Aku jelek

2 0 0
                                    


Aku jelek. 

Hal pertama yang kulakukan tepat setelah bangun tidur adalah untuk melihat diriku yang buruk rupa. Mata yang kecil, tajam dan berkantung-kantung. Pipi tinggi dan bersiku. Kulit kusam dan berbintik. Rambut panjang yang menutupi wajah, kasar dan tak terawat seperti sebuah sapu yang sudah digunakan selama sepuluh tahun. Aku melepaskan kaos, kemudian menyibakkan rambutku kebelakang, menampilkan tubuhku yang sama buruknya dengan wajahku. Pada bahuku yang tipis menggantung dua buah lengan yang tampak seperti sepasang pensil. Dadaku kecil dan tidak seimbang. Dibawah tulang selangka ku terdapat ruam yang berpendar keunguan. Aku menyentuh tulang  yang menonjol dari balik bungkus kulit, merasakan permukaannya yang bergelombang. Perutku melengkung kedalam, seperti sebuah jam pasir yang mengerucut secara tidak rata, dihiasi beberapa ruam pada perut atas, bagian sisi, dan pada bagian perbatasan dengan paha. Pinggulku sedikit menonjol. Kedua kakiku yang pendek menyilang, membentuk rupa layaknya huruf X.  Seluruh tubuhku tampak seperti sebuah balok yang memanjang dari batas leher hingga ke ujung kaki. 

Aku benci tubuhku.

Aku membenci diriku.

Tetapi Aku tidak bisa berpaling.

Pria mana pun pasti telah muntah tiga kali. Tetapi aku tidak bisa berhenti untuk terus menatap keburukan absolut yang merupakan diriku sendiri. Seperti ekstasi, kebencian dan rasa jijik mengalirkan kejutan yang membuat otot-otot tubuhku mengeras. Layaknya sebuah batu, tubuhku kaku dan tak bergerak. Jari-jariku menyentak, membuat gerakan mengepal dan membuka berulang kali. Jantungku bergedup, semakin kencang dan semakin kencang, menggetarkan tulang dadaku yang rapuh, seperti sebuah denyut mesin yang mengalirkan arus listrik pada setiap degupan ke setiap sudut tubuhku. Ketika aku melihat tetesan air liur yang berkumpul diatas lantai, aku menegakkan kepala dan menatap lurus, aku tidak menyangka wajahku yang buruk rupa dapat menampilkan ekspresi yang lebih buruk rupa lagi. 


Ayahku membanting pintu membuka. Ketika melihatku, ia memuntahkan isi perutnya di sudut kamar. Ruangan itu penuh dengan bau makanan sisa, bangkai kucing dan tikus, kotoran, serta campuran ikan, nasi, dan alkohol yang belum tercerna. Tangan raksasanya mencengkram leherku. Tangan yang satunya lagi menutupi wajahnya. Dua jarinya menekan matanya keras keras seakan ingin mencongkel mereka keluar. 

"Sedang apa kau?"

Aku gadis jelek yang terlahir di keluarga jelek. 

Bagaimana rasanya untuk menjadi gadis cantik? Aku bertanya tanya kepada diriku. Pasti asik bukan? Memiliki rupa yang ideal dan indah. Wajah yang testruktur bagai titisan dewi kecantikan, bukannya wajah yang tanpak seperti telah disengat dua ratus ekor semut. Tubuh yang melengkung, ramping namun berisi, bukannya lemari pakaian. Bola mata yang bersinar bagaikan ditaburi bintang-bintang, bukannya bola mata yang tampak seperti dituangkan seember kotoran. Kulit yang mulus dan mengkilau, bukannya permukaan jalan yang digerus hujan asam. 

Apakah menyenangkan untuk menjadi pusat perhatian? Sepertinya iya. Kalau tidak, buat apa orang-orang ini menghabiskan begitu banyak usaha untuk tetap tampak cantik? Mungkin aku salah. Mungkin mereka tidak berusaha sama sekali, dan terlahir dengan kesempurnaan. Ah, sungguh aku mengharapkan hal yang sama.  

Namun, kalau aku bisa cantik, apa yang akan kulakukan? 

Barulah aku menyadari kalau aku belum pernah memikirkannya. Mungkin aku akan meminta ibu peri untuk membuat tubuhku lebih tinggi dan berisi? Kulit yang bebas ruam dan kotoran? Wajah yang mulus tanpa bintik? Bola mata yang bulat dan besar?

Ketika sedang asik memikirkannya, tubuh ayah sudah terkapar dengan perut terbuka dan leher terbelah. Kedua tanganku menggenggam sepasang gunting yang tadinya ingin kugunakan untuk memotong rambut. Di kamarku sekarang tercium campuran bau makanan sisa, bangkai kucing dan tikus, kotoran, alkohol, nasi dan ikan yang tak tercerna penuh, dan darah. Aku memiringkan kepala, dan berpikir keras, kemudian menjongkok, mengambil kubangan darah yang belum mengering, kemudian berjalan ke depan kaca, menyiramkan darah ke wajahku. Kuangkat jari, kemudian ku gambar sebuah garis melengkung ke atas, dari pipi ke pipi, pada bibirku yang merengut. 

Aku luar biasa cantik. 

The Apocalypse - A Compilation of Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang