“Aerilyn! Buka pintunya! Ae!”
Gedoran di pintu kamar berkali-kali, membuat si pemilik kamar menggerutu tidak jelas dan berjalan malas untuk membuka pintu tersebut.“Duh, berisik tau gak sih, Trix” Trixie hanya meringis mendengar nada bicara Ae yang sedikit tidak enak.
“Masuk!”
Trixie masuk ke dalam kamar Ae dan langsung tiduran di kasur Ae. Hening sejenak. Trixie masih bergelut dengan pikirannya sendiri. Ia bingung. Haruskah ia menanyakan kejadian tempo hari?
Trixie tahu hal ini setelah Abigail menelponnya semalaman sambil menangis. Katanya,
“Gue menyesal, Trix. Gue jahat. Gue bukan sahabat yang baik. Bahkan sekarang dia gak mau berurusan lagi sama gue, Trix. Gue harus gimana? Gue tahu gue salah dari awal. Tapi, gimana lagi, gue udah terlanjur masuk ke lubang yang salah dan gue gak tau gimana caranya buat naik kepermukaan lagi, Trix. Please, bantuin gue”Diam-diam hati Trixie juga ikut teriris. Ia sedih melihat kedua sahabatnya kini sedang perang dingin. Mungkin, lebih tepatnya, Ae yang menyatakan perang dingin dan Abigail tak menyetujui perang tersebut. Tapi, mau bagaimana, nasi sudah menjadi bubur. Kertas sudah menjadi abu. Gula sudah larut dengan air. Tak akan bisa dikembalikan lagi.
Akhirnya, Trixie memberanikan diri untuk bertanya, “Lo beneran putus sama Ron?”
Ae berhenti memilih snack di keranjangnya dan menatap Trixie tajam.
“Udahlah, gak usah dibahas. Males gue”Trixie menghembuskan nafasnya yang ia tahan beberapa saat yang lalu. Trixie juga merasa bersalah. Seharusnya ia memberi tahu pada Ae yang sebenarnya hari itu. tapi ia tak tega menghancurkan senyum Ae yang begitu lebarnya ketika Ron bilang mereka akan jalan sepulang sekolah. Dan hatinya bilang, ia harus jujur pada Ae. Sekarang.
“Uhm, Ae-“ Ae kembali menoleh pada Trixie sambil mengangkat alisnya.
“Maafin gue ya”
“Lah, kok malah lo yang minta maaf sih. Lo gak ada salah apa-apa sama gue, Trix” Ae melanjutkan memilih snacknya sampai akhirnya kegiatannya terhenti lagi setelah Trixie berkata,
“Tapi, sebenernya, gue udah tau duluan sebelum lo, Ae”“Jadi, lo udah tau kalau mereka-“ Ae menghentikan ucapannya. Ia tak ingin mengucapkannya. Sedangkan Trixie mengangguk lemas.
“Sorry, Ae. Gue gak mau bikin lo sedih. Apalagi waktu itu lo kayanya bahagia banget waktu diajak Ron pergi. Maafin gue, Ae”
Ae masih tak berekspresi, kemudian ia tersenyum,
“Iya, gue ngerti posisi lo kok. Gue juga gak nyalahin lo. Makasi ya, udah mau jujur sama gue."“Sebenernya, Trix. Gue juga mau curhat ke lo” Ae duduk di sebelah Trixie sambil menatapnya. Mengalirlah cerita yang pernah ia ceritakan pada mamanya. Namun, hanya sebatas tentang Ron. Tak ada Danar. Ae merasa belum siap buat cerita tentang Danar. Belum, belum waktunya.
^^^
Ae mengintip di sela-sela jendela kelas Danar yang terbuka sedikit. Ae tak melihat Danar di kelasnya. Tepukan di pundaknya membuat Ae terkejut. Reflek ia menoleh dan mendapati Danar dan temannya sedang menatapnya dengan penuh tanda tanya. Ae tersenyum kikuk sambil merutuki dirinya sendiri.
“Ngapain, lo?” tanya Danar sambil menyerahkan tumpukan kertas yang ia bawa pada temannya. “Gue, nyariin lo. Tapi lo ga ada.”
“Nih, gue udah ada. Nyariin gue, kenapa emang?”
Danar berjalan meninggalkan Ae di belakang. Ae berlari kecil menjajari langkah Danar sambil berbisik kecil, “Clue ke 3?” tanya Ae pada Danar.
Danar tertawa kecil dan berjalan terus sampai taman belakang sekolah. Entah kenapa, seolah tempat ini sudah mejadi milik mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adik Kelasku, Ketua Osisku, Pacarku
Fiksi Remaja[SLOW UPDATE] "Ombak jahat ya. Dia terus-terusan nerjang karang, bikin karangnya jadi bolong seakan-akan karang itu rapuh" ujar Danar dari belakang Ae yang entah sejak kapan berada disana "Ombak emang bikin karang jadi bolong. Tapi lihat, bolongan i...