Padang Rumput

2 0 0
                                    


Cahaya bulan berpendar, menyebar menghiasi permukaan bumi. Aku mendapati diriku berbaring di sebuah padang rumput luas. Menatap kepada langit dengan bintang yang tak terhingga. Suara serangga ramai menyatu seperti sebuah garis lurus, kudengarkan lantunannya menembus telingaku, menstimulasi otakku seperti seorang pemijat pandai. Sudut sudut tajam rerumputan menggesek kulitku. Permukaan tanahnya lembab, mungkin baru turun hujan sekitar dua jam lalu. Kutelungkupkan telapak tangan, kemudian kutekankan jari jari seolah sedang menggali. Kupejamkan mata. Cahaya bulan menembus kelopak mataku. Jika matahari memberi kehangatan seolah seorang ibu yang sedang memeluk anaknya, cahaya bulan memberikan kenyamanan lembut bagai sentuhan sutra. Ketika aku memikirkan soal hal-hal yang berbeda, aku mendapati diriku untuk mengingat kejadian-kejadian di masa lalu. 

Aku mengingat keluargaku. Aku mengingat ibuku yang memasakkan makanan untukku setiap hari. Aku mengingat ayah yang mengajariku bagaimana cara berpanah. Aku mengingat adikku, saudara laki-laki yang kelahirannya tidak diinginkan siapapun. Aku mengingat masa ketika Ayah mengajak kami berburu. Ketika adikku berhasil menembak jatuh 4 ekor burung dan aku belum mendapatkan satupun. Ketika ia tengah memungut hasil buruannya yang kelima, dan ketika aku menembakkan panah ke tengkuknya. 

Aku mengingat Sofia, teman perempuan yang sangat kucintai. Kami tidak bisa terlalu sering bertemu, karena keluarga Sofia tidak menyukai ketika anaknya pergi keluar rumah. Sofia harus selalu kembali kerumah tepat ketika cahaya langit mulai kemerahan. Aku tidak menyukai ketika langit mulai kemerahan. 

Sofia dan aku sering bercerita soal banyak hal. Terkadang, aku membawa sofia untuk berkeliling. Sofia sering kali menolak, karena dia takut akan meninggalkan sebentuk bukti pada pakaiannya, atau wajahnya, atau tangannya, bahwa ia baru saja keluar dari rumah, meninggalkan kamarnya yang terisolasi penuh. Satu saat aku membawa sofia untuk bermain di sebuah sungai yang terletak pada kedalaman hutan. Agar pakaiannya tidak rusak, kami meninggalkannya di puncak pohon tempat kami bertemu, kemudian aku memberikannya sepasang pakaian anak lelaki yang kumuh. Sofia tampak jauh berbeda dari sebelumnya. Ketika ia tidak menggunakan pakaian yang mengembang, ia tampak seperti anak-anak lainnya, dan ia menyukainya.   

Sungguh, betapa sederhana kehidupan!   

Aku mengangkat tubuhku ke posisi duduk, membersihkan rumput yang kulit punggungku, kemudian menatap jasad sophia yang tertidur anggun tepat disampingku. Wajahnya bercahaya memantulkan sinar bulan, menampilkan emosi yang tak dapat kupahami. Bukan kemarahan, perasaan dendam atau kedengkian; itu jauh berbeda dari sofia yang kukenal. Tetapi juga bukan perdamaian atau semacam bentuk kenyamanan yang kuharap untuk dia dapatkan. Kulit putihnya bersinar kebiruan. Kelopak matanya tertutup. Bibirnya kecil dan sedikit melengkung turun. Rambutnya menjalar pada permukaan padang rumput, bagaikan akar tanaman yang mencari nutrisi. Aku mengangkat tanganku, membuka kelopak mata kanan sofia, menampilkan pupil hijaunya yang menatap langsung kearahku. 

"Apakah kau kesepian?"

Sebuah bola cahaya bersinar kekuningan di tengah kegelapan malam, melayang tepat dihadapan kami berdua. 

"Tentu saja tidak. Aku punya banyak teman!"

"Lantas, kenapa kau berada disini, pada saat ini. Bagaimana kau bisa sampai kesini?"

Aku melihat sang peri dengan tatapan kosong, kemudian berpikir sambil mencabut beberapa helai rumput yang menempel di pahaku. 

"Entahlah." Balasku akhirnya "Aku juga tidak mengetahuinya." 

Kemudian aku mendongakkan kepala, kembali menatap rembulan yang tersenyum jauh diatas sana. Merasakan cahaya yang memberikan kenyamanan selembut sutra--

Kemudian aku menangis sekeras yang aku bisa. 

The Apocalypse - A Compilation of Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang