TERTUSUK

147 2 0
                                    

“Kita makan siang aja, ya, Ae” ujar Ron sambil membelokkan mobilnya ke parkiran sebuah rumah makan. Ae tak berpikir apapun dan langsung saja mengangguk.

Saat Ron akan membuka pintu, Ron menoleh ke Ae dan berkata, “Oh, bentar. Kalo misal, nanti pulangnya gue gak bisa nganter. Lo bisa pulang sendiri kan?”

Kening Ae mengerut, aneh. Menurutnya pertanyaan Ron benar-benar aneh. Tapi, Ae hanya mengangguk lagi dan kemudian turun sendiri tanpa dibukakan pintu oleh Ron. Karena Ron sendiri sudah berdiri di depan mobil sambli mengutak-atik ponselnya.

Ae berdiri di samping Ron dan diam. Ron melirik Ae sebentar dan kemudian berjalan terlebih dahulu tanpa mengajak Ae. Ae merasa perasaannya berubah drastis. Perasaanya mulai tak enak. Tapi ia tetap berpikir positif. Bisa saja, akhir-akhir ini Ron memang banyak masalah dan tetap berusaha mengajak Ae jalan walau masih dengan pikiran yang bercampur aduk. Ae mengangguk sendiri dan kemudian mengikuti langkah Ron.

Ron memilih meja indoor dan pojok. Suasana indoor sangat sepi, berbeda dengan outdoor yang kebanyakan di tempati oleh para remaja. Bahkan bisa dibilang di sini kosong. Ini berbeda dari Ron yang biasanya. Ini bukan Ron. Maksudnya, ini bukan Ron yang Ae kenal. Dan kini Ae sadar, Ron telah berubah.

Saat Ae memanggil pelayan dan ingin memesan makanan, Ron mencegahnya dengan alasan, “Tunggu bentar, habis ini ada lagi yang dateng. Pesen minum dulu aja.”

Ae hanya diam tak ingin mengajukan protes apapun. Di pikirannya hanya satu, siapa lagi yang akan datang? Belum genap terkaan dalam pikirannya, Ron sudah berdiri dan melambaikan tangannya ke arah pintu. Otomatis Ae ikut menoleh dan mendapati Abigail berdiri tepat di depan pintu. Kini pikirannya berkecamuk. Antara bingung apa hubungannya Abigail dengan Ron, bahagia karena secara kebetulan bertemu dengan Abigail disini, dan juga sedikit cemburu karena ternyata Abigail terlihat sangat dekat dengan Ron.

Ae menoleh ke Ron dan bertanya, “Abigail?” Ron tak menjawab.

Malahan Ron langsung menarik kursi di sampingnya untuk Abigail. Ae benar-benar bingung sekarang. Dirinya adalah pacar resmi Ron dan tak diperlakukan seperti itu. Tapi, Abigail?

Kini Ron, Abigail, dan Ae sudah duduk kembali. Hening. Itulah yang dapat Ae katakan untuk menggambarkan suasana. Ron terlihat bimbang, namun berusaha keras untuk tetap santai dengan memainkan ponselnya. Abigail juga sedang bermain ponsel, tetapi wajahnya menggambarkan ia juga sedang gelisah. Sedangkan Ae hanya memandangi mereka berdua tanpa bersuara.

Ae memejamkan matanya sejenak dan kemudian menghela nafas panjang. Hal ini cukup menyita perhatian Ron dan Abigail. Dengan keberanian yang besar, Ae mencoba untuk memulai pembicaraan.

“Ron, kata lo, tadi lo mau ngomong. Mau ngomong apa?” Ron diam tak merespon apapun. Ae menghela nafas lagi. Kini, matanya berpindah ke Abigail.

“Kalo lo? Kok tiba tiba bisa di sini? Kebetulan apa gimana ya?” Ae mencoba tertawa pelan meskipun dipaksakan. Sebenarnya tanpa Ron bicarapun, Ae sudah mengerti kemana arah pembicaraan ini akan berlanjut.

Abigail berdeham membuat sebuah signal. Ae sengaja menatap mata Abigail karena Ae ingin tau kebenaran apa yang sebenarnya sudah mereka sembunyikan dari Ae.

“Gue, sebenernya gue tuh-“

“Gue yang ngajak dia kesini” kali ini Ron yang angkat bicara.

“Gue ngajak dia soalnya gue mau jujur sama lo” Ae diam, menantikan kelanjutan yang akan Ron sampaikan.

“Gue udah jadian sama Abigail. Dan sebenernya, gue ga cinta sama sekali ke lo. Dari dulu, yang gue cinta itu Abigail. Bukan lo. Terserah lo mau benci ke gue ata-“

Plakk!

Belum selesai Ron berkata. Tamparan tangan Ae sudah lebih dulu mendarat di pipi Ron. Air matanya tak lagi bisa ia bendung. Ia biarkan mengalir menuruni pipinya dan jatuh di seragamnya.

“Makasi ya, Ron, Abigail. Makasi uda pernah ada di hidup gue. Gue selesai”

Ae berlari keluar restoran dan langsung mencegat taxi yang kebetulan lewat. Ia menangis sejadinya di dalam taxi. Ia tak peduli jika si supir bertanya atau memandangnya aneh. Ia hanya menyebutkan alamat rumahnya dan melanjutkan tangisnya yang ia tahan selama berlari keluar restoran.

Hatinya telah di hancurkan oleh seseorang yang awalnya ia pikir bisa menjaganya agar tidak hancur untuk kedua kalinya. Tapi, ia salah. Salah besar. Orang iotu malah menjadi pengahancur hatinya untuk kedua kalinya.

Benar kata hatinya waktu itu, hidupnya tidaklah sempurna. Kini ia kehilangan kekasih dan juga salah satu sahabat terbaiknya. Inikah jalan yang terbaik dari Tuhan?

Adik Kelasku, Ketua Osisku, PacarkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang