Untuk membahas tentang kisah ketika kejatuhan merupakan persoalan yang unik. Selain skalanya yang luar biasa besar, tidak ada kesimpulan yang bisa diambil secara gamblang. Ketika kau bertanya kepada seseorang, mereka akan menceritakan tentang kejatuhan dengan penuh semangat. Bahkan ketika yang bercerita sudah tidak lagi bisa berjalan, melihat, atau bahkan mengutarakan kata-kata dengan lidahnya. Tetapi ketika kau menanyakan hal yang sama pada orang yang berbeda, maka berbeda pula kisah yang ia berikan. Setiap orang memiliki versi mereka masing-masing tentang kejatuhan. Tetapi satu hal yang pasti, yang tepat serupa dari semua cerita itu, ialah histeria. Histeria tidak pernah absen dari cerita siapapun. Itulah fakta yang terus utuh, konkrit, dan tidak pernah tergerus masa meski kejatuhan sudah terjadi berabad-abad yang lalu.
Seorang pelukis dari zaman kejatuhan pernah diminta untuk mendeskripsikan peristiwa kejatuhan. Tentu saja dengan menggunakan kuas dan kanvas. Kau dapat melihat keraguannya dengan jelas. Ia sendiri kebingungan ketika mencoba menggambarkan seperti apa zaman kejatuhan itu. berkali-kali ia menurunkan kuasnya, dua sampai tiga menit, kemudian kembali melukis, kemudian menurunkannya lagi, dan kembali melukis dua sampai tiga menit berikutnya.
Sang pelukis menggambarkan seorang pria-- atau setidaknya sesuatu yang menyerupai seorang pria. Kepalanya berbentuk lonjong besar. Jari-jarinya pendek dan mampat, semuanya memiliki panjang yang serupa. Bibirnya terkatup rapat-- dengan keahlian sang pelukis ia berhasil membuat citra dimana bibir itu tampak bergetar-- mengekspresikan bukan rasa takut, seperti penolakan, seperti memakan sesuatu yang pahit, dan membiarkannya berada di dalam mulutmu. Tempat yang seharusnya didiami oleh bola mata tertutup kulit, tetapi dari tempat yang sama mengalir air, seakan-akan figur tersebut sedang menangis. Kedua tangannya menutup telinga rapat-rapat.
Seorang wanita tua yang selamat dari zaman kejatuhan memberikan reaksi yang berbeda ketika ditanya tentang masa tersebut. Mendadak, bibirnya terkatup rapat. Wajahnya tak ada ubahnya dari sebuah patung. Dia akan terus begitu selama delapan jam. Delapan jam berikutnya, ia akan mengambil sebuah kertas, kemudian menuliskan kata-kata acak yang seakan sedang membaca kamus dan menuliskan kata apa saja yang pertama kali ia lihat. Delapan jam berikutnya akan ia habiskan dengan menjerit, tidak peduli seberapa kering tenggorokannya.
"Dia akan melakukan itu selama sehari penuh dan tidak akan berhenti. Zaman kejatuhan adalah kata terlarang baginya."
"Aku ingat ketika pohon raksasa itu tumbuh." kakek buyutku, yang sekarang berumur kurang lebih lima abad, bercerita tentang Zaman kejatuhan. "Tidak ada yang bisa menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Pohon itu tumbuh begitu saja. Begitu besar dan begitu kokoh pula. Semakin hari ia semakin membesar. Akar-akarnya semakin tangguh. Daun-daunnya semakin lebat. Seluruh kota pada saat itu menjadi panik. Sinar matahari tidak lagi sampai kepada mereka. Semuanya panik, mencoba meninggalkan kota. Tetapi disaat yang sama semua orang tahu, bahwasannya tidak ada satu jiwapun yang bisa melarikan diri kali ini."
Seorang mantan prajurit perang dunia kedua, Alvin Straungger, memandang langit yang jauh diatas sana. Kelopak matanya mengerjap. Kataraknya bersinar dibawah cahaya matahari siang. "Sebagian orang benar-benar beruntung." Pupil matanya yang putih berkilat. "Teman-temanku, ayahku, istriku, anak-anakku, saudara-saudaraku... Mereka benar-benar beruntung. Mereka kehilangan nyawanya pada Zaman Kejatuhan, dan mereka sekarang berada di tempat yang lebih baik. Kami? Kami semua, orang-orang yang selamat dari Zaman kejatuhan, kami tidak seberuntung itu. Waktu sudah meninggalkan kami. Ia tidak lagi peduli dengan kami. Terkadang aku memimpikannya. Masa-masa ketika akhirnya ajalku tiba, dan aku bisa pergi dari dunia ini, ketika akhirnya semua berakhir. Tetapi itu tidak pernah terjadi. Tidak akan pernah."
Tidak ada yang mengetahui tepatnya, mengapa, bagaimana, kapan, dan apapun soal Zaman Kejatuhan. Mereka hanya mengetahui bahwa mereka pernah mengalaminya, dan mereka semua setuju bahwasannya ingatan itu bukanlah pengalaman yang menyenangkan. Apakah itu hukuman, ataukah mukzizat? Fenomena alam ataukah perbuatan manusia? Kesialan ataukah keberuntungan? Kita tidak akan pernah tahu, tidak ada cara untuk mengetahuinya. Tetapi yang jelas, zaman kejatuhan telah mengubah cara hidup kita, cara pandang kita, memberikan dampak yang besar dalam diri kita dan kita tidak pernah bisa lepas darinya. Tidak akan pernah.
Jam dinding berdenting dua kali. Pukul delapan pagi. Aku menutup buku, mengemasi barang-barangku, mengambil ransel, kemudian mengejar bis untuk pergi ke sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Apocalypse - A Compilation of Short Stories
Short StoryThe Apocalypse merupakan kumpulan cerita pendek tentang mereka yang tengah mengalami "akhir".