#19 Pengakuan Nafisya

121 10 1
                                    

°°°

"Tidak ada cinta yang lebih indah, selain cinta dari-Mu dan kepada-Mu."

°°°

Malam ini Nafisya bilang akan menginap saja dirumahku, sementara Azzam, Assifa dan juga Kak Alwi pulang kerumahnya masing masing. Kali ini aku sekamar lagi dengan sahabatku itu, setelah hampir beberapa bulan aku tak sekamar dengannya. Mungkin banyak yang tak aku dengar darinya. Aku pikir kami akan tidak tidur malam ini hanya untuk saling cerita satu sama lain.

"Aduhhhh... Turki kangen banget sama kamu loh, Fa." Kata Nafisya padaku setelah melipat sajadah dan mukenannya disampingku.

"Besoklah aku kesana saat pernikahanmu." Ledekku sambil meletakakkan mukenaku dan mukena Nafisya di lemari yang berada di sudut kamarku.

Nafisyapun memilih naik dan duduk di kasur, "Lagian kayaknya kamu dulu deh yang bakal married." Katanya sambil memeluk bantal gulingku. Akupun menyerngitkan dahiku.

"Oh iya, secara kamu itu Miss Jomblo kita ya kan." Ledekku sambil terkekeh.

Yang diledekpun hanya mengerucutkan bibir, "Tapi, kayaknya kamu dulu. Percaya sama aku. Sebenernya seseorang itu udah mendem lama banget, tapi ya ada aja masalah. Sama kamunya yang kabur terus. Jadi sampai sekarang belum jujur deh dia." Terang Nafisya padaku, aduh sahabatku ini aku tak pandai main teka-teki.

"Mukanya jangan sok serius gitu dong."

"Ihhh.. Adifa, pantes aja jomblo orang ngak bisa ngomong serius." Nafisyapun melipat tangannya di depan dadanya sambil bermuka pura-pura jutek.

"Lah, mending aku udah ada yang mau ngedeketin timbang kamu." Ledekku sambil berkata 'Wleee'.

"Emang siapa yang mau ndeketin kamu ? Ge-eR." Katanya yang sepertinya balas dendam meledekku.

Akupun berbaring disamping Nafisya, "Lah tadi kamu bilang."

"Emang kamu tau ?" pertanyaan retoris yang aku jawab dengan gelengan kepala. "Dasar yah, kamu tu emang ngak peka. Jangan salahin besok teorinya berubah jadi 'Perempuan itu ngak peka' bukan laki-laki lagi. Itu gara-gara kamu." Lanjutnya. Akupun tetap tak paham siapa dia.

"Aduh Adifa, kamu tetep ngak paham juga ?" katanya sambil mengusap wajahnya gusar. Akupun tetap jawaban yang sama hanya sebuah gelengan.

"Azzam." Entah mengapa aku merasakan Nafisya mengatakannya dengan tegas.

Akupun menyerngit, "Maksudmu ?" dari tatapannya bisa ku baca bahwa dia mengatakan 'Yah, apalagi ?'. "Ngak mungkin. Azzam udah punya Assifa." Kataku menegaskan, mungkin saja sahabatku itu salah sangka.

Nafisya menggeleng dan menggenggam tanganku, "Ngak, Fa. Azzam memang menyukaimu sejak dulu, bahkan ia sangat menyukaimu." Dia menjeda beberapa detik dengan menatapku lekat, "Dia yang bilang ke aku sendiri bahwa dia mau serius sama kamu, dia bahkan datang ke apartemen kita buat ketemu sama kamu. Tapi kamunya-" dia menggelengkan kepala.

"Terus apa hubungannya sama aku ?" tanyaku tanpa merasa bersalah.

Nafisya menghebuskan nafasnya gusar, "Dia mau ngajakin nikah dan serius sama kamu, tapi semenjak dia tau kamu udah pulang ke Indonesia dia nyesel banget. Sampai-sampai, dia bilang ke Umminya. Dan Umminya bilang ke dia, suruh nyusul kamu kesini."

"Jadi, kalian kesini buat ketemu sama aku ?"

