"Aku mau yang itu, Onii-chan. Cepat berikan!" Sekarang Sakura merengek seperti anak kecil. Yeah, ia memang masih bocah kecil yang manis di mata Sasori.
Saat ini saja Sakura sudah ingin menangis karena tidak diperbolehkan Sasori memakan kue buatan pelayan di mansion itu. Ia hanya ingin Sakura memakan masakannya.
"Itu terlalu banyak gulanya, Saki-chan. Ku mohon mengertilah, kaupun sudah manis sekarang sampai-sampai aku hampir diabetes." Ucap Sasori gaje sembari memijit pelan pelipisnya.
"Ha?" Sakura yang memang tidak peka merasa kebingungan.
"Makan sup buatan Onii-chan saja, 'yah?"
"Gak mau! Supnya kelihatan aneh. Iih apa itu? Kaki katak?"
"Ini kaki ayam, Sakura."
"Ayam? Oh tidak! Sekarang temanku ingin dimakan?!"
"Apa? Sejak kapan kau berteman dengan ayam? Dan, Hei! Kau lebih peduli dengan ayamnya di bandingkan dengan Onii-ch-"
"Pokoknya gak mauuu taaauu! Hidupkan lagi ayamnya!"
"Tapi, Saki-ch-"
"Uuh! Apa itu?! Airnya berwarna hijau seperti ingus? Onii-chan, aku tak percaya kau mau memberiku makan ingus!"
"Cih! Itu sup pandan. Ck, kau ini. Cepatlah makan atau kau yang kumakan, hm?"
"Sekarang kaupun kanibal?"
"Apa? Bukan itu maksu-" Sasori langsung menghentikan penjelasan penting yang sebenarnya sama sekali tidak berguna itu.
"Ada apa, Onii-chan?" Diamnya sang kakak ternyata menarik perhatian sang gadis dengan iris emerald yang indah tersebut.
Sasori POV
Shit!
Gumamku dalam hati. Dasar penganggu. Hebat juga para hantu itu, bisa menemukan mansionku.
"Baiklah, Saki-chan. Aku akan memperbolehkanmu makan kue ini. Asal kau tidak keluar sedikitpun dari ruang makan. janji?" Kulihat Sakura hanya mengangguk patuh seraya mengambil cepat kue yang tadi aku jauhkan darinya.
Aku bangkit dari kursi dan beranjak pergi setelah sebelumnya menepuk pelan puncuk kepala Sakura.
"Onii-chan.." Aku menoleh ke arah Sakura. Ia tampak ragu-ragu saat akan mengatakan sesuatu.
"Ada apa?" Ucapku masih berada di tempatku berdiri.
"Hati-hati. Entah mengapa perasaanku tidak enak. Aku.. takut." Lirih Sakura. Ia menundukkan kepalanya.
"Terimakasih." Aku hanya tersenyum dan melanjutkan langkahku keluar ruangan.
'Tenang, Saki. Aku hanya ingin bersenang-senang sebentar dengan orang yang pernah menyentuh..
..hatimu.'
Normal POV
.
.
.
"Naruto. Kau kenapa?" Gaara menepuk pundak Naruto, sedangkan empunya hanya berjengit terkejut, "Gaara! Kau mengejutkanku saja, dasar kau TPA!" Ucapnya."TPA? Apa itu?" Gaara mengernyitkan keningnya heran.
"Hmm.. singkatan dari Tak Punya Alis." Naruto tersenyum watados. Gaara ingin sekali menonjoknya, "Cih!"
"Hn. Diamlah." Kali ini Sasuke yang melerai mereka.
Naruto dan Gaara hanya menurut saja. Mereka kemudian sampai di tempat yang cukup luas. Nampaknya tempat itu adalah taman mansion di sana. Walaupun tempat itu sangat indah karena memiliki berbagai macam bunga sehingga mengeluarkan bau yang sangat harum dan menenangkan, Sasuke tetap tidak peduli.
Mereka menghentikan langkahnya saat mata berbeda warna itu melihat siluet rambut merah.
Naruto membulatkan kedua matanya, "Dia.."
Sosok itu tersenyum miring. Entah mengapa ia merasa bangga ketika pria berambut kuning itu kaget. "Hm? Apa kau tahu siapa aku?"
"Iya tahu. Kamu pasti tukang kebun sini. Wah kamu hebat sekali bisa merawat kebun seluas ini. Aku sangat kagum padamu, Tuan Tukang Kebun." Ucap Naruto berjalan lalu merangkul sosok itu sok akrab.
"Ck, Lepaskan tangan kotormu itu, Brengsek. Dan aku bukan tukang kebun, namaku.." semua orang menoleh padanya.
"... Sasori Haruno."
Tbc.
A/N : Apa ini?? Singkat banget.
Maaf yah semuanya.. kalo nih fanfic singkat banget dan.. sabtu kemaren gak update.
Author mau cuti hiatus karena Author sedang ujian.. maklumlah... Author orang sibuk (digampar readers). Author gak tau kapan balik nulis lagi... tapi mungkin cuman sampai 1 minggu aj kyanya.. yaudah.. makasih juga dah ngikutin IB sampai sini.. sekali lagi maaf yah Minna-san.. jaa~
KAMU SEDANG MEMBACA
INNOCENT BLOOD
Ficção AdolescenteVampire, Iblis, bahkan Manusia ingin memilikinya. Banyak pertumpahan darah hanya untuk memperebutkan satu tujuan. Membuat setitik harapanpun terasa mustahil. . . 'Semoga mereka semua mati.' . . 'Pantaskah aku?' . . 'Aku hanya ingin bahagia seperti...