliki mobil yang bisa kukendarai sendiri. Itu adalah mimpi pertama dan satu-satunya mimpi yang kumiliki saat itu."


"Anak-anak kota berpakaian rapi. Mereka semua bersekolah. Terkadang aku melewati sekolah dan melihat mereka bermain sepak bola di lapangan. Kecemburuan muncul di hati kecilku, tetapi aku tidak pernah menuntut. Aku mengetahui posisiku, aku mengetahui dengan jelas apa yang pantas dan tidak pantas untuk kulakukan, bahkan kuimpikan. Saat itu, satu-satunya hal yang kupikirkan adalah bagaimana caranya menjual hasil panen sebanyak-banyaknya sehingga tidak ada yang terbuang."


"Kedua orangtuaku meninggal saat aku berusia tiga puluh tahun. Aku dan adik laki-lakiku merasa kewalahan mengurus lahan, jadi kami memutuskan untuk menjualnya dan pindah ke kota. Benar-benar bukan saat yang tepat. Saat itu masa perang dunia kedua. Aku pikir akan mudah mendapatkan pekerjaan, tetapi aku tidak memiliki pengalaman yang sesuai dengan yang mereka butuhkan. Umurku sudah sudang tanggung. Mau membuat usaha sendiri pun tidak akan berakhir baik mengingat zamannya. Karena itu aku memutuskan untuk bekerja di angkatan darat. Awalnya umurku akan kembali menjadi kendala, tetapi tampaknya mereka tidak begitu memikirkan hal itu. Mereka hanya butuh bidak yang bisa digunakan untuk melawan musuh. Selama kau bisa memegang senjata, itu tidak masalah. "


"Seragam angkatan darat merupakan pakaian terbersih yang pernah kukenakan. Seumur hidupku aku tidak pernah menggunakan kaus kaki dan sepatu sebelumnya, karena itu ketika pertama kali diberikan, aku hanya berdiri disana selama tiga puluh detik, meresapi bagaimana rasanya mengenakan sepatu dengan kaus kaki." Dia menemukan kaus kaki lamanya baru-baru ini. Kaus kaki yang sama persis ia gunakan selama melayani angkatan darat. "Seperti yang kau lihat, aku berhasil selamat dari perang dunia. Aku pernah tertembak, berkali-kali. Yang paling parah adalah ketika aku kehilangan kakiku. Tetapi sesungguhnya aku cukup bersyukur. Kalau seandainya aku berada lebih dekat dengan granat, bisa jadi aku tidak hanya kehilangan sebelah kakiku."


"Sungguh, tidak banyak hal yang bisa kau lakukan setelah melewati umur empat puluh. Dulu aku benar-benar mengira aku akan pergi dari dunia ini saat umurku enam puluh. Tetapi aku cukup beruntung untuk bisa hidup selama ini."


"Setelah perang dunia berakhir, aku tetap berada di angkatan darat untuk waktu yang cukup lama, tetapi hanya menunggu waktu sampai mereka menyadari orang berkaki satu tidak akan bisa memberikan kontribusi yang cukup berarti. Sepulangnya dari angkatan darat, aku tinggal dengan adikku. Dia tidak ikut perang. Dia berhasil mendapatkan pekerjaan di kota, dan mengumpulkan cukup banyak uang, ditambah dengan hasil penjualan lahan kami, untuk membangun usahanya sendiri. Dia menjadi cukup kaya ( dibandingkan dengan kehidupan kami sebelumnya ) selama aku berada di angkatan darat."


"Aku benar-benar tidak punya hal lain yang bisa kulakukan. Jadi selama paruh ketiga kehidupanku, aku memutuskan untuk bekerja sebagai penjaga perpustakaan. Itu pekerjaan termudah yang dapat kubayangkan. Tugasku hanyalah duduk dan meminjamkan buku. Ada orang lain yang jauh lebih muda dariku yang mengurusi hal-hal yang merepotkan ( hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan pustakawan yang sebenarnya ). Karena itu aku bisa duduk disana sambil membaca buku yang ada di perpustakaan."


"Saat itu umurku hampir lima puluh, tetapi itulah pertama kalinya aku memiliki pengalaman belajar. Orang lain belajar tentang ilmu alam ketika mereka masih sangat kecil di sekolah. Aku sendiri baru saja mengenal apa itu gravitasi saat aku sudah kehilangan satu kaki, bekerja di militer dan cukup tua untuk dipanggil kakek oleh orang lain. Selama aku berada disana aku terus membaca buku yang mereka punya-- Aku akan jujur padamu, aku tidak memahami hampir sebagian besar buku yang kubaca, tetapi tetap saja mereka semua menarik perhatianku."


"Aku akhirnya menikah saat berusia enam puluh tahun, dengan seorang wanita yang berumur sepuluh tahun lebih muda dariku. Kami bertemu dengan tidak sengaja ketika sedang makan siang. Aku mengajaknya bicara dan sisanya berjalan dengan sendirinya. Dia adalah seorang janda. Suaminya tewas di medan perang setelah dua puluh tahun pernikahan mereka. Tentu saja kami tidak pernah memiliki anak. Itu bukan lagi pilihan untuk orang setua kami. Yang kami inginkan hanyalah bersama untuk sisa umur kami yang tinggal sedikit-- dan kalau memungkinkan, meninggalkan dunia ini bersama-sama. Nyatanya tidak seperti itu. Dia terlebih dahulu menyebrang karena terkena penyakit jantung. Saat itu tidak sampai genap sepuluh tahun pernikahan kami."


"Aku sendiri tidak pernah terkena penyakit apapun selama masa tuaku. Tidak ada kekurangan dalam kesehatanku, kecuali sebelah kakiku yang sudah hilang. Sejujurnya aku diam-diam mendambakan saat itu, saat dimana penyakit ganas akan menggerogoti tubuhku dari dalam, memberikanku kesempatan untuk akhirnya meninggalkan dunia. Tetapi hal itu tidak pernah terjadi sampai saat ini."


"Suatu hari anak dari adikku-- keponakanku-- mengunjungiku. Dia mengatakan ada sesuatu yang ingin dia tunjukkan. Saat itu aku sedang benar-benar sedih. Istriku satu-satunya baru saja meninggalkanku. Sesungguhnya pada saat itu aku benar-benar tidak memahami mengapa aku masih diberikan kesempatan untuk tetap hidup. Dia ( keponakanku ) mengajakku berjalan-jalan sebentar menggunakan kereta kuda, membawaku ke rumahnya. Disana, dia menunjukkan sesuatu yang sudah lama kuimpikan. Sebuah mobil pribadi. Dia bilang dia baru saja membelinya, dan dia mengetahui impianku tentang memiliki mobilku sendiri. Dia membawaku berkeliling kota, dia mengemudi dan aku berada di kursi penumpang. Sampai saat ini aku tidak akan pernah melupakannya; sensai duduk di kursi kulit, bau dari mobil itu, terpaan angin yang menghantam wajahku ketika kami memutuskan untuk sedikit lebih "liar". Itu adalah saat paling membahagiakan dalam hidupku, berada dalam urutan kedua setelah pertemuanku dengan istriku. Perjalanan itu juga berhasil membuatku melupakan tentangnya, mengobati luka hatiku, mengikhlaskan kepergiannya."


"Kau yakin tidak mau menyimpannya?"


Keponakannya bertanya setelah mereka melakukan perjalanan singkat mengelilingi kota dengan mobil barunya. "Tidak usah. Aku sudah cukup puas. Lagipula, aku tidak punya banyak waktu yang tersisa untuk belajar mengendarainya, terlebih lagi mengendarainya untuk bersenang-senang!"Roti yang dibawanya sudah habis. Saat itu, pandangannya sejernih air. Wajahnya tenang, matanya sejuk. Dia menatapku sejenak, kemudian mengucapkan perpisahan. Dengan menggunakan tongkatnya, dia berjalan perlahan melintasi taman, hingga akhirnya sosoknya tidak lagi terlihat.

The Apocalypse - A Compilation of Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang