Berawal dari aku yang ditarik paksa oleh Harin, temanku, ke sekretariat klub fotografi.. aku melihat sosok Taeho dengan manik mataku sendiri.
Aku, Ji Yunhee, tak pernah lupa akan apa yang terlintas di benakku ketika kali pertama melihat langsung lelaki jangkung itu.
'Dia memang benar.. tampak seperti anak nakal.'
Ya. Jika berbicara tentang lelaki bertampang tengil itu, empat puluh delapan jam bahkan tak akan mungkin cukup bagiku.
Seo Taeho. Nyaris seluruh fakultas mengetahui sosok lelaki itu. Wajahnya cukup tampan. Namun, kesan pertamaku ketika memandangnya bukanlah pada ketampanannya. Di mataku, ia hanya tampak.. berantakan.
Rambut hitam yang jatuh menutupi dahinya tampak begitu acak-acakan. Tampak pada daun telinga kanannya, tindik berwarna keperakkan tertanam disana. Pakaian yang dikenakannya pun kerap sama, dan sejenis rupanya.
Jika tak kaus dan kemeja kotak-kotak, ya kaus dan jaket jeans andalannya. Bahkan di bulan-bulan terakhir musim dingin ketika kali pertama aku melihat sosok Taeho di sekretariat klub foto, ia hanya menambahkan jaket hitam pada gaya berpakaiannya.
Detik itu juga, aku menilai bahwa ia adalah orang yang tak peduli akan apapun, kecuali dirinya. Ya.. aku belum mengenalnya, memang. Tapi tak mengenalnya sekalipun.. ia pasti adalah seorang yang nakal, semaunya sendiri, kasar, dan cuek, bukan?
Tidak, aku salah. Salah besar. Aku tak tahu apa-apa soal Taeho yang kubicarakan waktu itu. Aku menyadarinya.. ketika suatu hari di musim semi, desakan memaksaku untuk berbicara padanya secara langsung.
✘✘✘
"Mengapa tak temanmu saja yang mengambil kamera itu kemari? Ia yang meminjamnya, dan bukan dirimu."
Taeho mendengus dan terpaksa beranjak dari posisi duduknya di lantai. Lelaki berjaket hitam itu pun mengulurkan tangannya ke atas, dan tanpa perlu berjinjit lagi, ia meraih wadah kamera DSLR di rak paling atas.
"Hey, jika aku jadi kau.. aku takkan mau mengambilkan kamera itu untuk temanku."
Taeho yang terus mengulang inti kalimat yang sama sejak Yunhee tiba, sontak mengundang refleks gadis bertubuh mungil itu untuk bertanya.
"Memangnya, kenapa?"
Terlambat untuk menyesali, Yunhee hanya berharap Taeho mengacuhkan pertanyaannya saja daripada menjawabnya dengan kasar.
Tapi, lelaki yang pada mulanya berniat langsung memberikan kamera itu pada Yunhee, menahannya kembali.
"Dengar. Ini bukan perkara besar, memamg. Tapi, seseorang yang meminta ijin untuk meminjam barang orang lain, harus mendapatkan barang itu dengan tangannya sendiri. Itu adalah bentuk kecil dari tanggung jawab. Jika temanmu saja tak mau melakukan ini--apapun alasannya--, bagaimana tanggung jawab yang lebih besar akan dibebankan padanya suatu hari nanti?"
Lalu, Taeho menyodorkan kamera itu pada Yunhee. Sekali lagi, ia melanjutkan ucapannya.
"Ini. Lain kali, jangan mau jika ia menyuruhmu hal-hal seperti ini lagi. Kau boleh bersikap baik, tapi jangan terlalu baik. Kau boleh percaya pada orang lain, tapi jangan terlalu percaya. Mengerti?"
Yunhee mengangguk, pelan. Ia masih tak menyangka kata-kata semacam itu keluar dari mulut seorang Taeho yang berpenampilan bak berandalan.
"T-Terimakasih banyak. Akan.. kukatakan pada temanku. Kubawa dulu kameranya, nanti temanku sendiri yang akan mengembalikannya. Sekali lagi, terimakasih."
Belum sempat Yunhee berbalik, Taeho--yang hanya seorang diri di sekretariat klub-- menahannya dengan sebuah pertanyaan.
"Sebentar. Maaf, siapa tadi namamu? Yul.. hee?"
"Yunhee. Ji Yunhee"
ㅡ
no idol visualization, remember? ♡
KAMU SEDANG MEMBACA
y o u ✓
Teen Fiction"Aku tak tahu spesies manusia sepertimu masih ada di dunia." ©2018, amyoungiya_