••• 12 •••

12 2 0
                                    

Keesokan harinya, Axel mengulanginya lagi. Ia sengaja tidak langsung pulang karena dia masih ingin berbicara banyak dengan Darren.

Sebelumnya, Axel selalu rutin menjalani latihan diklubnya karena mau tidak mau setelah pulang sekolah ia langsung dijemput oleh mobil seolah dipaksa untuk mengikuti latihan.

Namun, sejak tinggal bersama Ezra. Semua bodyguard Alvi ikut pergi ke Jepang untuk membantu pekerjaan yang menumpuk. Alvi mempercayakan semuanya pada Axel.

"Ayah berharap kau harus rutin latihan!"

Seketika kalimat itu kembali terngiang di telinga Axel yang sedang menunggu datangnya suara merdu dari sang biola.

Sebuah instrumen baru akhirnya mulai terdengar. Axel yang menantikan suara ini memejamkan matanya dan tersenyum.

'Sekarang dia bermain bersama piano'

Axel sangat menikmati setiap nada yang membuatnya menjadi candu. Nada dari alat musik yang berbeda dari sebelumnya. Kali ini terkesan lebih lembut dan teratur.

Axel membuka matanya saat alunan menyejukkan itu terhenti. Sebuah langkah kaki yang semakin mendekat padanya membuatnya semakin penasaran.

"Heii" -Darren

Darren berdiri di samping Axel sambil menatap langit dengan senyumannya yang manis.

"Kau selalu kesini ya?" -Darren

"Mm.. Tidak juga, hanya kalau aku ingin" -Axel

"Begitu ya" -Darren

"Kurasa kau jarang terlihat keluar kelas" -Axel

"Ya kau benar. Aku tidak punya teman dan aku juga tidak ingin" -Darren

"Kenapa? Bukankah setiap orang sangat ingin punya teman" -Axel

"Karena aku beranggapan bahwa teman tidak akan selalu ada untukku, tapi musik akan selalu ada bersamaku" -Darren

"Kau sangat suka musik? Alat musik apa yang paling kau kuasai?" -Axel

"Gitar. Suatu hari kau memainkan gitar dan rasa nya seperti orang bodoh dan sangat payah, tapi suatu hari kita memainkan gitar dan dapat memainkan nya dengan bagus, kita akan merasa hebat, itu karena 'Kita selalu berbeda tiap hari, namun gitar itu selalu sama'." -Darren

"Kau benar. Sebenarnya aku tidak terlalu suka dengan musik, mungkin karena aku tidak mengerti. Tapi aku mulai menyukainya saat aku berdiri disini" -Axel

Entah apa yang membuat Axel kehilangan dirinya yang sebenarnya. Ia menjadi banyak bicara saat berada disamping Darren. Seakan ia tidak sungkan mengutarakan semua perasaannya pada Darren.

Sebenarnya Axel sudah sadar akan perubahan pada dirinya saat berbicara pada Darren. Tetapi ia tidak bisa menahannya, ia malah semakin nyaman berbicara leluasa seperti ini. Tidak ada tekanan, gengsi dan keegoisan.

Darren membalas kalimat Axel dengan senyuman teduhnya.

"Aku akan membuatmu lebih menyukainya" -Darren

Darren memicingkan matanya sembari tersenyum jail pada Axel.

"Tidak perlu membuatku suka pada musik. Cukup mainkan lagu setiap hari dan aku akan mendengarnya" -Axel

"Selain musik, apa kau suka hal lain?" -Axel

'Uhh! Apa yang kau katakan Axel!' dalam hati Axel menjerit seakan ingin menarik kembali kalimat itu.

"Aku suka semua yang berbau seni. Aku sudah menguasai musik dan sekarang aku sedang mengembangkan kemampuanku dalam melukis" -Darren

'Dia lelaki feminim ya'

Seakan Darren dapat membaca pikiran Axel.

"Jangan menganggap aku mempunyai hobi yang membuatku terlihat seperti lelaki lemah. Ini tidak yang seperti kau pikirkan. Aku hanya merasa nyaman saat mengungkapkan perasaanku lewat seni" -Darren

"Ti tidak, aku tidak berfikir begitu. Ada berapa lukisan yang kau buat?" -Axel

"Tidak banyak. Aku masih harus memperdalam beberapa teknik" -Darren

Mereka saling diam untuk beberapa menit. Mungkin mereka masih memikirkan topik yang akan dibahas selanjutnya.

"Kau sendiri bagaimana?" -Darren

"Aku? Apanya?" -Axel

"Apa tidak ada yang ingin kau ceritakan?" -Axel

"Mm... Akuu ikut klub beladiri" dengan nada ragu Axel berusaha mengatakan kalimat ini dengan perlahan.

"Wahh... Luar biasa! Boleh aku melihatnya sedikit?" -Darren

Mata Axel langsung berbinar mengeluarkan cahaya.

"Boleh!"

Axel langsung mengambil jarak untuk bersiap melakukan beberapa gerakan yang ia kuasai. Ia melakukannya dengan lincah dan sangat hati - hati. Gerakan Axel saat ini sangatlah sempurna, tidak gegabah seperti saat ia lakukan diklubnya, bertarung dan berkelahi dengan musuhnya.

Plok.. Plokk... Plokkk...

Darren memberikan tepuk tangan yang meriah sambil tertawa lebar. Inilah pertama kalinya Axel melihat Darren tertawa selebar ini, biasanya ia hanya kengandalkan senyum tipisnya.

"Kau hebat!" -Darren

"Terima kasih" -Axel

Mereka tertawa dan tersenyum bersama, kekaguman terlihat diwajah mereka satu sama lain.

.........

"Darimana saja kau. Mengapa kau sering pulang sore sekali bahkan hampir malam" -Ezra

"Aku... Latihan" -Axel

"Aku tahu kau tidak pernah latihan. Kau selalu bertemu dengan anak baru itu kan setiap pulang sekolah" -Ezra

"Iya, memangnya kenapa? Apa kau akan menjadi ayah keduaku yang selalu membatasiku melakukan apapun!?" -Axel

Emosi Axel tiba - tiba saja tersulut, nada bicaranya menjadi lebih tinggi.

"Heh! Lebih baik aku mengatur pola makan dan tubuhku daripada repot mengaturmu" -Ezra

"Oiya, memangnya kenapa ayahmu?" -Ezra

"Tidak"

"Axel, apa kau tidak mau bercerita padaku? Setidaknya hanya 10%?" -Ezra

"Apa yang harus aku ceritakan?" -Axel

"Axel, aku tahu kita masih baru saja dekat. Aku tidak tahu kau menganggapku apa. Tapi yang pasti aku menganggapmu sebagai temanku, aku selalu menahanmu saat berkelahi dengan seseorang bukan karena aku meremehkan kekuatanmu, bukan karena menanggapmu lemah sebagai perempuan. Tapi aku hanya ingin melindungi harga dirimu sebagai wanita yang seharusnya bersikap lembut dan sopan tidak seharusnya kau menjadi perempuan yang kasar dan suka berkelahi. Kuharap kau mengerti"
-Ezra

"Ezra, jangan menganggapku suka berkelahi maka aku tidak bisa berpikir dan hanya mengutamakan egoku. Kau tidak tau bagaimana tertekannya aku mempunyai sifat seperti ini" -Axel

Terima kasih 💖
Mohon maaf 🙏
^_^

Accept Me! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang