Yahiko menghentikan jalan kudanya dan menatap gua di depannya. Ia sudah memantapkan hatinya agar masuk ke dalam gua itu, kemudian menuntun pasukannya masuk ke sana.
"Apakah anda yakin, Yahiko-sama?" Tanya Jenderalnya. Yahiko hanya melirik sekilas dan tetap menjalankan kudanya.
"Kau bisa pergi jika tidak ingin mengikutiku. Dan jangan tunjukan wajah pengecutmu itu lagi di hadapanku." Ujarnya sarkasme. Kentara sekali bahwa ia jengkel kepada bawahannya yang banyak tanya itu.
"Ma-maafkan saya, Yahiko-sana. Saya tidak akan bertanya lagi." Gagap Jenderal itu salah tingkah. Yahiko hanya mengacuhkannya.
Lorong di gua itu semakin sempit, jadi mereka terpaksa harus berjalan kaki. Dua prajurit berjalan di depan Yahiko dengan membawa obor sebagai penerangan lorong yang gelap dan lembab. Mereka berjalan dengan waspada.
.
.
.
"Astaga, bau para manusia itu begitu memuakkan. Apakah aku harus membunuh mereka semua? Setidaknya bau darah mereka lebih baik." Keluh Toneri sedari tadi. Sasori dan Sasuke begitu kesal pada vampir satu itu sedangkan Gaara biasa saja. Lebih terkesan tidak perduli karena yang ia pikirkan sekarang hanyalah lambaian dari kasur dan bantal-bantal empuknya yang sangat menggoda untuk ditiduri. Hei! Kenapa kau membuatnya sangat ambigu?Suasana itu terus berlanjut hingga mereka sampai di depan pintu gerbang yang sangat megah dan besar. Pintu berlapis batu itu membuat mereka mendongak untuk melihatnya.
"Bagaimana cara kita membuka pintu ini?" Tanya Toneri pada dirinya sendiri dan mungkin mahkluk-mahkluk di sebelahnya ini. Itu pun jika mereka mau mendengarkan pertanyaannya.
"Tidak ada yang tahu kecuali Naruto. Dan kurasa kita harus menunggunya yang sedang bermain sekarang. Lagipula kita tidak akan bosan dengan para manusia itu. Kita akan bersenang-senang selagi menunggu lelaki konyol itu haha." Jawab Sasori. Toneri hanya mengendikkan bahunya.
Gaara kemudian menghampiri salah satu dinding yang cukup tersembunyi lalu membaringkan tubuhnya di sana, "Tidak, terimakasih. Aku pikir aku akan bersenang-senang di dalam mimpi saja." Ujarnya singkat dan tak lama kemudian, terdengar suara dengkuran samar dari pemuda panda itu. Ternyata dia sudah tertidur dengan pulasnya.
Sakura hanya menatap mereka dengan kebingungan yang tercetak jelas di wajah manisnya. Jelas dia tidak mengerti suasana di tempat ini namun entah mengapa ia seperti mengenal tempat ini samar-samar. Jadi, dengan mengikuti naluri saja, Sakura berjalan menuju pintu gerbang aneh yang familiar itu. Toneri, Sasuke, dan Sasori hanya memperhatikan gerakan aneh Sakura.
"Aku.. aku tahu cara membuka gerbang ini. Tetapi aku tidak yakin mampu melakukannya sendirian." Ucapnya membuat keempat pemuda di sana cukup terkejut. Bahkan Gaara langsung membuka matanya.
"Aiih... kenapa kau tak bilang dari awal?" Toneri mengacak-acak rambutnya frustasi.
"Bagaimana aku bisa memberitahu kalian jika tak ada yang bertanya? Konyol. Lagi pula, aku kan sudah bilang jika aku tidak yakin mampu melakukannya sendirian." Ujar Sakura sarkas membuat Toneri malu sendiri.
"Kenapa kau tidak mampu melakukannya sendirian? Jika kau tidak bisa mendorong gerbangnya dengan tangan-tangan mungilmu itu, baiklah! Aku yang akan melakukannya untukmu!" Ucap Toneri dengan kecenya. Upaya agar ia tidak kehilangan muka di depan gadis manis tersebut.
"Membuka gerbang ini tidak bisa memakai otot, tetapi memakai otak. Kau paham maksudku?" Sekarang Sasorilah yang membuat Toneri gelagapan. Dalam hati, Toneri mengutuk kedua kakak adik itu. 'Sial! Kupikir ibu mereka memakan 5 kilogram cabe dan lada sebagai makanan penutupnya! Huhu... aku maluuu!!!! Lihat saja! Aku akan kembali ke perut ibuku dan membuatnya ngidam 10 kilogram cabe per hari!!' Batinnya merana.
"Aku tahu karakterku pendiam, tetapi kenapa aku tidak berbicara sama sekali padahal aku lah pemeran utama laki-laki?" Ujar Sasuke sembari mengais-ngais pasir di tanah membuatnya menggemaskan seperti anak ayam yang ditinggal oleh induknya. Tentu saja itu hanya ada di dalam pikiran Sakura dan para readers sekalian.
KAMU SEDANG MEMBACA
INNOCENT BLOOD
Teen FictionVampire, Iblis, bahkan Manusia ingin memilikinya. Banyak pertumpahan darah hanya untuk memperebutkan satu tujuan. Membuat setitik harapanpun terasa mustahil. . . 'Semoga mereka semua mati.' . . 'Pantaskah aku?' . . 'Aku hanya ingin bahagia seperti...