#9 Ternyata Kamu itu Asik

149 9 0
                                    

"Air hangat di tengah guyuran salju pada malam ini, di jembatan Galata ini, membuatku sadar bahwa kamu tak semenegangkan yang ada dipikiranku."

°°°

Setelah setengah jam duduk di mobil, tanpa ku sadari kini aku, Azzam dan pak Ahmeet sudah sampai di tujuan. Azzam beranjak turun dari mobil dan akupun mengikutinya.

"Marhaba Adifa, di Menara Galata." Kata Azzam sambil membentangkan kedua tangannya dan tersenyum tepat didepan menara kokoh berdekorasi batu bata ini.

"Masyaallah" entah mengapa aku malah mengeluarkan kata-kata itu, Allah Maha Kuasa menciptakan manusia dengan berbagai akal hingga mampu membangun bangunan yang tinggi nan kokoh dihadapanku kini.

"Ayo kita masuk." Ajak Azzam yang sudah lebih dulu berjalan didepanku bersama Pak Ahmeet. Akupun mengekor dibelakang Azzam dan Pak Ahmeet untuk memasuki menara ini. Setelah memasuki menara ini tak henti-hentinya mataku terpanah oleh pemandangan apa saja yang disuguhkan didalamnya.

"Fa, menara ini umurnya udah mencapai 600 tahun loh, udah sepuh banget yah. Sama seperti umurnya yang banyak, menara ini juga mempunyai sejarah yang banyak." Kata Azzam yang mensejejerkan langkahnya denganku, sementara Pak Ahmeet sudah berjalan didepan kami. Aku hanya mengangguk paham.

"Istanbul itu punya banyak menara loh mulai dari menara di Masjid Sultan Ahmed, menara di Istana Kesultanan, menara Hagia Sophia, dan lain-lain. Namun ada satu yang menjulang paling tinggi, yaitu Menara Galata ini. Menara batu setinggi 66,9 meter ini berumur lebih dari 600 tahun. Pertama kali beroperasi pada 1348 pada masa Kekaisaran Romawi menguasai wilayah kota yang pernah dinamai Konstantinopel ini. Awalnya menara ini bernama Christea Turris atau Tower of Christ, namanya berubah setelah Kesultanan Turki alias Kesultanan Utsmania merebut kembali kota ini dari Romawi dan mengubah namanya jadi Istanbul sekitar tahun 1400-an." Lanjut Azzam menjelaskan sambil terus melangkahkan kakinya.

"Jadi, nampaknya Istanbul punya tour guide khusus untukku." Kataku sambil berjalan menyusuri menara ini. Sedangkan Azzam hanya tersenyum dan terus mengikuti berjalan.

Azzam juga selalu menerangkan apa saja yang ada di dalam menara ini. Menjelaskan seperti bahwa selama ratusan tahun menara ini tetap berdiri tegak. Namun bukan berarti, tanpa cacat. Menara ini berkali-kali mengalami insiden hampir hancur tapi untungnya bisa diperbaiki kembali supaya tetap menjulang. Menara ini pernah hampir habis akibat kebaran. Atapnya juga pernah hancur diterjang badai. Namun pemerintah setempat selalu memperbaikinya kembali. Menara setinggi 9 lantai ini pernah dapat banyak tugas. Pada awal berdiri, tugasnya mengawasi musuh yang datang dari arah darat maupun laut. Lalu pada 1717 Kesultanan Ottoman menjadikannya menara pengawas kebakaran. Sampai pada tahun 1875 menara ini kehilangan atapnya setelah diterjang badai.

Menara bernuansa warna coklat ini pun dibiarkan tanpa atap selama sisa masa Kesultanan Usmania. Sampai tahun 1965, pemerintah setempat memutuskan untuk merestorasi bangunan bersejarah ini dan dibuka untuk publik. Interior menara yang dulu terbuat dari kayu pun diganti dengan beton supaya lebih kokoh. Pemerintah Republik Turki sengaja tidak banyak mengubah tampilan luar menara ini agar menjaga tampilan aslinya. Menara yang terletak di sisi Eropa Istanbul ini merupakan salah satu objek wisata bersejarah yang bisa diakses publik dengan gratis.

Disini aku dan Azzam juga menemukan restourant, yang sepertinya baru buka beberapa tahun belakanngan ini. Kami akhirnya singgah sebentar untuk menghilangkan letih dan dahaga setelah menyusuri menara ini. Aku tak menyangkan banyak sejarah tersembunyi dalam menara ini. Benar kata Azzam umurnya yang tua, juga akan mempunyai banyak cerita sejarah.

Tak terasa waktu menunjukan pukul 7 waktu setempat, Azzam dan Pak Ahmeet sudah berangkat dari tadi untuk menunaikan sholatnya, mungkin setelah sholat mereka tadarusan, entahlah. Dan disinilah aku menunggu di mobil seorang diri, yah karena aku sedang menjalankan kodradku sebagai wanita yang selalu kedatangan tamunya, jadi aku menunggu di dalam mobil.

