"Kadang kabar gembira juga bisa menjadi kabar duka. Dan kabar dukaku hari ini adalah aku sadar hari ini menyadarkanku bahwa hari-hariku berpisah denganmu sudah semakin dekat."
...
Hari ini kami akan berangkat ke kampus. Kami tiba di kampus setelah lima belas menit sesudah itu. Kuliahpun dimulai, yah hari ini Prof. Berkant yang mengampu, Sang Bapak tua berkacamata yang selalu menggunakan jas serta sering kali memakai pecinya dengan rambutnya yang sedikit tumbuh tak merata dan sebagian besar populasi rambutnya tumbuh di belakang kepala, bukan berarti aku menyebutnya botak. Beliau itu adalah dosen yang membimbingku selama aku kuliah di Marmara.
Hari ini Prof. Berkant membahas tentang krisis-krisis dunia. Dengan kata-katanya yang puitis dia menerangkan krisis-krisis dunia seperti Krisi di Venezuela, yang harga mata uang disana tidak ada harganya sama sekali, hingga semua warganya membuat kerajinan dengan uang tersebut dan dijual untuk mendapatkan uang. Uang di jual agar mendapat uang. Dan negara Arab yang mulai menerapkan Pajaknya pada akhir-akhir ini, pantas saja biaya haji dan umroh naik kata Pakdeku Inko. Mengapa dizaman yang super maju ini, masih terdapat krisis ? Bukan kah semua kebutuhan sudah ada ? Ini manusianya yang kurang bisa memanfaatkan atau bagaimana ? Batinku. Tiba-tiba kata-kata penutup Prof. Berkant yang mengakhiri kuliahnya hari ini membuyarkanku. Seluruh mahasiswa keluar ruanga, begitupun Aku dan Nafisya,
"Adifa, please follow me." Suara bariton milik Prof. Berkant menghentikan langkahku dan Nafisya.
"Tuh, murid kesayangan dipanggil Prof. Berkant." Kata Nafisya, "Kalau begitu aku duluan yah." Lanjutnya dan meninggalkanku. Akupun melanjutkan langkahku untuk menuju ruangan Prof. Berkant.
"Assalamu'alaikum Profesor." Kataku setelah mengetuk pintu.
"Wa'alaikumsalem Adifa, duduklah." Katanya mempersilahkanku dengan bhasa inggrisnya yang sedikit berlogat.
"Begini Adifa, kalau saya lihat-lihat perkembanganmu cukup bagus." Kata Profesor Berkant menjelaskanku. Aku tersentak, apa maksudnya prodesor Berkant. "Bukankah kau memang ingin benar-benar lulus taun ini ?" Sambungnya setelah terjeda beberapa detik.
"Saya memang ingin segera lulus tahun ini, Prof." Jawabku cepat.
"Oke. Karena perkembanganmu sangat bagus. Saya menerima tesismu. Wisudamu akan dilaksanakan satu bulan lagi." Katanya, "Dan Kau boleh pergi sekarang, saya sudah selesai berbicara." Katanya selesai.
Akupun bergegas meninggalkan ruanggan Prof. Berkant. Tak lupa kuucapkan terima kasih sebelum meninggalkan ruangannya, senyumku tak pernah pudar setelah itu, dan bibirku selalu membentuk bulan sabit mengiringi setiap langkahku. Hari ini tesisku diterima, Alhamdulillah Ya Allah. Aku akan lulus tahun ini, aku rindu sekali pada tanah kelahiranku Indonesia, tepatnya aku rindu Umi. Tiba-tiba ponsel di kanatongku bergetar, sepertinya ada notif masuk.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Nafisyaazmawan
Fa, aku tunggu kamu di kantin cepetan kesini ya.
Sakhiradifa
Ya Sya, ini mau kesitu kok
Nafisyaazmawan
Aku tunggu lohJ
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Akupun langsung melangkahkan kedua kakiku menuju kantin. Ku sapu pandanganku pada semua sudut kantin. Dan benar saja, Nafisya sedang berdiri dan melambaikan tangannya padaku di tempat biasanya, tepat disudut kantin ini. Akupun segera menghampirinya. Namun, aku melihat Nafisya tidak sendirian, tetapi bersama seseorang laki-laki berbaju putih polos dengan mantel berbulu warna birunya, yang tepat duduk disamping Nafisya.
"Murid kesayangan Prof. Berkant kayaknya lagi seneng nih, itu pancaran sinar bulan sabitnya hampir galahin silaunya matahari loh." Kata Nafisya saat aku sudah akan beranjak duduk setelah menyapanya. Akupun hanya tersenyum tak menanggapinya.
"Jadi ngak mau cerita nih ?" Dengan gaya seolah-olah seperti Nafisya sedang mengintrosiku. Akupun tersenyum.
"Hari ini Prof. Berkant mengatakan bahwa aku diperbolehkan lulus tahun ini, Sya." Kataku excited.
