"Terima kasih telah mengajariku arti rasa yang sesungguhnya. Bahwa rasa bukan hanya tentang bahagia, tapi juga terdapat kecewa didalamnya."
...
Setelah pulang dari kelulusan, tak ada banyak kegiatan yang aku kerjakan. Boring, bosan, malas adalah temanku diapartement ini sekarang. Bolak-balik ruang tv dan kamar adalah kegiatanku sepanjang hari, tak ada yang bisa aku lakukan. Nafisya, gadis itu melanjutkan kuliahnya. Abi yang tadi mengantarkanku ke apartement sekarang harus sibuk dengan urusan bisnis dan temannya.
Hingga selepas salat isya' seseorang mengirimiku pesan lewat WA. Awalnya aku tak berniat membukanya, tetapi akhirnya kubuka juga. Dan ternyata itu pesan dari Azzam. Pria itu mengajakku untuk bertemu di kafe terdekat. Akhirnya, mau tak mau aku kesana. Itung-itung salam perpisahanku pada pria itu.
Dan setelah duduk sekitar setengah jam di kafe ini, seseorang muncul, ya Azzam. Seperti biasanya, dia selalu mengembangkan sunggingan di wajah putihnya. Tapi, kali ini berbeda dia datang dengan menggendong anak kecil berusia sekitar 5 tahun, walau tetap dengan sunggingan senyumannya. Anak itu manis sekali, berkerudung dan berkulit persis bagai anak dan bapak.
Tapi, entah mengapa pemandangan yang menyejukkan hati itu, menjadi sebuah suguhan yang meremas hatiku. Membuatnya berlubang tanpa dasar. Ada apa denganku ? Mengapa ini terasa menyesakkan. Oksigen terasa berkurang disini, dan mataku seperti memanas. Saat seorang perempuan tinggi semampai dengan kerudung pashmina birunya muncul dari belakang Azzam.
"Aku bolehkan mengajak mereka ?" tanya Azzam padaku. Aku hanya bisa menjawabnya dengan anggukan, sambil menundukkan pandangan makin dalam. Aku tak boleh menangis sekarang. Kenapa air mata memenuhi kelopak mataku.
Pria itu tersenyum dan langsung mempersilahkan wanita itu duduk. Aku merasa, caranya mempersilahkan wanita itu duduk adalah sesuatu yang romantis. "Oh ya kenalin, ini Adifa temen, Mas." Katanya memperkenalkanku.
Mas ? Apa aku tak salah dengar ? Innalillah, hatiku telah berkelana ke tempat yang salah. Aku mencintai pria yang sudah beristri. Ya Allah, jauhkan dan lindungi hamba.
"Adifa, ini Asma' Salamah, dia baru berumur 4,5 tahun, dan ini Shaffiyah, dia orang Indonesia juga kok. Kamu bisa memanggilnya, Shaffi. Dia ini Istr-" perkataan Azzam tercekat saat aku dengan tiba-tiba menjabat tangan wanita di sebelahnya itu.
"Assalamu'alaikum! Salam kenal mbak Shaffi." Maaf, Zam. Aku tak mau menjatuhkan air mataku di hadapanmu.
Wanita disamping Azzampun membalas jabatan tanganku, "Sepertinya, kita bakal bersaudara." Aku hanya tersenyum tipis. Jujur, aku tak paham apa arti dari ucapannya.
Selepas itu kami makan malam bersama, dan lebih didominasi oleh kehidupan anak berusia lima tahun digendongan, Azzam. Alhasil, disinilah kami. Menyusuri jalanan Istanbul malam hari. Melihat aktivitas-aktivitas manusia nokturnal yang mendominasi jalanan. Musik dan suara mobil yang berlalu lalang menjadi musik pengiring perjalanan kami.
"Fa, lihat deh, bagus yah. Dia bercahaya dan bersinar. Memukaukan mata semua orang. Orang yang bagus itu seperti itu." Kata Mbak Shaffi, aku hanya menganggukan kepalaku dan menatap apa yang tersaji dihadapanku. Sebuah hiasan yang terpajang dari dalam toko.
Mbak Shaffi menatap Azzam yang berada di belakang langkah kami. "Udah tidur ya. Sini aku yang gendong." Titah Mbak Shaffi yang membuka tangannya agar Azzam memberikan balita dalam gendongannya itu. Azzampun mengiyakan, mungkin ia sudah merasa pegal, "Ehh.. aww.. awas.. Aduh, Zam kayaknya aku ngak kuat." Katanya sambil memijat-mijat pinggangnya.
Akupun menawarkan diriku, "Ya sudah biar Adifa aja yang ngendong Mbak." Kataku yang kemudian mengambil alih Asma' dalam gendongan Azzam.
Langkah kami terus menerus menyusuri jalanan kota ini. Aku tak percaya bisa-biasanya aku terjebak begini. I look like a babysitter. Dimana menemani majikannya jalan-jalan bermesraan berdua, berganden gan tangan, sementara yang satu hanya menjaga dan mengasuh buntut-buntut yang dibawa pasangan majikannya.
Dan kini seperti itu yang aku rasakan. Didepanku sekarang, seperti sepasang suami istri yang sedang bermesraan, dengan saling bergandeng tangan. Sementara aku dibelakang, dengan langkah terseok-seok mengimbangi mereka sembari menggendong bocah yang asik tertidur di bahuku.
Ya Allah, jika ternyata rasa cintaku ini muddarat. Jauhkanlah Ya Allah. Aku hanya bisa memainkan kerudungku, sampai pulangpun begitu. Menahan sesaknya hati yang bertumpuk rasa kecewa, kesal, marah, dan tak percaya menjadi satu. Bahkan air mata yang seharusnya bicara, aku tahan sebisa mungkin. Tak mungkin aku sesegukkan di bangku mobil belakang, sementara bangku depan seperti sedang menonton acara lawak. Bahagia. Dan tertawa. Apa kabar denganku ? Hati, ku harap kamu baik-baik saja dan kuat.
Dear Allah,
Jika rasa cinta ini adalah fitrah darimu, kenapa rasanya semenyakitkan ini. Aku telah mengharapkan cinta semu yang sia-sia. Hari ini aku tahu dan sadar bahwa cintaku tak akan menggapai sakinah bersama Azzam. Pria itu telah lebih dulu melabuhkan hati pada pelabuhan lain. Aku tak mungkin merebut seseorang yang sudah menjadi suami orang.
---------------------------------------------------------
jangan lupa ibadah sahabat.
KAMU SEDANG MEMBACA
[DRS] Cinta Dalam Iman
Romance--Ammeera Adifa Shakira Husein-- "Iman yang membawa cintaku berlayar walaupun tanpa sebuah pelabuhan." Cinta, aku percaya itu Fitrah dan Anugrah dari Allah Swt. Rasa Cinta yang membuat manusia hidup damai menyayangi sesama. Tapi, iman dia...