Akupun melihat Azzam dan Pak Ahmet kembali dan membuka pintu mobil, akupun langsung terduduk. Tapi, setelah itu Azzam mengajak kami pergi. Akhirnya kamipun tepatnya aku dan Azzam, karena Pak Ahmeet izin untuk kembali ke mobil karena tidak kuat lagi berjalan, terlebih lagi salju yang turun, walau tak begitu deras tetapi tetap saja dingin. Maklum faktor U. Akhirnya aku dan Azzampun melanjutkan perjalanan ke Galata Koprusu atau Galata Bridge yaitu sebuah jembatan yang menghubungkan beberapa bagian dari Kota Lama dan Kota Baru di Istanbul, tepatnya bagian Eropa. Kedua kota tersebut menghubungkan Sirkeci dan distrik Eminonu, Istanbul dengan Karakoy (galata) dan Beyoglu di bagian modern Istanbul. Jembatan itu memang selalu mempunyai daya tarik tersendiri saat malam dengan lampu yang menyala dan berkilau dari restorant dibawahnya.

"Subhanallah, indah sekali ya, Zam." Kataku saat berada di jembatan itu. Kontruksinya menarik. Atas jembatan bawah restorant.

"Ya, Fa." Kata Azzam sambil mengamati air sungai yang tenang dan terkena pantulan sinar bulan. Tapi sedetik kemudian dia membalikkan tubuhnya menghadapku, tentu saja dengan jarak empat langkah dari posisiku. "Fa, kamu kedinginan ?" Tanyanya, akupun langsung menggelengkan kepalaku.

"Kamu kedinginan. Ayo kita turun kebawah, cari minuman hangat." Titah Azzam sambil menarik slingbagku dengan lembut, yah mau bagaimana lagi cara satu-satunya mungkin dengan slingbagku ini. Akupun hanya menurut mengikutinya. Mengekor dibelakangnya, bagai anak ayam yang selalu mengikuti induknya. Sesampainya dibawah, ia langsung memilihkan kursi untukku, dan tak lama kemudian waiters mendatangi kami, dan Azzampun memesan minuman.

"Nih, minum biar lebih hangat." Katanya menyodorkan apple tea. Rasa Apple Tea panas yang terasa manis bercampur rasa khas kecut apel, sungguh membuat kesan yang dalam tiap tegukannya. Kulihat Azzam yang sedang meminum minuman yang sama denganku, beberapa saat kemudian waiters mendatangi mejaku dan Azzam dengan sebuah mangkok kecil yang berisi air bersih.

"Lepaslah sarung tangamu." Azzam mengintrupsiku. Aku melongo, apa maksudnya. Aku tak dapat memahaminya, "Lepas dan masukan tanganmu kedalam sini." Lanjutnya. Dengan ragu aku melepas sarng tanganku, dan mencelupkan tanganku ke mangkok stainless di hadapanku.

Ya ampun Azzam, kamu itu ada-ada aja, "Itu aku pesan supaya kamu tidak kedinginan. Setidaknya lumayanlah untuk sedikit menghangatkan tangan." Suara bariton itu nampak sangat melindungi. Ternyata dia memesan air hangat untuk menghangatkan tanganku yang kedinginan. Rasanya, entah mengapa sangat nyaman merendam tangan di air hangat. Mungkin karena faktor suhu yang dibawah 0°C. Setelah merasa cukup, akupun memasang kembali sarung tanganku dan menengguk habis apple tea yang tinggal seperempat tadi.

"Udah enakan ?" Tanya Azzam, aku hanya mengangguk mengiyakan. "Fa, pakai ini." Katanya sambil menyodorkan kain lembut padaku. Itu, Syalnya. Yah, syal milik Azzam.

"Zam, apa ini ?" tanyaku berpura-pura.

"Sudah pakai saja." titahnya padaku. Sementara aku, mau tak mau memakainya.

"Zam, balik yuk. Ngak enak sama Nafisya, kasihan di apartement sendirian dia." Kataku mengajak Azzam yang tengah minum dihadapanku itu, Azzam menghentikan sejenak aktivitasnya dan memandangku sekilas lalu bangkit mengiyakan. Setelah menunggu Azzam membayar, Aku dan Azzampun berjalan menuju ke mobil Azzam.

"Pakai ini, nanti kamu kedingingan." Kata Azzam sambil menyerahkan Mantle berbulunya padaku. Sedangakan dia hanya memakai mantle tipis dan sweater.

Akupun menggeleng menolaknya, "Ngak usah, Zam. Nanti kamu pakai apa ? Ini dingin loh."

"Kamu bilang aku si bule yang ngak tau musim itu kan, jadi mungkin aku bisa merasa kepanasan saat musim dingin." Kata Azzam yang mencairkan suasana dengan mengodaku. Aku hanya mengerucutkan bibirku ke atas, tapi kemudian tersenyum. Aku memang pernah mengatainya 'si bule tidak tau musim' pasalnya aku pernah bertemu dengannya di musim dingin hanya dengan menggunakan jas tipis saja. disaat orang lain memakai pakaian berlapis-lapis, dia dengan santainya hanya memakai jas.

[DRS] Cinta Dalam ImanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang