#20 Penantian yang Terbayar

137 9 3
                                    

°°°
"Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan dan melepas seseorang yang belum tentu aku dapatkan lagi jika dia sudah pergi."
°°°


Aku menggeliat dalam tidurku, mencari posisi senyaman mungkin. Sampai saat seseorang membuka tirai kamarku dan mengizinkan sinar matahari mengusik mimpiku. Membuat semua mimpiku berantakan. Hingga suara alarm jam weker-kupun berbunyi.

"Bangun, udah siang juga." Kata seseorang yang nampaknya sedang duduk di tepi kasurku sehingga aku bisa merasakannya. Yah, siapa lagi kalau bukan sahabatku itu.

Entah siapa duluan yang memulai memejamkan mata dan entah siapa yang mengakhiri percakapan kami. Tapi, yang pasti aku dan Nafisya hanya tidur sekitar 4 jam, kepotong shalat tahajjud dahulu sebelum memejamkan mata kami dan kepotong shalat subuh. Jadi alhasil beginilah keadaan kami, dengan kantung mata selebar dan sehitam panda.

"Panda juga kan banyak dilestarikan dan disayang, ngak papa deh kayak panda." kata Nafisya setelah melihat pantulan dirinya di cermin.

Sementara aku, hanya bergegas masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan diri. Setelah selesai aku turun untuk menemui Ummi dan Nafisya yang sudah ada di meja makan. Karena Abi kebetulan sedang mengurus pekerjaannya di Surabaya, pagi ini kami hanya sarapan berlima- Ummi, Bang Biyan, Mbak Zahra, Aku dan Nafisya.

"Fa, nanti kerumahku yuk. Giliran kamu yang menginap ditempatku." Kata Nafisya selepas makan sementara aku hanya mendengarnya saja sambil membawa piring dan gelas kotor ke dapur.

Akupun meletakkan ditempat cucian, Ummi bilang bibi yang akan mencucinya, "Aku takut ngak diizinkan sama Ummi, lain kali aja deh yah." Tolakku halus. Sebenarnya bukan hanya takut kalau tidak diizinkan, aku juga malas saja bertemu dengan sepunya.

Nafisya menuntun tanganku kearah kamarku, "Kamu beresin dulu aja barang-barang yang perlu kamu bawa." Katanya sambil duduk di sofa sambil menungguku.

Akupun mengambil salah satu slingbag ku yang berwarna cokelat,"Kamu cuman bawa ini doang ?" kata Nafisya sambil tercengang menganga.

Akupun mengangguk, memangnya apalagi ? didalamnya sudah ada seperangkat baju gantiku, ponsel, laptop dan ces-cesan, dan sebenarnya ketambahan beberapa novel milik penulis ulung Asma Nadia serta lipblam.

"Aku takut izinya sama Ummi, lain kali aja yah kerumahmu." Tolakku halus dan memilih duduk disofa.

Dia menarikku keluar kamar dan membawaku ke ruang keluarga, tempat Ummi menonton tv dan merajut, "Tenang aku yang izin." Katanya dengan logat layaknya wonderwomen sang penyelamat. Dan benar, setelah bernegosiasi dengan Ummi, akupun diperbolehkan. Buktinya sekarang kami sedang berada dalam mobil, untuk menuju rumah sahabatku itu.

Hingga mobil yang kami tumpangi mendarat di sebuah kawasan lumayan elit buatku, didepan rumah berpagar putih yang memberikan kesan klasik namun mewah. Jujur, aku sama sekali tak mengenal rumah ini. Dan memang sih, aku belum pernah ke rumah Nafisya yang ada di Indonesia. Tepatnya, rumah pakdenya. Karena sebenarnya rumah Nafisya, sekarang di tempati pakdenya, Abi dan Umminya Nafisya, sibuk dengan berbisnis.

"Ayo masuk, Fa." Ajaknya padaku. Akupun hanya mengekorinya saja yang sudah lebih dulu melangkah ketimbang aku.

Sesampainya didepan pintu, seorang wanita paruh baya berjilbab menyambut kami dengan ramah dan mempersilahkan kami untuk duduk, "Rumah kamu bangus banget, Sya. Kok kamu ngak pernah cerita sih ke aku." Tuturku pada sahabatku itu sambil terus mengagumi arsitektur yang menghias rumah ini.

Bukannya menjawab perkataanku, dia menyapa seorang pria berumur yang datang dari arah dalam, bisa dibilang mungkin ayah Nafisya. "Assalamu'alaikum, Pakde." Loh, pakde ? jadi dia pakdenya Nafisya.

[DRS] Cinta Dalam ImanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang