"Seandainya saja seluruh dunia ini adalah sebuah negara, maka yang layak menjadi ibukotanya adalah Konstantinopel"
(Napoleon Bonaparte)....
Seorang perempuan berjalan tergesa-gesa keluar dari apartementnya menuju kampusnya dengan kerudung pashminanya, serta tas coklat muda yang bertengger dibahunya, sesekali ia melirik benda yang melingkar ditangannya. Sepertinya ia takut terlambat datang ke kelas paginya. Dengan tergesa-gesa ia datang ke kelas, ia pikir ia sudah terlambat. Ternyata setelah sampai di kelasnya, tak ada satu orangpun yang sudah datang, yang ada hanyalah meja dan kursi yang seolah menyambutnya bersama sepi.
Itulah yang terjadi saat pertama kali aku datang ke kelas pagiku kali ini. Namaku Ammeera Adifa Shakira Husein. Adifa, begitulah semua orang memanggilku. Aku adalah mahasiswi tingkat akhir di universitas Marmara Istanbul, Turki, yang sekarang tengah menggarap dan menyelesaikan Tesisku. Dan ini tahun terakhirku berada disini.
Dan inilah Istanbul, salah satu kota terpadat di Turki, kota yang dulunya berjuluk Konstantinopel yang sangat kuat hingga Allah takdirkan Al-Fatih untuk menaklukannya pada tahun 1453, kota yang menjadi pusat dan ibukota kebudayaan di Eropa, kota yang mempunyai banyak sejarah yang tersembunyi dibalik ketenangannya, kota yang menjadi saksi bisu kemegahan Kesultanan Utsmaniah Ottoman yang jaya pada masanya, dan kota yang mampu memikat hati semua orang, termasuk hatiku yang ku tetapkan memilih kota ini untuk bersekolah disini.
Hidup dan tinggal di Istanbul selama kurang lebih empat tahun membuatku mempelajari banyak hal tentang setiap sudut kota ini. Biaya hidup di sini cukup lumayan mahal untuk makan atau biaya dasar hidup lainnya bisa saja menghabiskan 400 YTL (Yeni Turk Lirasi). Apalagi di Istanbul ini, untuk biaya transportasi, tiket subway dan bus untuk mahasiswa dapat dibeli hanya maksimal 20 kali perjalanan dikenakan 1 YTL untuk satu kali naik. Sementara Trem lebih mahal lagi, dapat mencapai 1, 5 sampai 3 YTL dengan menggunakan sistem 'jeton' yaitu sistem koin berlangganan.
Hidup disini selama 4 tahun, membuatku mau tak mau harus menguasai bahasa disini. Katanya bahasa adalah jendela dunia. Seharusnya bahasa bisa menyatukan tanpa pertengkaran. Dengan bahasa kita bisa berinteraksi dengan semua orang di dunia. Dengan bahasa semuanya menjadi mudah, tidak menjadi ambigu. Coba saja kalau kita hanya menguasai satu bahasa, dan kita berkunjung ke manca negara, dan kita lagi kena apes dimarahin sama turis, mau dimarahin kaya gimanapun kalau kita ngak tau apa yang dia omongin karena kita kurang paham bahasanya, ya kita hanya bisa diem, walau kita benar sekalipun.
Atau lebih apes lagi kalau lagi kecopetan seperti Zahir, temanku. Niatnya mau laporan kehilangan malah jadi kejadian yang menegangkan, dan bingung. Bingung mau jawab apa, karena kosa kata yang dia punya hanya sedikit, ya sudah jadinya terima nasib. Hanya bisa pasrah mendengar polisi itu berbicara seperti ceramah khutbah sholat jum'at. Katanya kayak belajar bahasa plus nambah grammar di kantor polisi. Apalagi bahasa disini dan Indonesia itu jauh berbeda, mau tidak mau harus belajar secara besar-besaran untuk mempelajari bahasa Turki ini, apalagi mengingat tidak hanya negara Turki saja yang menggunakan bahasa ini tetapi juga diperaktikan secara luas seperti, di Serbia, Yunani, Rumania, Bulgaria, Azerbaijan dan Albania.
Ya, hidup di kota yang terdapat di dua benua ini memang bukanlah perkara yang mudah, jauh dari keluarga, orang yang kita sayang, saudara, kampung halaman dan terutama jauh dari sosok ummi. Ummi yang selalu membuatkanku sarapan dipagi hari, kini aku harus membuatnya sendiri, yah walaupun itu bukan hal berat bagiku. Tetap saja masakan ummi nomer satu di hatiku. Tak ada lagi suara yang membangunkanku, tak ada lagi pelukan hangat obat penenangku, tak ada lagi suara lembut yang biasa aku dengar setip hari. Yang ada hanyalah suara hiruk pikuk padatnya aktivitas di negara orang. Apalagi di sini, di apartemenku yang ada setiap harinya adalah suara gesekan lembaran buku yang dibalik lembar demi lembar, serta suara ketikan laptop. Bosan. Yah, memang sangat membosankan, untungnya saja seiring berjalannya waktu suara lembaran buku dan mesin ketik itu berubah menjadi suara indah nan merdu setiap harinya. Itu karena aku sudah memantapkan diriku untuk menikmatinya. Walau bagaimanapun aku harus menyesuaikan diriku disini, karena orang baru-lah yang harus menyesuaikan, bukan orang lama yang harus mengubah untuk menyesuaikan. Dan aku memantapkan hatiku untuk menikmati setiap sudut kota ini, menikmati setiap keindahan yang Allah ciptakan disini.
••••
Sukron katsiran sudah membaca crita ini. Jangan lupa ibadah dan jangan lupa tinggalkan comen dan vott :v.
Vott kalian sangat berharga buat author🌸
KAMU SEDANG MEMBACA
[DRS] Cinta Dalam Iman
Romance--Ammeera Adifa Shakira Husein-- "Iman yang membawa cintaku berlayar walaupun tanpa sebuah pelabuhan." Cinta, aku percaya itu Fitrah dan Anugrah dari Allah Swt. Rasa Cinta yang membuat manusia hidup damai menyayangi sesama. Tapi, iman dia...