Nafisya mengangguk mantap, "Saat kami ke rumahmu, Mbak Zahra bilang kamu lagi ikut seminar dan kami suruh menunggu. Tapi, Azzam aja yang ngak sabaran, dia pengin langsung nyusul kamu seminar, dan membuat berbagai alasan agar kami semua kesana. Yah tentunya, tanpa membuat Assifa curiga. Dan bodohnya, dia ngak tau tempatnya. Untung aku aku tau tempatnya." Kata Nafisya yang membuatku sedikit tertawa. Sebegitukah, Zam ? batinku dalam hati.

"Tapi kan udah ada Assifa, calon istrinya." Kataku yang membuat Nafisya menatapku tajam.

"Kamu suka ngak sih sama Azzam ?" tanya nya padaku.

"Suka."

"Nah, makanya kalian itu harus sama-sama berjuang. Nih, kamu kalau mau Azzam jadi jodohmu coba deh setiap habis shalat tahajud baca Surat Yusuf ayat 4 dan sebut nama dia, siapa tau Allah mengabulkan dan engijinkan kalian berjodoh." Wejanganpun keluar, ulai lagi sahabatku itu mulai menjadi pakar cinta untuk orang lain.

"Aku suka dia sebagai teman, ngak tau kalau sebagai laki-laki. Aku masih bimbang. Jujur saja, temannya Bang Biyan juga lagi mendekatiku." Kataku pada sahabatku itu.

Lagi-lagi Nafisya menghembus nafasnya dengan gusar, "Coba deh, kamu liat Azzam dulu. Dia setia loh nunggu kamu, kalau ngak dia bisa saja langsung menikah dengan Assifa itu."

"Loh lebih bagus lagi kalau mereka segera menikah." Kata-kataku sukses membuat jitakan tangan Nafisya mendarat di kepalaku.

"Kamu ya ngak tau bersukur." Katanya padaku. "Aku sebenarnya ngak suka dengan Assifa. Tepatnya orang tuanya. Gadis baik itu, terbelenggu selama 25 tahun di kastil orang tuanya. Bagaimana nasib Azzam jika dia menikah dengan Assifa ?"

"Loh aku bersyukur kok, kalau dia memang milikku. Tapi, masalahnya dia belum jadi milikku." Jawabku, "Lagian, ngak mungkinlah Azzam ikut di kekang."

"Aduh, sahabatku ini. Apa yang kamu bimbangin dari seorang Mohamad Azzam Adskhan Firdausy. Jelas-jelas dia mapan, tampan, tinggi-iya, kurang apa lagi ? lagian teman abangmu itukan ngak setinggi Azzam, tapi dia mapan sih." Aku rasa ada benarnya juga ucapan Nafisya, aku mengakui kalau Azzam memang tinggi dan tampan.

"Kamu ngak lagi mempromosikan adik sepupumu itukan ?" tanyaku. Ngak Adifa, kamu ngak boleh terpengaruh. Dia sudah punya calon istri.

Nafisyapun menggeleng, "Emangnya aku mirip SPG apa ?"

"Sedikit." Lagi-lagi aku dapat pukulan di lengan sebelah kananku.

Tak terasa jam sudah menunjukan pukul 12.24 dini hari tapi tetap saja perbincangan kami belum saja selesai, antara perdebatan dan curhatan sepertinya banyak perdepatan. Hingga Nafisya mengatakan bahwa sebenarnya Azzam sama sekali tidak menyukai pilihan pakdenya. Aku jadi mengerti bahwa, Assifa itu pilihan pakdenya Azzam. Bukan Ummi atau Abinya yang menjodohkan. Nafisya bilang, Ummi Azzam lebih membebaskan pilihan anaknya.

"Ohh, jadi Pakde Azzam yang memilih Assifa sebagai calon istrinya. Tapi, menurutku dia baik dan salihah kok, Sya."

"Hati itu ngak bisa dipaksain." Akupun mengangguk-anggukan kepalaku membenarkan ucapan Nafisya, benar juga.

[DRS] Cinta Dalam ImanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang