°°°
"Ridho orang tua adalah ridho Allah. Restu orang tua adalah restu Allah juga."°°°
[Azzam Pov]
Setengah jam berlalu, kami hanya diam sambil melihat beberapa motor yang berlalu lalang ditempat ini. Memang kami duduk di ayunan taman yang letaknya persis disamping jalan dengan pencahayaan yang cukup terang. Tapi, tetap saja aku khawatir. Rasanya jam yang melingkar ditanganku sudah semakin membuatku was-was. Bagai pengingat yang seakan-akan seperti bom waktu yang akan meledak. Entah kenapa aku selalu khawatir, apalagi disini hanya kami berdua walaupun terpaut jarak tapi taman ini begitu sepi.
Akhirnya, aku memberanikan diri untuk menatap kearahnya, dia sedang menghembus-hembuskan nafasnya ditelapak tangannya dan kemudian menempelkannya pada mukanya. Aku tau dia sangat kedinginan. Akhirnya aku mencoba menelpon kakak sepupuku- Nafisya, tapi sepertinya keberuntungan tidak berpihak kepadaku teleponnya tak dapat dihubungi.
"Fa, ini sudah malam. Tidak mungkin juga ada taksi yang lewat untuk pulang. Bagaimana kalau kamu kerumahku saja, tidak jauh kok dari sini." tawarku padanya, berharap mendapat respon baik darinya.
Benar saja dia langsung menoleh kearahku, yang membuatku tersentak kaget. Jujur aku belum pernah mendapat tatapan seperti itu selama hidupku, "Tidak usah, Zam. Aku tidak enak dengan keluargamu. Aku akan mencoba menghubungi Bang Biyan saja." benar saja dia menolak ideku. Aku sudah menghitung kemungkinannya 99,8% ditolak dan 0,2 % diterima, hanya 0,2 % saja.
"Ya sudah, aku akan tunggu sampai Bang Biyan datang menjemputmu." Kataku tegas, sebenarnya aku memaksakan diri. Angin malam juga sudah menyerbu badanku dari tadi, entah mengapa malam ini bisa begitu dingin.
"Astagfirullah." Dia beristigfar, aku langsung menoleh ke arahnya, "Aku lupa, pasti Bang Biyan sudah mematikan handphone-nya." Dia nampak gelisah, aku menyerngit mencoba memahami apa yang akan di sampaikan olehnya.
"Sebenarnya ada beberapa aturan di keluargaku, Zam. Keluargaku itu sudah harus mematikan ponselnya dari pukul 19.00, Bang Biyan tak akan mungkin menganggkat telponku jam segini. Abi menerapkan aturan setoran dan peng-off-an hp hingga pukul 22.00." Dia menghembuskan nafasnya gusar.
"Tak apa kalau kamu kerumahku, lagian sekarang sudah malam tidak baik kalau perempuan pulang sendirian." Kataku mencoba membujuknya.
"Tapi, bukankah tidak baik juga, jika perempuan bertamu malam-malam kerumah seorang pria ?" jawabnya yang membuatku diam membisu. Benar juga katanya.
"Ummi pasti memaklumi kok. Atau nanti setelah sampai dirumah, aku yang akan mengantarmu pakai mobilku." Kataku menyenangkannya. Tidak mungkin jugakan aku meninggalkan anak gadis orang sendirian di taman ini, sementara aku pergi mengambil mobil.
Adifa, gadis itu terdiam. Mencoba berpikir tentang perkataanku tadi. Akhirnya gelengan yang muncul sebagai jawabannya.
"Tidak usah, Zam. Aku takut merepotkanmu dan Ummi mu, lagian apa kata orang nanti." Tepat setelah dia menyelesaikan perkataannya, rintik hujan meluncur dengan santainya turun mengguyur jalanan komplek, termasuk taman komplek dan membasahi kami berdua.
Aku menutupi kepalaku dengan kedua telapak tanganku, "Kalau keadaannya kayak gini masih mau mikirin kata orang ?" kataku padanya. Akhirnya dia mengangguk dengan ragu untuk mengikutiku kerumah, berlindung dari guyuran air yang turun dari langit malam ini.
Kami berjalan menuju rumahku yang sebenarya berada di komplek ini juga dengan sedikit berlali kecil, mamang tidak terlalu jauh, tapi juga menguras tenaga jika jalan. Sesampainya didepan rumah, kulihat muka dan hidungnya memerah dia pasti sangat kedinginan, ditambah lagi hujan telah berhasil membuat sebagian bajunya basah. Serta suara gigilan dan tangan yang bergetar meyakinkanku akan itu. Aku cepat-cepat membukakan pintu untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[DRS] Cinta Dalam Iman
Romance--Ammeera Adifa Shakira Husein-- "Iman yang membawa cintaku berlayar walaupun tanpa sebuah pelabuhan." Cinta, aku percaya itu Fitrah dan Anugrah dari Allah Swt. Rasa Cinta yang membuat manusia hidup damai menyayangi sesama. Tapi, iman dia...