Tak seperti biasanya. Taman ini tampak sepi dan kosong. Hanya ada Ae seorang di sana. Jujur Ae sedikit takut. Tapi rasa rakut itu segera tergantikan. Air matanya mulai menuruni pipi dan jatuh ke pangkuannya.
Ingatannya tak lagi mengarah ke Azka saat ini. Taman ini malah mengingatkannya pada Danar.
Ae segera menghapus air matanya. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri tak akan menangis tadi. Ini yang terakhir, iya terakhir baginya. Ia menghela nafas. Ini terasa berat baginya. Katakan ia egois. Tapi ia juga sudah memutuskan untuk memakai logikanya dari pada hatinya untuk saat ini. Ae tersenyum sendiri lalu bangkit menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari tempat duduknya tadi.
"Selamat tinggal," ujarnya pada kenangan yang tercipta di sana.
__________
Ae meletakkan 1 paperbag yang sama seperti yang ia letakkan di depan rumah Trixie tadi. Ae memandangi lagi pintu kayu bercat hitam yang ada di depannya saat ini. Ingin sekali rasanya ia mengetuk pintu ini dan memeluknya. Tapi ia menahan keinginannya itu. Saat akan berbalik, tiba tiba saja pintu terbuka dan dia keluar.
"Ae?" Sapanya ragu.
Ae menoleh kemudian berlari keluar. Tapi kakinya berhenti di tengah jalan. Air matanya mendesak keluar. Dan ternyata dia mengejar Ae. Begitu dia sampai tepat dibelakang Ae dan menepuk pundaknya, tangis Ae pecah. Ae tidak kuat, Ae langsung memeluknya tanpa berkata apapun.
Dia tentu saja kaget saat Ae memeluknya. Tapi belum sempat ia membalas pelukannya, Ae melepasnya dan berlari lagi dan masuk ke mobilnya kemudian pergi
Abigail tetap terpaku di tempatnya. Air matanya juga mengalir deras. Perasaan bersalah dan penyesalan datang lagi padanya. Ia menunduk sambil menatap paperbag kecil di tangannya. Sebuah kotak berisi kalung berbandul cincin dengan ukiran inisial mereka bertiga dibalik cincin tersebut. Abigail juga membaca kartu yang ada di dalamnya. Tangisnya semakin pecah saat itu juga.
"Ae maafin gue, gue jahat. Gue emang jahat. Maaf Ae," Abigail berteriak sendirian di halaman rumahnya sampai Ron datang dan menenangkannya. Ron juga membaca kartu itu
"Udah ya, kita masuk dulu, yuk," Abigail menurut kemudian masuk mendahului Ron.
"Maafin gue juga, Ae," kemudian Ron mengikuti Abigail ke dalam rumah.
_________
"Halo nar, bisa ketemu ngga?"
"..."
"Gue tunggu di pantai yang waktu itu, ya," lalu Ae mematikannya secara sepihak.
Hingga setengah jam kemudian, Danar datang.
"Hai," sapanya, Ae hanya tersenyum menanggapinya.
"Mau ngomong apa? Jauh amat. Lo kan bisa Whatsapp gue atau Line gue,"
"Hehe, lagi pengen kesini aja, masa lo gamau nemenin gue?"
"Ya untung gue lagi free," Ae hanya tertawa kemudian meminum soda botolan yang ia beli tadi. Tiba tiba Danar merebutnya dan langsung meminumnya.
Ae hanya melotot, "Kok lo minumnya nempel si?"
"Emang kenapa? Lo HIV?"
"Hush, kalo ngomong suka ga di filter. Ya, kan itu bekas gue, lo ga jijik apa gimana gitu?"
"Biasa aja," Ae berdecak malas. Enak aja kalo ngomong.
"Lo pasti mau nanyain clue terakhir, ya, kan?"
"Dih, ge er, tapi kalo lo uda ngomong, yauda sekalian kasi tau gue," padahal memang itu yang ingin ia tanyakan. Dasar Ae.
"Emmmm, lo ngerasa ada yang hilang apa ngga waktu orang itu ga ada?" Ae terdiam. Kenapa waktunya tepat sekali?
"Ini yang terakhir ya?" Danar mengangguk.
"Makasi ya, Nar,"
Danar mengangkat kedua alisnya, "Buat?"
"Semuanya. Cuma pengen bilang aja, hehe"
"Aneh, lo"
"Ck, males gue sama lo, nyesel gue nelpon tadi" Ae mendorong-dorong badan Danar menjauh darinya. Yang didorong hanya tertawa puas.
Setelah tawa mereka reda. Lama pula mereka terdiam.
Ae memberanikan dirinya dengan berdeham, "Nar, lo masi utang sama gue, kan?"
"Alah, utang berapa sih, gue bayar sini," Danar berlagak mengeluarkan dompetnya
"Ih, serius Danar!" Ae merengek. Danar tertawa.
"Iya, iya, apasii, serius amat,"
"Gue mau minta sesuatu dari lo, sekarang,"
"Asal masuk akal, gue turutin,"
Ae tersenyum samar, "Lo pasti bisa, kok. Gue jamin,"
"Jadi, apa tuh?"
"Gue mau, lo, ngejauhin gue mulai sekarang,"
Hening, hanya debur ombak dan deru angin yang terdengar.
Ae sendiri sudah mati-matian menahan air matanya. Ia juga tak berani menatap Danar yang kini menatapnya dengan raut muka terkejut.
"Kenapa?"
"Gapapa, pengen aja."
"Segampang itu lo ngomong pengen aja?" Gagal, air mata Ae tumpah.
Ae berdiri berniat pergi sekarang juga. Tapi Danar mencekalnya dan memutar badan Ae.
"Terus kalo gue udah ngejauhin lo, lo mau apa? Ha?" Tanya Danar dengan tidak santai.
"Gue, gue-"
"Lo bercanda, kan? Lo ga serius, kan?"
"Maaf, Nar," Ae langsung melingkarkan tangannya ke leher Danar dan memeluknya. Erat. Sangat erat. Ia juga menumpahkan semua air matanya di bahu Danar. Tak peduli baju Danar akan basah atau tidak.
"Selamat tinggal, Nar" kemudian Ae pergi dan Danar tidak lagi menahannya.
Danar juga manusia. Ia pun menangis, bahkan bisa dibilang ini pertama kali Ae melihat Danar menangis, atau mungkin yang terakhir.
___________
"Udah semua, kan?" Ae mengangguk
"Nggak ada yang ketinggalan?" Ae menggeleng
"Yaudah, kita berangkat sekarang,"
"Tiketnya kamu pegang sendiri, kan, Ae?" Tanya mama lagi
"Iya, mama. Bawel banget," lalu Ae tertawa.
"Kamu, tuh. Udah pamit sama temen temen kamu?" Ae diam, lalu mengangguk.
Apa itu tadi sudah dianggap pamit?
KAMU SEDANG MEMBACA
Adik Kelasku, Ketua Osisku, Pacarku
Teen Fiction[SLOW UPDATE] "Ombak jahat ya. Dia terus-terusan nerjang karang, bikin karangnya jadi bolong seakan-akan karang itu rapuh" ujar Danar dari belakang Ae yang entah sejak kapan berada disana "Ombak emang bikin karang jadi bolong. Tapi lihat, bolongan i...