"Wah, Alhamdulillah ya. Adifa lulus taun ini, kamu bisa ketemu umi kamu dong. Ya Allah, Fa selamat ya." Kata Nafisya sambil loncat-lonta kegirangan, jadi berasa Nafisya yang mau lulus deh, tapi tak apalah. Namun, setelah itu dia menghentikan gerakannya dan mukanya berubah drastis dengan bibir sedikit manyun. Sementara lelaki yang disebelah Nafisya, yang notabene bernama Azzam itu hanya diam terpaku menundukan pandangannya ke lantai.
"Yah, aku ngak bakal ada temen lagi dong di Istanbul." Kata Nafisya dengan raut muka dan nada suara dibuat kecewa.
"Kan masih ada si bule ngak tau musim ini, ya ngak Zam." Kataku menyemangati, Azzampun mendongakkan kepalanya dan tersenyum.
"Tetap saja ngak seru." Balas Nafiya. "Eh, jadi lupa kan. Kita mau kasih tau kalau aku sama Azzam pengen ngajak kamu jalan-jalanan." Kata Nafisya yang kemudian mengubah topik pembicaraan.
"Pergi ? Kemana ?" Tanyaku penasaran. Nafisya dan Azzam berpandangan dan hanya tersenyum penuh arti. Kemudian Nafisya menarik tangaku.
"Ikut saja, seru kok."
Tidak lama setelah itu, kami bertiga menaiki mobil warna silver, mungkin mobil Azzam. Selama perjalan tak banyak yang dibicarakan, bahkan saling diam dengan pikirannya masing-masing, sementara aku memilih mendengarkan musik dan memasang headshet di telingaku. Tiba-tiba suara Azzam memecah keheningan.
"Sekitar setengah jam lagi kita sampai." Aku hanya mengangguk dan tetap fokus pada aktivitasku. Tak lama kemudian mobil Azzam mengambil parkir. Setelah itu kami bertigapun turun. Kulihat disekelilingku dan ternyata Nafisya dan Azzam membawaku ke sebuah restourant untuk makan, rasanya ada firasat yang apalah-apalah deh kalau kata bunda Iis Dadahlia
"Ayo masuk" kata Azzam mempersilahkan. Setelah memilih kursi kami bertigapun duduk. Seperti biasanya kamipun memilih menu makanan.
"Karena murid kesayangannya Prof. Berkant diterima tesisnya. Kali ini Adifa yang mbayar makanannya semua." Kata Nafisya lantang, benarkan firasat apalah-apalah kata bunda isdah. Mau tak mau, akupun nanti yang akan membayar. Ya sudahlah, toh aku juga tidak bisa menolak.
Tak lama kemudian pesanan kami datang, aku memesan jusmine tea dan burger ala istanbul, sedangkan Nafisya memesan kebab ala turki dan baklava (roti isi kacang yang disiram madu atau sirum sebagai pemanis), dan sahlep (susu murni bubuk dicampur dengan akar angrek dan juga gula serta sedikit bubuk kayu manis) katanya mumpung musim dingin, minum sahlep itu nikmat banget, sementara Azzam hanya memesan Ayran (yogurth asam kecut ala Turki).
Kamipun menyantap hidangan yang sudah kami pesan. Lagu-lagua khas Turki mengiringi kegiatan kami, seperti Husran-milik Mustafa Caceli, Yatsin Yanima- yang dinyanyikan Gulden Mutlu, dan juga terakhir ditutup tarian khas Turki dengan baju kebesaran yang mengembang seperti balon saat penarinya berputar berlawanan arah jarum jam yaitu Tarian Sufinya.
"Eh, habis ini kita kemana lagi ya ?" Suara Nafisya membuyarkan kegiatan kami, Azzam yang sedang meminum Ayranpun menghentikan aktivitasnya beberapa detik untuk menatap Nafisya laku menatapku dan kembali lagi pada Nafisya.
"Aku ikut saja, asal murah dan terjangkau." Kataku sambil tersenyum.
"Bagaimana jika kita ke Grand Bazaar dalam biasanya disebut Kapalıçarşı, yang berarti 'Bazar Tertutup, Büyük Çarşı, yang berarti Bazar Megah ?" Kini Azzam mulai berpendapat.
"Wah boleh tuh, kayaknya keren." Kata Nafisya excited.
"Ya udah ayo kita sholat asar dan berangkat." Akupu mengelap bibirku dengan tissue, dan beranjak dari kursi untuk membayar. Setelah beres kamipun berangkat.
>>>>><<<<<<<
Jangan lupa vott dan commend nya. jangan lupa juga baca Qur'an.
salam sahabat dari author.
KAMU SEDANG MEMBACA
[DRS] Cinta Dalam Iman
Romance--Ammeera Adifa Shakira Husein-- "Iman yang membawa cintaku berlayar walaupun tanpa sebuah pelabuhan." Cinta, aku percaya itu Fitrah dan Anugrah dari Allah Swt. Rasa Cinta yang membuat manusia hidup damai menyayangi sesama. Tapi, iman dia...